Pertunjukan-pertunjukan wayang kulit sering kali menghadirkan religiositas sesuai pandangan agama yang dianut ki dalang ataupun diselaraskan dengan agama mayoritas masyarakat. Kini tinggal bagaimana kita memaknainya.
Oleh
S PRASETYO UTOMO
·4 menit baca
Haruskah pergelaran wayang kulit dimusnahkan demi kemurnian ajaran agama? Tiap kali wayang kulit almarhum Ki Enthus Susmono yang disusupi religiositas dan pembebasan hegemoni kekuasaan dipergelarkan, selalu diminati penonton. Bukan saja karena Ki Enthus Susmono sangat populer di kalangan masyarakat, tetapi juga karena ia memperagakan gaya perkeliran pesisiran yang memungkinkan pergelarannya dapat dinikmati semua kalangan, termasuk kaum ulama. Ia melakukan pembaruan dialog yang lebih komunikatif, banyolan bermuatan kritik sosial, lakon-lakon yang diselaraskan dengan konteks pergeseran zaman, dan kemunculan tokoh-tokoh sebagai agen perubahan yang mencari keadilan, kebenaran, dan religiositas.
Pertunjukan-pertunjukan wayang kulit almarhum Ki Manteb Sudarsono memanfaatkan religiositas sebagai sebuah penciptaan kembali, dengan kedahsyatan sabetan sepanjang pergelaran. Begitu juga dengan Ki Anom Suroto yang mencipta tembang dan iringan gamelan bernapas religius, yang kemudian tembang itu sangat populer di kalangan pergelaran wayang kulit. Tembang-tembang religius sering kali dihadirkan dalam pergelaran wayang kulit dan menjadi napas pergelaran.
Hadir pula almarhum Ki Seno Nugroho yang menciptakan lakon-lakon baru yang kocak, dengan menghadirkan tokoh-tokoh punakawan yang melakukan pembebasan hegemoni kekuasaan sambil mengajarkan spiritualitas dan religiositas. Tokoh punakawan bisa menjelma sebagai seorang resi yang menghadirkan religiositas dan spiritualitas dalam menghadapi realitas kehidupan.
Pergelaran wayang kulit di kalangan pesantren dan institusi agama merupakan hal yang lazim dilakukan. Para dalang telah melakukan perombakan terhadap religiositas, mitologi, dan filosofi dalam setiap pergelaran. Lakon-lakon pergelaran mengalami penerobosan lapisan-lapisan baru dari struktur narasi lama yang dilakukan ki dalang, untuk menciptakan kontemplasi dalam dunia hiburan mutakhir.
Religiositas yang dilakukan para dalang masa kini disesuaikan dengan pandangan agama yang dianutnya. Mereka juga mengekspresikan religiositas itu melalui tokoh-tokoh yang dilakonkan, dialog tokoh-tokoh, tembang, dan iringan gamelan. Bahkan tidak sedikit pergelaran wayang kulit yang menghadirkan tokoh ulama untuk tampil dalam panggung pergelaran, memberikan ajaran-ajaran agama yang dikemas dalam hiburan.
Mitos-mitos baru diciptakan dalam pergelaran wayang kulit yang diselaraskan dengan agama yang dianut ki dalang, atau diselaraskan dengan agama mayoritas masyarakat Indonesia. Penciptaan mitos-mitos baru itu terus mengalir semenjak zaman Wali Sanga sampai hari ini untuk menghadirkan harmoni dengan masyarakat penonton. Lakon-lakon baru atau sanggit (penciptaan kembali) kisah wayang terus dilakukan ki dalang, agar tak berbenturan dengan ajaran tauhid mayoritas masyarakat kita.
Hal lain yang dieksplorasi para dalang dalam pergelaran wayang kulit adalah menghidupkan filosofi egalitarian, demokratis, dan menyuarakan aspirasi rakyat lapis bawah. Para dalang menghidupkan tokoh punakawan dan tokoh-tokoh yang egaliter untuk menghadirkan pandangan dunia tentang (1) mencapai kebahagiaan hidup, (2) kepedulian sosial, (3) pembebasan hegemoni kekuasaan, (4) keberanian menyampaikan kritik dengan terselubung humor, dan (5) kesadaran keilahian.
Mitos-mitos baru diciptakan dalam pergelaran wayang kulit yang diselaraskan dengan agama yang dianut ki dalang, atau diselaraskan dengan agama mayoritas masyarakat Indonesia.
Pergelaran wayang kulit menjadi representasi kecemerlangan ki dalang dalam memanfaatkan bahasa, sabetan, tembang, untuk melakukan katarsis. Seusai menonton pergelaran wayang kulit, penonton akan melakukan solilokui tentang (1) peran ki dalang dengan spiritualitasnya, (2) aspirasi masyarakat yang diwakili tokoh-tokoh pergelaran, (3) empati kemanusiaan, dan (4) religiositas yang transenden.
Lakon-lakon yang populer dan berulang kali dibawakan dalang wayang kulit terutama yang berkaitan dengan kehidupan tokoh punakawan dan pewahyuan. Lakon itu sering kali diciptakan sendiri ki dalang, dan merupakan reproduksi budaya Ramayana dan Mahabharata. Lakon seperti Semar Mbangun Kahyangan, Dewa Ruci, dan Wahyu Makutharama, sangat lentur menyuarakan kepentingan masyarakat akan spiritualitas, pencarian jati diri di hadapan Sang Pencipta, dan kepemimpinan yang dinaungi cahaya keilahian.
Pergeseran komunikasi
Obsesi para dalang untuk mementaskan pergelaran wayang kulit dengan napas religiositas seiring dengan pergeseran komunikasi dan transendensi memberi makna baru dalam dunia hiburan dan tradisi masyarakat. Lakon-lakon baru diciptakan ki dalang, sesungguhnya merupakan bagian dari napas religiositas dan transendensi dunia pewayangan.
Religiositas dan transendensi yang dihadirkan dalam bahasa satire pementasan para dalang pada hakikatnya memberikan gambaran bahwa rakyat kebanyakan merindukan dialog sebagai sebuah katarsis. Tokoh-tokoh punakawan dengan segala keluguan, keberanian, dan kelucuannya melakukan perlawanan atas ketidakadilan dalam hegemoni kekuasaan, merepresentasikan kerinduan rakyat kekuatan nilai-nilai keadilan. Tokoh-tokoh punakawan inilah yang memberikan kesadaran spiritualitas dan transendensi pada para kesatria dan raja, agar senantiasa peka akan derita kaum kecil, yang bergerak atas nama kebenaran.
Kini tinggal bagaimana kita memaknai pergelaran wayang kulit, yang menghadirkan religiositas dan bahkan transendensi dengan meminjam kisah-kisah Ramayana dan Mahabharata. Akankah perkembangan wayang kulit di Indonesia yang telah menghadirkan penciptaan kembali (a) religiositas, (b) mitologi, (c) filosofi diberangus dengan paradigma kaum puritan?
Atau, sebaliknya, wayang kulit terus dikembangkan sebagai tradisi adiluhung yang selaras dengan ajaran-ajaran agama. Kita memerlukan pola-pola komunikasi yang bermuatan reproduksi budaya, untuk mencapai kesadaran kolektif. Telah beratus tahun dalang wayang kulit melakukannya.
Mestikah hari ini kita memusnahkannya?
S Prasetyo Utomo, Sastrawan; Doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Universitas Negeri Semarang