Akademisi kritis maupun kebebasan akademik rentan mendapatkan serangan. Sudah sepatutnya ada perlindungan penuh dari pimpinan kampus maupun lembaga riset yang bersangkutan.
Oleh
WASISTO RAHARJO JATI
·5 menit baca
Kebebasan berakademik dengan menghadirkan perspektif pro dan kontra terhadap suatu isu adalah hal yang lumrah terjadi di sebuah negara demokratis. Publik selalu menanti pandangan dari para akademisi yang kompeten untuk bisa memberikan sudut pandang baru terhadap permasalahan terkini.
Meski demikian, kuatnya pengaruh gelombang matinya kepakaran telah menjadikan para akademisi kehilangan otoritas keilmuannya di masyarakat. Adanya desentralisasi ilmu pengetahuan melalui internet dan sosial media membuat sebagian besar kini telah menjadi ”pakar instan” sesuai dengan minat dan perspektifnya masing-masing.
Kondisi tersebut yang menghasilkan adanya penyeragaman opini/pandangan yang bersifat monolog sehingga membuat mimbar akademik dalam ruang publik kini cenderung tidak lagi dialogis. Alhasil, akademisi yang idealis dengan keberimbangan perspektif justru makin tidak disukai dalam ruang publik ini.
Kuatnya pengaruh penyeragaman opini/pendapat tentu menjadi sinyalemen mendasar mengenai kebebasan akademik yang kini terancam independensinya. Terlebih lagi, apabila suara/pendapat dari akademisi tersebut yang ”melawan arus”, misalnya saja mengkritisi kebijakan pemerintah maupun mengomentari tingkah laku para elite politik dan pendukunganya, akan langsung menjadi target sasaran doxing oleh pihak tertentu.
Adanya perilaku doxing atau penyebaran informasi pribadi secara publik (termasuk data pribadi) terhadap seseorang individu atau organisasi ini sudah masuk dalam kategori pelanggaran terhadap privasi karena berupaya melakukan balas dendam dengan mempermalukan target di dunia maya maupun dunia nyata. Serangan siber tersebut yang pada umumnya menarget akademisi maupun aktivis kritis tersebut telah berdampak pada pembungkaman akademik lewat teror maupun intimidasi.
Selain doxing, ancaman lain terhadap kebebasan berakademik adalah zoom bombing yang diarahkan pada webinar-webinar diskusi yang isunya kritis. Praktik zoom bombing ini tentu menciptakan disrupsi baru dalam kebebasan berakademik yang kini hampir mayoritas menggunakan sarana daring. Adanya serangan yang menampilkan tampilan visual yang tidak pantas dalam webinar tentu adalah pelecehan terhadap mimbar akademik yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.
Selain sebagai pelecehan, zoom bombing merupakan bentuk penghinaan terhadap mimbar akademik karena pelaku sudah ditarget dan dipermalukan oleh oknum tertentu selama webinar. Oleh karena itulah, zoom bombing adalah upaya pembungkaman daring bagi para akademisi untuk tidak lagi melanjutkan pemaparannya sehingga tidak bersuara lebih kritis lagi kepada pihak pemangku kepentingan.
Zoom bombing adalah upaya pembungkaman daring bagi para akademisi untuk tidak lagi melanjutkan pemaparannya sehingga tidak bersuara lebih kritis lagi kepada pihak pemangku kepentingan.
Adapun praktik intimidasi maupun teror oleh para pelaku doxing terhadap para akademisi selalu dimulai dengan ancaman pengenaan Pasal 310 KUHP jo Pasal 270 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang ujungnya adalah ”pencemaran nama baik”. Pengenaan kedua pasal tersebut kepada para akademisi kritis tentu menjadi susuatu yang sangat berlebihan dan irasional.
Apa pun pendapat dan argumen yang disampaikan akademisi tentu ada dasar empiris dan akademisnya sehingga tidak ada unsur tendensius tertentu. Namun, agaknya kini suara kritis yang dibingkai dalam nalar akademis tersebut justru dianggap sebagai pelecehan/pencemaran bagi sebagian pihak tertentu.
Celakanya lagi, para pihak pembungkam akademisi kritis itu terafiliasi dengan kelompok politik tertentu sehingga mereka bisa leluasa menarget dan menyerang pihak-pihak yang tidak afirmatif dengan kepentingan para pembesar mereka. Berbagai kasus yang menimpa akademis kritis pemerintah tentu sudah pernah terjadi dan kini masih berlanjut mulai dari penyerangan siber kepada dosen/peneliti/aktivis yang mengkritisi kebijakan penanganan pandemi Covid-19, penolakan terhadap UU Cipta Kerja, maupun penolakan revisi UU KPK, hingga dukungan terhadap Gerakan Wadas Melawan.
Implikasi yang terjadi kemudian adalah idealisme sebagai seorang akademisi kemudian menjadi turun karena rentan mendapatkan teror dan intimidasi bagi yang tidak setuju. Mereka pada akhirnya menjadi akademisi oportunis yang tidak kritis, tetapi bisa mengamankan posisi karier baik dalam maupun luar kantor.
Menjadi target
Koalisi Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) sepanjang 2021 telah mencatat 29 kasus pelanggaran kebebasan akademik, sebab umumnya yang menjadi korban represi adalah para dosen, mahasiswa, dan organisasi masyarakat sipil. Ketiga kelompok ini yang senantiasa dijadikan target baik itu oleh para buzzer maupun aparat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Terkhusus bagi para buzzer, aktor ini berupaya untuk memutarbalikkan pandangan kompeten dengan informasi sepihak dengan data artifisial. Tujuannya jelas, yakni membela harga diri para pihak yang menggunakan jasanya dengan cara memojokkan para akademisi kritis tersebut. Maka, yang terjadi kemudian adalah akademisi dipermalukan dan dituntut untuk permintaan maaf di depan publik karena telah menyerang pihak tertentu.
Maka, yang terjadi kemudian adalah akademisi dipermalukan dan dituntut untuk permintaan maaf di depan publik karena telah menyerang pihak tertentu.
Karena rentannya serangan terhadap akademisi kritis maupun kebebasan akademik, sudah sepatutnya mereka mendapatkan perlindungan penuh dari pimpinan kampus maupun lembaga riset yang bersangkutan. Pasal 8 Ayat 3 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa ”Pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pribadi sivitas akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi.” Selain itu, dalam Pasal 18 UU Nomor 11 Tahun 2019 mengenai Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi menyebutkan pula bahwa ”Pemerintah pusat rnenjamin kemandirian dan kebebasan ilmiah dalam melaksanakan penelitian”.
Mengacu pada bunyi dua pasal dalam dua UU tersebut, pemerintah maupun pimpinan lembaga tempat akademisi itu bernaung sudah seharusnya memberikan rasa perlindungan dan keamanan, terutama kebebasan berakademik. Kompetensi dan rasa tanggung jawab para akademisi terhadap kebenaran sejati menjadi poin penting mengenai urgensi perlindungan berekspresi akademis bagi para akademisi Indonesia.
Ada baiknya pemerintah membentuk suatu badan khusus seperti halnya Dewan Pers guna memediasi antara pihak akademisi terlapor dan pelapor yang keberatan dengan hasil kajian akademisi tersebut. Hal tersebut lebih bijak dan arif karena semua pihak menemui titik kesepahaman dan bisa terlokasir konflik tersebut agar tidak sampai kontinu di ruang publik.
Adalah hal yang memalukan apabila ada upaya kriminalisasi seorang akademisi dengan sangkaan dan tuntutan pelapor yang cenderung menjerumuskan. Jangan sampai kemudian kriminalisasi terhadap para akademisi yang kompeten terus berlangsung atas nama kepentingan politik sesaat.
Wasisto Raharjo Jati, Staf Peneliti di Pusat Riset Politik – BRIN