Semangat Hari Perempuan Internasional hendaknya dilihat sebagai upaya untuk mengubah basis ekonomi, politik, dan sosial budaya masyarakat patriarki. Perubahan yang terjadi selama ini masih semu.
Oleh
ANINDITA S THAYF
·6 menit baca
Tineke Hellwig, kritikus feminis berdarah Indonesia-Belanda, pernah melakukan sebuah penelitian menarik. Dia melakukan pembacaan atas 28 karya sastra Indonesia, yang diterbitkan dalam rentang waktu lima dekade (1937-1987), demi mengetahui posisi perempuan (Indonesia) kala itu. Apakah modernisasi, juga perubahan sosial, ekonomi, dan politik, telah mampu mendatangkan perbaikan nasib dan kehidupan bagi perempuan? Hasilnya cukup mengecewakan Tineke. Perempuan ternyata masih terikat kuat pada belenggu patriarki. Bagaimana dengan perempuan zaman sekarang?
Pergantian abad telah membawa seisi dunia pada kehidupan yang lebih canggih dan modern. Bahkan, benda sekecil telepon telah bertransformasi sedemikian rupa hingga naik kelas, jauh berubah daripada apa yang kita kenal puluhan tahun lampau. Ironisnya, hal serupa tidak dialami perempuan. Tak perlu membaca puluhan karya sastra demi mengetahuinya. Cukuplah mengambil satu contoh yang dianggap mampu mewakili semua itu, yaitu (cerita) Cinderella.
Dunia mengenal Cinderella pertama kali dalam bentuk dongeng. Sejak ide tentangnya muncul berabad-abad lampau, lantas bertransformasi ke dalam beragam bentuk, mulai dari prosa hingga film, inti pesan yang dibawa Cinderella tidak pernah berubah. Kemajuan ilmu pengetahuan, peningkatan taraf hidup bahkan pemerataan pendidikan ternyata tidak mampu menggeser apa yang sudah tertanam dalam dan lama dalam masyarakat kita. Dominasi maskulin.
Menjelang akhir tahun 2021, Cinderella muncul kembali lewat sebuah film musikal berjudul sama, Cinderella (2021). Berbintang artis dan penyanyi cantik berbakat Camila Cabello, gadis yatim piatu itu ditampilkan jauh berbeda dari versi-versi sebelumnya. Sang sutradara menganugerahinya sederet kelebihan yang sekilas tampak bak sebuah langkah revolusioner bagi perempuan semacam Cinderella. Dia diberi keberanian untuk bersuara, berbicara, bersikap, dan bermimpi setinggi matahari, layaknya perempuan masa kini. Dialah Cinderella modern yang progresif.
Perempuan yang bekerja
Cinderella lahir di tengah dunia yang dibangun berlandaskan visi androsentris, dengan laki-laki adalah pusat segalanya. Meskipun tanpa kehadiran sosok ayah, orang–orang di sekitar Cinderella, baik laki-laki maupun perempuan, saling bekerja sama untuk menjalankan dan melanggengkan visi ini. Mereka mengurung Cinderella dalam pagar patriarki yang ketat dan menjejalinya dengan peran yang sudah dikonstruksikan. Inilah dunia fiksi yang merupakan cerminan dunia nyata.
Kini, perempuan memang tidak lagi melakukan tugas seputar dapur, sumur, dan kasur semata. Perempuan telah melewati fase itu dengan mata terbuka. Sebersit kesadaran, yang berbuah keberanian, telah membuka mata mereka atas kehadiran dunia di luar rumah dan posisi mereka sebagai makhluk yang terkurung.
Cinderella lahir di tengah dunia yang dibangun berlandaskan visi androsentris, dengan laki-laki adalah pusat segalanya.
Di tengah kondisi ini, kapitalisme lantas datang berkunjung. Mengetuk pintu demi pintu rumah dan membisikkan semangat kepada para perempuan yang terkurung agar berani keluar dari penjara domestik. Menulari mereka dengan mimpi dan harapan sebagai manusia bebas dengan satu-satunya cara, yaitu bekerja di pabrik-pabrik; menjadi buruh.
Kondisi inilah yang terjadi pasca-Revolusi Industri. Para pekerja perempuan menjamur di mana-mana. Para perempuan ini memilih untuk menukar waktu mereka tidak hanya demi upah, tetapi juga eksistensi atas sebuah identitas baru sebagai seorang pekerja.
Hal serupa juga dialami Cinderella modern. Sebagai bentuk pengaktualisasian diri sebagai manusia bebas, Cinderella bertekad menjadi perempuan yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri, yang tidak hanya sanggup membebaskan diri dari kungkungan domestik sang ibu tiri, tetapi juga bisa membiayai hidupnya. Maka, berbekal keterampilan menjahit dan bakat merancang pakaian, juga mimpi besar, melangkahlah Cinderella ke luar rumah demi meraih cita-cita tertingginya. Menjadi seorang perempuan pekerja yang mandiri.
Sekilas, Cinderella tampak berhasil membuat perubahan besar. Dia bukan hanya menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, tetapi juga pemegang kendali hidupnya tepat setelah sebuah tawaran sebagai penjahit datang. Dengan keberaniannya bersuara, berbicara, bersikap dan bermimpi tinggi, posisi Cinderella seolah telah sejajar dengan laki-laki, sang pangeran. Dia tidak lagi menjadi obyek, tetapi subyek. Benarkah?
Sesungguhnya, kehadiran perempuan di luar rumah telah ditunggu-tunggu oleh kapitalisme. Tanpa setahu kaum perempuan, mereka akan dijadikan tenaga produksi murah yang setia dan cekatan guna menggunungkan akumulasi modal para borjuasi. Dalam proses produksi kapitalisme inilah perempuan dibuat seolah-olah memiliki posisi yang sejajar dengan laki-laki.
Pada 8 Maret 1908, sekitar 15.000 perempuan pekerja di New York menuntut penyingkatan waktu kerja, upah yang layak, dan kebebasan memilih. Kelak, kejadian ini rutin diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional. Kini, jam kerja dan sebagian besar upah pekerja perempuan bisa dikatakan sudah sama dengan pekerja laki-laki. Tidak kalah dengan laki-laki, sudah banyak pula perempuan yang menempati posisi penting di perusahaan-perusahaan. Dalam konteks politik, kaum perempuan juga sudah memiliki hak pilih dan dipilih secara penuh. Namun, apakah dengan semua itu belenggu patriarki serta-merta turut lenyap dari muka bumi?
Citra bayang-bayang
Citra perempuan era milenial memang tidak lagi seperti perempuan zaman feodal. Cara kerja jaring-jaring patriarki sudah tidak sekasatmata puluhan tahun lampau, tetapi lebih halus dan terselubung. Kendati demikian, alih-alih melemah, ideologi patriarki justru kian kuat dan telah melebur sedemikian rupa hingga mampu mengecoh banyak perempuan. Mengendalikan mereka bukan lagi lewat pendomestifikasian, melainkan seperangkat nilai-nilai yang manipulatif. Nilai-nilai yang menempatkan kaum perempuan seakan telah naik kelas dan mandiri, padahal sebetulnya masih berada di bawah kontrol laki-laki.
Dalam dunia bervisi androsentris semacam ini, sepandai, seberani, dan sekuat apa pun seorang perempuan, dia dituntut untuk tetap berjalan sesuai norma-norma yang ditetapkan masyarakat untuknya. Citra hasil konstruksi inilah yang membuat Cinderella, semodern dan seprogresif apa pun dia, diposisikan tetap berada di sisi sang pangeran. Meskipun tidak ada pesta perkawinan di ujung cerita, masa depan Cinderella sudah jelas. Dia diizinkan bekerja, bebas bepergian ke luar negeri, mengikuti mimpinya hingga batas tertentu, sebelum kelak bakal digiring kembali ke dalam penjara domestik atas nama ”cinta”.
Dalam dunia bervisi androsentris semacam ini, sepandai, seberani, dan sekuat apa pun seorang perempuan, dia dituntut untuk tetap berjalan sesuai norma-norma yang ditetapkan masyarakat untuknya.
Identitas dan citra perempuan dibentuk berdasarkan ukuran yang berorientasi pada laki-laki. Perempuan masa kini jelas lebih terdidik serta sadar atas diri dan lingkungannya. Di saat yang sama, citra perempuan semacam inilah yang justru diinginkan oleh masyarakat patriarki saat ini, yang muncul sebagai bagian yang koheren dari perkembangan kapitalisme. Citra perempuan yang tidak hanya bisa menjaga penampilan, menguasai dapur, dan mengurus keluarga, tetapi juga mandiri secara ekonomi dan politik serta mempunyai karakter kuat, ulet, dan cerdas. Seorang perempuan yang mampu meringankan beban kerja laki-laki dan merasa telah sejajar dengan laki-laki sehingga akan terbungkam dengan sendirinya, berhenti bersikap kritis, dan takluk tanpa sadar.
Dengan demikian, sesungguhnya kaum perempuan masih berputar-putar dalam visi andosentris. Perubahan yang terjadi masih dalam taraf perubahan semu sebagaimana yang dialami oleh bayangan. Itulah mengapa, oleh sutradaranya, Cinderella tidak dibiarkan lepas dari genggaman sang pangeran kendati dia menolak menikahi laki-laki itu. Sebab, sesosok bayangan terlarang lepas dari tubuh patronnya sejauh apa pun ia melangkah. Bagi patronnya, ia tetap sebuah obyek.
Melakukan perubahan memang tidak pernah mudah, tetapi, untungnya, ia bukan sesuatu yang mustahil. Sebagai awal, dorongan perubahan itu mestilah menyentuh hal-hal yang fundamental dan dilakukan tidak dengan setengah hati. Apabila mengikuti teori Marxis, perubahan yang dilakukan harus pada tataran basis, yang berarti fondasi yang menopang suprastruktur masyarakat patriakal. Apabila basisnya tidak berubah, maka, suprastruktur, seperti cara pandang patriarkal, norma-norma maskulin yang berlaku, dan bahasa yang bias jender, tidak akan berubah.
Semangat Hari Perempuan Internasional hendaknya dilihat sebagai upaya untuk mengubah basis ekonomi, politik, dan sosial budaya masyarakat patriarki. Upaya inilah yang harus terus didorong agar nasib kaum perempuan tidak seperti kisah Cinderella modern yang berubah alurnya, tetapi pesannya tetap sama sejak dahulu hingga sekarang, bahwa perempuan adalah bayang-bayang laki-laki.