Secara umum kinerja Presiden Jokowi di bidang ekonomi layak mendapat apresiasi. Banyak kebijakan ekonomi berdampak positif dan nyata dirasakan masyarakat. Namun, masih banyak hal yang perlu diperbaiki agar lebih baik.
Oleh
DATO SRI TAHIR
·4 menit baca
Menjadi presiden yang terpilih secara demokratis mungkin adalah pekerjaan tersulit. Hal ini karena ia harus menjadi pemimpin di segala medan, memenuhi janji kampanye, membawa kemajuan bagi semua, menyelesaikan masalah, mengayomi, dan melakukan perbaikan di segala bidang. Ini menjadi kian sulit lagi di era Post-Truth, di tengah pandemi Covid-19.
Menjamurnya misinformasi dan disinformasi di medsos semakin memfasilitasi adanya diskoneksi pemahaman antara kebijakan, hasil kebijakan, dan persepsi publik. Era Post-Truth juga ditandai dengan lebih banyak informasi negatif dan sensasional karena berita tak lagi hanya berita, tapi juga didesain untuk menarik perhatian dan memicu reaksi emosi, bukan hanya reaksi rasional kita.
Akibatnya, ada semacam selection bias, kita lebih banyak mengonsumsi berita negatif dan sensasional daripada informasi positif, perbaikan, dan keberhasilan pembangunan yang ada. Kita perlu melihat dengan lebih rasional dan obyektif, tak melupakan rekam jejak, dengan lensa lebih fair, apel dibandingkan dengan apel, jeruk dibandingkan jeruk.
Kebijakan yang tak populis, tentu tidak enteng, approval rate presiden anjlok.
Legasi pemerintahan
Pertama, kita tak bisa underestimate legasi (legacy) Presiden Joko Widodo pada periode pertama. Sebagai contoh, Jokowi bisa dibilang satu-satunya presiden negara demokrasi besar yang berani dan bisa mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan yang tak populis, tentu tidak enteng, approval rate presiden anjlok.
Tapi, hasil dari kebijakan tersebut baik dan dinikmati semua lapisan masyarakat, subsidi lebih tepat sasaran. Keamanan dan stabilitas terjaga, keuangan negara sehat, dan ekonomi terus tumbuh. Penghapusan subsidi BBM ini termasuk mulus tanpa gejolak. Bandingkan dengan, misalnya, di Perancis, negara demokrasi yang lebih tua dan kelihatannya stabil. Pada 2018, Perancis mencoba menaikkan harga BBM, hasilnya berlangsung protes Yellow Jacket besar-besaran sehingga pada akhir 2018 Presiden Perancis terpaksa membatalkan kenaikan harga BBM.
Keberhasilan Jokowi menggeser prioritas dari subsidi BBM juga memampukan Indonesia menaikkan kualitas pertumbuhan. Belanja-belanja jadi lebih terarah ke pembangunan infrastruktur yang masif, mulai dari jalan tol, pelabuhan, bandara, jalur kereta api, infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (ICT), hingga perumahan masyarakat berpenghasilan rendah.
Rasio utang terhadap PDB tetap terjaga dengan baik. Bandingkan dengan China dan Jepang, rasionya sekitar 300 persen dan 200 persen, atau negara-negara ASEAN lain yang rata-rata rasionya tinggi.
Pemerintahan Jokowi mampu mengelola penggunaan utang untuk mengisi pertumbuhan secara produktif, tak konsumtif. Angka kemiskinan pun turun dari dua digit menjadi single digit meski kemudian kembali sedikit meningkat akibat dampak pandemi.
Legasi lainnya, pemindahan ibu kota negara (IKN) yang gagasannya sudah ada di era presiden-presiden sebelumnya, tapi baru akan direalisasikan di era sekarang. Pemindahan IKN dinilai akan membawa nation and state building yang lebih solid, perbaikan struktur ekonomi spasial, merefleksikan kebinekaan, dan merepresentasikan kepentingan pembangunan yang beralih dari Jawa-sentris menuju Indonesia-sentris dan pertumbuhan yang kian merata.
Ketiga, Nawacita 2014-2019 dan lima prioritas kerja 2019-2024 yang semua dimaksudkan untuk menguntungkan masyarakat semua lapisan. Walaupun tak bisa terlihat langsung, hasil positif akan dirasakan pada jangka menengah dan panjang. Sebagai contoh, dulu harga-harga barang di Papua mahal karena infrastruktur sangat terbatas. Setelah pembangunan infrastruktur digenjot, harga-harga barang cenderung lebih murah karena ongkos logistik bisa lebih murah.
Pemerintahan Jokowi mampu mengelola penggunaan utang untuk mengisi pertumbuhan secara produktif, tak konsumtif.
Program lain yang meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan rakyat adalah program intensifikasi dan perbaikan irigasi. Tanpa itu, penggunaan air untuk agrikultur boros dan tidak efisien. Dengan pembangunan berbagai proyek bendungan dan irigasi, banyak lahan padi yang menjadi produktif, bahkan bisa menghasilkan 12-15 ton per hektar padi. Tujuan akhirnya, kehidupan petani lebih baik dan ketahanan pangan nasional meningkat.
Keempat, pengelolaan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah menetapkan lima program prioritas kerja: pembangunan infrastruktur, SDM, pemangkasan hambatan investasi, reformasi birokrasi, dan APBN yang tepat guna. Sejauh ini, kita melihat investasi asing terus masuk, devisa naik, inflasi relatif terkontrol, kemudahan berusaha meningkat, utang negara terkelola dengan baik.
Kelima, reputasi internasional. Di tengah memburuknya hubungan AS-China, pemerintahan tetap berhasil menavigasi, merangkul, dan tak mengalienasi siapa pun. Justru peluang yang ada dimanfaatkan untuk memaksimalkan kepentingan pertumbuhan ekonomi sehingga investasi asing tetap masuk dan lapangan-lapangan pekerjaan baru tercipta.
Stabilitas (stability) dan persatuan (unity) harus diakui menjadi hal yang bisa di-deliver dengan baik oleh pemerintah di bawah Jokowi.
Survei Kepemimpinan Nasional
Pekerjaan rumah
Namun, seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak, masih banyak hal yang bisa diperbaiki untuk Indonesia yang lebih baik. Baik di level kebijakan maupun implementasinya. Kasus lonjakan harga dan kelangkaan sejumlah komoditas kebutuhan pokok hanya salah satunya.
Lonjakan harga sejumlah barang kebutuhan pokok yang merupakan isu sangat strategis, tapi musiman (seasonal) ini seharusnya bisa diprediksi dan diantisipasi jauh-jauh hari supaya kestabilan harga dan ketersediaannya terjamin.
Dalam hal ini, kepemimpinan Presiden juga akan semakin baik lagi jika menteri-menterinya tidak hanya cekatan ”memadamkan kebakaran”, tapi juga proaktif, strategis, dan kreatif dalam men-deliver kebijakan-kebijakan yang menghasilkan kesejahteraan buat rakyat.