Rintihan Bumi dan Keserakahan Kapitalisme
Bumi menderita akibat keserakahan manusia modern yang memilih jalan hidup kapitalisme. Solusinya, dengan memuaskan kapitalisme dari propaganda gaya hidup hedonis dan konsumtif, dan ini dilakukan melalui pendidikan.
Dalam sebuah kajian Ramadhan secara daring (online) menjelang buka puasa Dr Budhy Munawar Rachman, salah seorang pemikir Islam berhaluan Cak Nur (Prof Nurcholis Majid), menyampaikan materi bertajuk Spirit Ekologi. Ia merujuk buku karya Vaughan-Lee dan Llewellyn, terbitan tahun 2016, berjudul Spiritual Ecology : the cry of the earth.
Buku itu menceritakan rintihan Bumi yang menderita pemerkosaan keserakahan umat manusia modern yang telah memilih jalan hidup kapitalisme. Sejatinya, hal ini merupakan masalah kita saat ini. Namun, banyak yang menganggapnya bukan masalah. Bahkan, sebagian menganggapnya berkah.
Terkait masalah itu, Dr Budhy menawarkan solusi melalui latihan menahan diri dari keserakahan dengan ibadah puasa. Saya berpandangan solusi tersebut kurang relevan. Sebab, antara keserakahan, pelaku keserakahan, dan solusi yang ditawarkan tidak sejalan. Jika Bumi merintih karena korban keserakahan, lalu solusinya dengan ibadah puasa, maka seakan-akan yang salah dan serakah adalah umat Islam.
Padahal, sebagaimana dalam buku karya Vaughan-Lee dan Llewellyn di atas, Bumi menderita sebab keserakahan kapitalisme. Tentu, solusinya pun bukan melalui ibadah puasa. Tulisan ini mencoba menyingkap keserakahan kapitalisme dan solusi yang bisa ditawarkan.
Baca juga: Krisis Iklim dan Perubahan Sistem
Pasukan udara dan infanteri
Prof Yoseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi, menulis buku, edisi terjemahannya, berjudul Dekade Keserakahan: Era 90-an dan Awal Mula Petaka Ekonomi Dunia. Menurut Prof Stiglitz, sistem ekonomi kapitalisme ala Amerika yang dikendalikan sepenuhnya oleh perusahaan raksasa dunia adalah penyebab meningkatnya eksploitasi atas sumber daya. Mereka melakukan itu dalam rangka memicu pertumbuhan ekonomi.
Kapitalisme global ini, dengan kekuatan kapitalnya, berhasil memengaruhi kebijakan dalam negeri banyak negara. Pengaruh kebijakan tersebut diawali dengan intervensi pemilihan kepala negara dan perubahan perundang-undangan. Konstitusi negara yang dianggap sakral sekalipun jika dipandang menghambat kapitalisme tak akan luput dari sasaran perubahan.
Kapitalisme melakukan intervensi ke banyak negara sebab ia memerlukan tempat baru berproduksi dan membuka pasar potensial. Kedua hal tersebut merupakan syarat mutlak agar kapitalisme dapat terus hidup dan ekonomi tumbuh. Kapitalisme memerlukan tempat berproduksi dengan biaya murah. Terutama, biaya upah, lingkungan, dan sosial. Di tempat asal kelahiran kapitalisme, biaya ini sudah sangat mahal sehingga keuntungan besar sulit didapat.
Selain tempat produksi dengan biaya murah, kapitalisme memerlukan pasar-pasar baru. Maka, dalam perang menaklukkan negara-negara tersebut, kapitalisme pun menggunakan pasukan udara melalui teknologi informasi, digitalisasi, globalisasi, dan lain-lain. Sasarannya, menanamkan gaya hidup konsumtif-hedonis. Gaya hidup ini sangat vital dalam menciptakan pasar.
Pasar penting agar investasi dan produksi berlanjut untuk mengakumulasi keuntungan yang kemudian digunakan untuk reinvestasi dan produksi. Investasi dan produksi memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya alam, serta menghasilkan limbah. Konsumsi menghasilkan sampah.
Maka itu, baik kegiatan produksi maupun konsumsi memberikan tekanan yang dahsyat kepada sumber daya alam dan lingkungan. Membuncahnya sampah dan limbah yang mencemari lingkungan bukan semata kesalahan konsumen, tetapi juga kesalahan produsen. Sebab, pada setiap produk juga melekat sampahnya, baik sisa tak terpakai, sisa pemakaian, maupun kemasannya. Dengan demikian, solusinya bukan dengan puasanya umat Islam. Melainkan, dengan memuasakan kapitalisme dari propaganda gaya hidup hedonis dan konsumtif tadi.
Proses investasi dan produksi memerlukan sumber daya, khususnya sumber daya alam, serta menghasilkan limbah. Konsumsi menghasilkan sampah.
Bagaimana puasa bisa efektif melatih diri menahan hidup konsumtif, apabila setiap saat kapitalisme terus mengampanyekan hidup konsumtif dalam ragam cara dan kanal? Dan, ragam cara dan kanal tersebut sekarang berada dalam genggaman gadget Anda. Gadget berperan sebagai kanal penetrasi pasukan udara menggempur mindset dan cara berfikir manusia. Lobi-lobi politik, olah-olah pejabat, mengubah kebijakan dan kepala negara berperan laksana pasukan infranteri pembuka jalan investasi dan produksi agar lancar jaya.
Siapa yang kena gempuran masukan udara kapitalisme? Semua elemen masyarakat di desa di kota, miskin, kaya, ulama, pendeta, preman, solehan, hingga pelajar, mahasiswa, dan dosen. Bahkan, lembaga pendidikan tinggi sebagai benteng ideologi negara telah ambruk. Kurikulum, proses pendidikan, penelitian, inovasi, dan lain-lain telah masuk perangkap kepentingan pasar kapitalisme. Istilah daya saing, dunia usaha dunia akademik (DUDA), triplehelix, pentahelix, dunia usaha-dunia industri (DUDI), hilirisasi inovasi, dan lain-lain digunakan agar kapitalisme tampak santun. Padahal, semua itu laksana jaket bulu domba dipakai serigala.
Ketika negara menghamparkan karpet merah kepada kapitalisme pertanda negara tersebut telah terjebak kepentingannya. Maka, ia dengan ribuan kaki tangannya akan melakukan penetrasi, dominasi, dan eksploitasi secara masif. Maka, dalam menghentikan kapitalisme ini kita memerlukan cara lain yang barangkali masih bisa diharapkan.
Ideologi dan nilai-nilai kebangsaan
Meskipun ekonomi dan politik sudah bertekuk lutut kepada kapitalisme, saya masih melihat ideologi negara dan nilai-nilai kebangsaan dapat menjadi benteng dari gempuran kapitalisme. Dan, pendidikan diharapkan dapat memperkuat benteng tersebut melalui pertama, pendidikan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dalam sebuah komunitas, bahkan negara. Baik buruknya sebuah komunitas atau negara sangat bergantung pada kualitas keluarga.
Pendidikan ideologi dan nilai-nilai kebangsaan, seperti kesederhanaan, kebersamaan, dan gotong royong, mesti dipenetrasikan melalui pendidikan keluarga. Dan itu dilakukan setiap saat, bukan hanya pada bulan puasa, dan untuk semua. Di sinilah peran para dai, ustaz, pendeta, RT, RW, dan lain-lain sangat penting sebagai pengingat mengenai bahaya kapitalisme. Sebab itu, mereka harus memiliki literasi yang baik mengenai hal ini.
Kedua, pendidikan dasar dan menengah. Ia berperan menanamkan nilai-nilai hidup dan keterampilan dasar yang bisa menjamin kemandirian. Nilai-nilai hidup yang disampaikan mesti sejalan dengan nilai-nilai hidup yang disampaikan dalam keluarga dan dicontohkan oleh gurunya. Maka, lulusan sekolah menengah memiliki karakter dan prinsip hidup yang kuat dengan bekal keterampilan yang memadai untuk hidup mandiri yang tidak bergantung pada sistem ekonomi kapitalisme.
Tidak seperti sekarang, lulusan sekolah menengah tampak seperti anak ingusan yang tidak punya prinsip hidup dan keterampilan. Mereka hanya siap berburu kesempatan menjadi buruh pabrik, pelayan toko, dan sales. Padahal, kesempatan itu pun jumlahnya terbatas. Yang tidak kebagian terpaksa menjadi pengangguran berijazah dan tidak tahu harus berbuat apa.
Baca juga: Rasionalisasi Pendidikan Tinggi
Ketiga, pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi sejatinya mesti memainkan peran penting dan strategis. Sebab, lulusan pendidikan tinggi dapat mengisi ragam posisi penting dalam kehidupan, baik sebagai dosen, peneliti, guru, politisi, birokrat, pengusaha, perwira, maupun sebagai kepala keluarga dan kepala negara. Dengan demikian, mereka dapat menjadi agen perubahan asalkan perguruan tingginya telah berubah.
Maka, pendidikan tinggi mesti seiring dengan pendidikan keluarga, pendidikan dasar dan menengah yang menanamkan ideologi negara dan nilai-nilai kebangsaan tadi. Dan, pendidikan agama hadir pada pendidikan keluarga, dasar, menengah, dan tinggi sebagai nilai-nilai kehidupan yang mesti ditanamkan.
Jika pendidikan tingginya berubah, arah pendidikan, penelitian, dan inovasinya pun berubah. Lulusan, teknologi, dan inovasi yang dihasilkannya pun bukan untuk memperkuat kepentingan kapitalisme, melainkan untuk kepentingan dan kemandirian bangsa. Dengan demikian, kapitalisme hanya dapat dihalau dengan pendidikan yang memberdayakan dan membangun berkarakter, kemandirian, kesederhanaan, dan perilaku ramah lingkungan. Maka, pemerkosaan Bumi akan terhenti dan Bumi pun kembali tersenyum. Paling tidak, Bumi Pertiwi.
Aceng Hidayat, Sekretaris Institut/Kepala Kantor Manajemen Risiko IPB University; Dosen Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan FEM-IPB University; Ketua ICMI Orwilsus Bogor 2022-2027