Buya adalah wujud kesederhanaan dalam laku kehidupan, namun kaya dalam sumbangsih pemikiran kebangsaan. Keteguhan sikap dan pemikiran Buya mengenai kebangsaan dan kenegaraan ditujukan untuk masa depan bangsa dan negara.
Oleh
ARI SUSANTO
·5 menit baca
Islam, demokrasi, dan pluralisme menjadi topik yang hangat dan tak pernah habis diperbincangkan. Mengenai topik ini, Buya Ahmad Syafii Maarif memosisikan diri dengan tegas pemikiran dan sikapnya. Konsekuensinya ada pihak yang melabelinya sebagai tokoh ”liberal”.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sikap dan pemikirannya itu ditujukan untuk masa depan bangsa dan negara Indonesia. Demikian tulis Buya dalam bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, ”Agar Indonesia sebagai bangsa dan negara tetap utuh dan bertahan lama, jangan sampai dibinasakan oleh tangan anak-anaknya sendiri yang tak tahu diri, rakus, dan buta peta. Bangsa ini wajib dibela secara jujur dan bertanggung jawab.”
Islam dan demokrasi
Berbicara Islam dan demokrasi, setidaknya ada dua pendapat besar. Pertama, mengatakan bahwa sistem demokrasi tidak sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Kedua, demokrasi sistem terbaik pada abad ini dan sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai dalam Islam.
Sejalan dengan itu, Khaled Abou El Fadl membaginya menjadi kelompok puritan dan moderat. Kelompok puritan menempatkan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) sebagai produk Barat sehingga harus ditolak dan harus diganti berdasarkan syariat Islam. Kelompok moderat menilai demokrasi dan HAM tidak dari kehadirannya (Timur-Barat), berlainan tegaknya prinsip yang diharapkan Al Quran, seperti keadilan, perdamaian, moralitas, dan kemanusiaan.
Dalam posisi ini, prinsip dan sikap Buya sangat jelas dan tegas, demokrasi sejalan dan selaras dengan misi Islam. Mereka yang menolak demokrasi, menurut Buya, adalah buta peta, argumen logika juga dinilai kacau.
Demokrasi adalah realitas dari prinsip syura (bermusyawarah) seperti yang diajarkan dalam Al Quran (Maarif, 2015: 148). Prinsip musyawarah dalam berdialog, membentuk kebijakan, sudah sangat sejalan dengan anjuran dan perintah Al Quran.
Muhammad Syahrur menegaskan bahwa prinsip syura’ itu bagian dari akidah dan ibadah yang tidak boleh digantikan. Dasar syura’ menurutnya didasarkan kepada Surat Al-Syura’ ayat 38: ”Dan orang-orang yang memenuhi panggilan Tuhan, menegakkan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka...”. Dalam musyawarah itu terkandung makna kebebasan, praktik demokrasi itu berprinsip kepada kebebasan.
Pakar sejarah dan ilmu sosial Indonesia, almarhum Kuntowijoyo, meletakkan dasar syura’ sebagai praktik dari demokrasi. Beliau mengambil sejarah dari Perang Uhud. Nabi dan pasukannya melakukan musyawarah, mengenai posisi perang akankah di dalam kota ataupun di luar kota. Namun, kaum Muslim menghendaki di luar kota, kendati hasil perang itu mengalami kekalahan, praktik musyawarah ditegakkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Buya menilai, struktur bangunan khilafah atau ‘negara Islam’ benar-benar tidak ada rujukan yang kokoh.
Kehadiran narasi khilafah merupakan sebuah tantangan. Menurut Buya, narasi khilafah adalah bentuk respons reaktif umat Islam pada sekitaran abad ke-20 di saat situasi negara-negara Muslim mengalami penjajahan, kolonialisme, dan imperialisme. Karena itu, Buya menilai, struktur bangunan khilafah atau ”negara Islam” benar-benar tidak ada rujukan yang kokoh. Motif kehadirannya bukan didasarkan atas nilai Islam yang komperhensif, utuh, dan substansial.
Daripada sekadar memperebutkan bentuk atau formalisme, lebih baik berpijak kepada substansi dan isi. Sebab, formalitas bentuk tidak menggambarkan suatu yang hakikat terhadap pesan Al Quran. Sementara substansi bagaimana membumikan misi utama Al Quran, yaitu ‘rahmatan li al-‘alamin’ sebagai pesan universal. Meminjam filsafat garam Mohammad Hatta, nilai-nilai Islam harus menggarami praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam praktik hidup bernegara, praktik keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Begitu juga praktik keterbukaan, seperti kebebasan berpendapat, kritik sosial, dan kebebasan pers.
Islam dan pluralisme
Adalah sebuah keniscayaan dan fakta yang tidak terbantahkan bahwa bangsa Indonesia ini terdiri dari keragaman. Beragama dari berbagai identitas agama, suku, ras, dan budaya. Keragaman itu terikat dalam bingkai keindonesiaan.
Meski demikian, di tangan orang yang tidak bertanggung jawab, keragaman ini sering diusik identitasnya sehingga tidak dimungkiri mencuat isu-isu demikian yang mencoba memecah belah dan merusak harmoni keragaman itu sendiri. Isu agama dan suku sering menjadi umpan.
Pluralisme agama dan budaya itu, menurut Buya, adalah sebuah keniscayaan. Keragaman ini sendiri telah termaktub dalam Al Quran.
Pluralisme agama dan budaya itu, menurut Buya, adalah sebuah keniscayaan. Keragaman ini sendiri telah termaktub dalam Al Quran. Demikian tulis Buya, ”Dalam hal pluralism (paham kemajemukan) agama, Al Quran tampak berangkat lebih jauh. Tidak saja orang harus mengakui keragaman agama yang dipeluk oleh umat manusia, mereka yang tidak beragama pun harus punya tempat untuk melangsungkan hidupnya di bumi. Dalam masalah ini Al Quran ternyata lebih toleran dibandingkan dengan kebanyakan umat Islam: memusuhi kaum ateis.” (Maarif, 2015 : 166)
Buya menegakkan bahwa sejatinya Al Quran memang mengajak manusia untuk beriman karena iman ini menjadi amat penting bagi perjalanan hidup hingga ke akhirat. Pertanyaannya adalah apakah mereka yang tidak beriman harus dihukum atas nama agama? Buya menolak cara pandangan ini.
Buya menegaskan bahwa tugas para Nabi dan pengikutnya hanyalah mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dan hari akhir dengan cara-cara yang beradab, penuh arif, dan jauh dari paksaan. Sebab, Tuhan sendiri telah berfirman dalam Surah al-Baqarah [2] : 256 “la ikraha fi aldin” (tidak ada paksaan dalam memeluk agama). Artinya setiap bentuk paksaan agar orang beriman sama dengan melawan Alquran atau merasa lebih pintar dari Allah SWT.
Demikian sekelumit contoh keteguhan sikap dan pemikiran Buya mengenai kebangsaan dan kenegaraan. Sudah barang tentu ini bentuk keauntetikkan dan kecintaan Buya terhadap Indonesia. Tak salah jika beliau mendapat julukan ”Guru Bangsa” dari Presiden Joko Widodo. Sebagai guru bangsa, kehidupannya jauh dari kata bermegah-megahan, Buya adalah wujud kesederhanaan dalam laku kehidupan, namun kaya dalam sumbangsih pemikiran kebangsaan. Selamat jalan Guru Bangsa (wafat, 27/5/2022), pemikiran dan sikapmu akan terus melekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ari Susanto, Anggota Majelis Pustaka Informasi (MPI) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Yogyakarta