Tantangan Keberlanjutan Lingkungan
Meski secara nasional dan global gema pembangunan berkelanjutan kian kencang terdengar, untuk mewujudkan prasyarat pembangunan berkelanjutan tak mudah. Perlu komitmen banyak pihak untuk konsisten bertindak bersama.
”Jika tak ada persatuan di antara kita, hutan dan wilayah adat bisa menghilang dalam sekejap mata,” demikian Apai Janggut, Ketua Masyarakat Adat Dayak Iban, di Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Dipilihnya ucapan ”persatuan di antara kita” tampak dari pengalaman mendalam bahwa upaya mempertahankan hutan dan wilayah adat itu tidak bisa sendirian.
Sejak 2008, dengan berbagai tantangan yang menghadangnya, Sungai Utik menjadi wilayah adat pertama yang dapat sertifikat ekolabel. Sertifikasi dari Lembaga Ekolabel Indonesia itu menyatakan wilayahnya dikelola dengan modal sosial untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam (SDA) berkelanjutan. Terbukti bahwa keindahan dan keasriannya pun bisa dipertahankan hingga saat ini.
Satu dekade setelah mendapatkan sertifikat itu, pada 2019 diperoleh anugerah Kalpataru dan penghargaan Equator Prize dari Program Pembangunan PBB (UNDP). Dan pada 2020, wilayah itu mendapatkan legalitas hutan adat seluas 9.480 hektar dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Walau secara nasional dan global gaung pembangunan berkelanjutan kian kencang terdengar, untuk mewujudkan prasyarat pembangunan berkelanjutan seperti itu tak mudah.
Komunitas adat Sungai Utik hanyalah satu dari ratusan komunitas adat yang kini sedang mengurus wilayah SDA-nya menjadi sah. Upaya ini umumnya juga disertai harapan menjadi wilayah yang tak tergusur oleh berbagai bentuk pemanfaatan SDA skala besar.
Walau secara nasional dan global gaung pembangunan berkelanjutan kian kencang terdengar, untuk mewujudkan prasyarat pembangunan berkelanjutan seperti itu tak mudah. Pengalaman Sungai Utik menunjukkan pentingnya tindakan kolektif banyak pihak secara konsisten. Itu juga menjadi tantangan apabila keberlanjutan skala kecil seperti itu berkembang menjadi skala besar. Bahkan perlu diwujudkan pada skala global karena dampak agregat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup tak punya batas. Suatu wilayah desa dan bumi tempat tinggalnya menjadi entitas tunggal yang tak bisa dipisahkan.
”Only One Earth”
Dalam siaran persnya di Nairobi, 18 November 2021, Program Lingkungan PBB (UNEP) mengumumkan ”Only One Earth” menjadi tema Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini. Hajatan dunia setiap 5 Juni itu pada tahun ini menandai 50 tahun sejak hari itu ditetapkan dalam Konferensi Stockholm di Swedia pada 1972. Untuk tahun ini juga diselenggarakan di Swedia dengan tema sama, yaitu ”Only One Earth”.
Laporan ”Making Peace with Nature: A Scientific Blueprint to Tackle the Climate, Biodiversity and Pollution Emergencies” oleh UNEP yang dikeluarkan awal 2022 menyebut, dalam 50 tahun terakhir, ekonomi global telah tumbuh hampir lima kali lipat. Sebagian besar disebabkan tiga kali lipat ekstraksi SDA dan energi. Populasi dunia telah meningkat dua kali lipat menjadi 7,8 miliar orang. Meski rata-rata kemakmuran juga berlipat ganda, sekitar 1,3 miliar orang tetap miskin dan sekitar 700 juta orang kelaparan.
Baca juga : 50 Tahun Pasca-Deklarasi Stockholm
Dalam perjalanan lima dasawarsa itu kapasitas bumi untuk menopang kebutuhan makanan bergizi, air, dan sanitasi terus melemah, terutama yang dialami orang-orang yang rentan dan terpinggirkan. Ketahanan pangan terancam oleh hilangnya serangga penyerbuk dan tanah yang subur. Hilangnya serangga itu telah mengancam hasil panen global tahunan senilai antara 235 miliar dollar AS dan 577 miliar dollar AS.
Dinyatakan pula, tak satu pun dari tujuan global yang telah disepakati untuk perlindungan kehidupan di bumi telah terpenuhi. Kelestarian fungsi alam di tiga perempat daratan dan dua pertiga lautan di bumi sekarang sangat kritis oleh perilaku manusia. Pada titik ini, satu juta dari perkiraan 8 juta spesies tumbuhan dan hewan di dunia terancam punah, banyak jasa ekosistem yang penting bagi kesejahteraan manusia terkikis.
Dalam perjalanan lima dasawarsa itu kapasitas bumi untuk menopang kebutuhan makanan bergizi, air, dan sanitasi terus melemah, terutama yang dialami orang-orang rentan dan terpinggirkan.
Ancaman kepunahan itu, menurut laporan terbaru Badan Konservasi Dunia (IUCN), diakibatkan hilangnya habitat karena penggundulan hutan serta perluasan pertanian dan perkembangan perkotaan, khususnya di Asia Selatan dan Tenggara. Ancaman lain berupa perburuan ilegal dan penangkapan satwa yang tak berkelanjutan (Kompas, 24/5/2022).
Ini menunjukkan model pembangunan yang sedang berjalan telah terbukti memberi dampak, selain belum adil, juga mendorong penurunan fungsi SDA dan lingkungan. Oleh karena itu, tema ”Only One Earth” yang prinsipnya dinyatakan oleh Apai Janggut ”persatuan di antara kita” dapat dimaknai sebagai pentingnya wujud tindakan kolektif untuk memperbaiki model pembangunan itu.
Masalah tindakan kolektif
Secara konseptual, masalah tindakan kolektif terjadi apabila tindakan yang diperlukan untuk dapat menguntungkan publik, menciptakan konflik antara kepentingan individu dan kepentingan publik, serta setiap individu memiliki kesempatan bertindak demi kepentingan mereka sendiri (Olson, 1971). Dengan kata lain, ada konflik kepentingan antara pilihan rasional individu dan apa yang jadi kepentingan terbaik bagi publik.
Dalam hal ini, pilihan rasional individu dapat sejalan dengan kepentingan publik apabila individu-individu secara pribadi dapat manfaat dari tindakan kolektif. Untuk kehidupan di perkotaan, misalnya, pilihan jenis transportasi ke tempat kerja adalah contoh tipikal.
Di satu sisi, dengan mobil sendiri tampak rasional karena lebih nyaman dan cepat. Namun, di sisi lain, ketika banyak orang memilih ke kantor dengan mobil sendiri, polusi udara dan kemacetan lalu lintas mengganggu semuanya. Maka, apa yang tampak masuk akal dari pilihan rasional individu ternyata tak rasional dilihat dari kebutuhan publik.
Laporan UNEP itu menegaskan pula bahwa sistem ekonomi dan keuangan global telah gagal memperhitungkan manfaat esensial yang diperoleh masyarakat dari alam.
Namun, kita masih menghadapi cara-cara mempertimbangkan sesuatu yang justru menguatkan pilihan rasional individu itu. Pertama, kalkulasi jasa alam. Kebutuhan publik yang dimaksud, walaupun sering kali dinyatakan, belum sampai dihitung dan angkanya belum digunakan dalam pengambilan keputusan. Laporan UNEP itu menegaskan pula bahwa sistem ekonomi dan keuangan global telah gagal memperhitungkan manfaat esensial yang diperoleh masyarakat dari alam.
Sebagian besar manfaat alam—seperti hilangnya serangga yang mengancam hasil panen global—tidak memiliki nilai pasar walaupun menjadi penopang kemakmuran saat ini dan di masa depan. Hal seperti itu telah terbukti semakin menguatkan pilihan rasional individu yang melemahkan upaya mempertahankan manfaat alam bagi publik.
Kedua, soal empati terhadap korban. Kerusakan dan pencemaran lingkungan serta bencana alam memang sudah dirasakan semua orang. Data korban bencana di Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, misalnya, terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Selama 2021, korban menderita dan mengungsi 7.630.692 orang, meninggal 728 orang, hilang 87 orang, dan luka-luka 14.915 orang. Namun, sebagaimana dilaporkan UNEP (2021), secara tak proporsional orang miskin dan rentan yang paling menderita akibat bencana global itu, yaitu orang-orang yang umumnya lemah secara ekonomi dan luput dari kalkulasi politik.
Baca juga : Pembangunan Desa Berkelanjutan
Ketiga, masih lemahnya tanggung jawab lembaga keuangan. Semestinya, bukan hanya pemberi izin yang bertanggung jawab terhadap pemegang izin yang merusak lingkungan, melainkan juga lembaga keuangan yang mendanainya.
Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan telah menyusun Road Map Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021-2025) dan juga telah mempunyai Taksonomi Hijau Indonesia—Edisi 1.0, 2022. Kebijakan ini penting diimplementasikan karena bank nasional yang ”terbaik” pun masih mempunyai nilai skor pendanaan berkelanjutan (sustainable finance) di bawah 3 (dari maksimum 10).
Keempat, persoalan tekanan politik. Sejauh ini tidak ada studi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang bisa menghentikan proyek yang buruk. Di seluruh dunia, dapat dilihat dari katalog kasus yang berkembang, amdal memberi lampu hijau untuk pembangunan yang seharusnya tidak dijalankan. Penyebabnya adalah adanya konflik kepentingan dan ”kompromi yang sah” (Laurance dan Salt, 2018).
Di banyak negara, pemerintah mewajibkan pemrakarsa proyek mendanai studi amdal. Dalam praktiknya, ahli yang melakukan studi secara profesional dan ketat bisa masuk ke dalam daftar hitam oleh pemrakarsa proyek lain di masa berikutnya. Pandangan itu diperburuk adanya kenyataan bahwa pandangan masyarakat yang mendukung atau menolak pendapat ahli dapat didasarkan pada mobilitasi kepentingan politik dan bukan atas dasar kenyataan yang dihadapi. Kenyataan yang sudah berada di luar repertoar standar pekerjaan suatu profesi.
Uraian itu menunjukkan bahwa kebebasan rasional individu yang tidak dikendalikan ataupun tekanan politik dalam suatu lingkungan sosial menyebabkan tindakan kolektif bagi kepentingan publik menjadi tantangan besar. Dalam hal ini, upaya paksaan melalui penegakan hukum sering kali tidak cukup. Upaya lainnya diperlukan.
Apa yang dikerjakan banyak pihak untuk Sungai Utik itu melampaui kewajiban hukum sebagai dasar bertindak. ”Persatuan di antara kita” untuk mewujudkan tindakan kolektif terbukti dapat diwujudkan apabila dalam prosesnya mampu menumbuhkan rasa saling percaya, meningkatkan reputasi, serta mewujudkan hubungan timbal balik antarpihak secara positif. Untuk skala nasional dan global, para pemimpin negara dan lembaga negara diharapkan secara terus-menerus dapat mewujudkan tindakan kolektif itu.
Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University