Perjumpaan yang Mendebarkan dengan Nelayan Asing di Tengah Laut Seram
Di bawah terang bulan, Sabtu (14/1/2017) sekitar pukul 03.00 WIT, perahu milik Yadi Bustan (42) yang saya tumpangi perlahan meninggalkan pesisir Kawa. Permukaan air memang terlihat teduh. Namun, sebagai anak pesisir, saya paham perjalanan ini takkan mudah. Perjalanan ini takkan teduh, takkan seteduh air di pesisir Kawa.
Menjangkau Kawa saja tidak mudah. Dari Ambon, saya harus naik mobil selama 45 menit hingga Pelabuhan Hunimua, Liang, kemudian naik kapal penyeberangan selama dua jam ke Waiprit. Begitu berlabuh di Waiprit, saya naik ojek selama 1,5 jam untuk tiba di Desa Kawa.
Setiba di Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, saya bertemu dengan Ketua Kelompok Nelayan Nusa Kamu, Samsul Sia, dan dua anggotanya, Yadi Bustan dan La Jainudin (45). Mereka menceritakan kerasnya kehidupan sebagai nelayan di Laut Seram. Di sisi lain, mereka juga bersedia mengajak saya melaut malam itu.
Menunggu keberangkatan perahu kami, saya menginap di rumah keluarga nelayan Abdul Kadir Ulat (75). Desa Kawa tentu saja desa kecil. Tidak ada losmen, apalagi hotel di desa itu. Saya pun sekadar merebahkan diri sebelum dibangunkan oleh Yadi.
Sebelum naik ke perahu milik Yadi, jujur saja saya tiba-tiba merasa gugup. Perahu fiber itu begitu kecil. Ukurannya hanya panjang 7 meter, lebar 1,2 meter, dan tinggi 0,7 meter. Sanggupkah perahu ini menaklukkan Laut Seram?
Kami juga berlayar tanpa jaket pelampung. Nah, bagaimana jika perahu ini tenggelam ditelan Laut Seram? Saya tentu bisa berenang meski berenang di tengah lautan tentu hal yang berbeda. Apalagi, jika perahu tenggelam di malam buta menjadi persoalan untuk menentukan arah berenang karena daratan pasti tidak terlihat.
Untung saja, begitu naik ke perahu itu, saya sempat melihat ada dua jeriken bensin. Dan saya berpikir, dengan dua jeriken itu mungkin kelak saya dapat menyelamatkan nyawa saya tatkala perahu mungil ini disapu gelombang besar.
[kompas-iframe src="https://www.google.com/maps/embed?pb=!1m18!1m12!1m3!1d2039217.3227745723!2d126.69474631219788!3d-3.3876817975955307!2m3!1f0!2f0!3f0!3m2!1i1024!2i768!4f13.1!3m3!1m2!1s0x2d6e82b96a49b1db%3A0x60ebd7cfb8cbc6b2!2sKawa%2C+Negeri+Kawa%2C+West+Seram%2C+West+Seram+Bagian+Regency%2C+Maluku%2C+Indonesia!5e0!3m2!1sen!2s!4v1487909493583" width="630" height="450"/]
Disapu kapal besar
Didorong oleh mesin berkekuatan 15 tenaga kuda (PK), perahu Yadi yang berukuran 0,5 gros ton GT) ini mulai bergerak menuju tengah laut. Terkadang, badan perahu bergoncang saat melewati gelombang setinggi 0,5 meter, tapi kami tetap terus melaju.
Setelah berlayar sejauh 10 mil laut (18,52 kilometer), kami melihat dua kapal yang masing-masing berukuran 100 GT sedang menebar jaring. Berton-ton ikan terjaring dua kapal yang bercahaya sangat benderang itu.
Kami juga mendengar instruksi-instruksi diucapkan dengan keras oleh para anak buah kapal. Instruksi-instruksi yang tidak kami pahami karena diucapkan bukan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Melayu.
“Tak mungkin dapat ikan di sini,” ujar Yadi lirih. Dari mendung di wajah Yadi, saya paham dia tidak suka dengan kehadiran kapal-kapal besar penangkap ikan. Kapal-kapal itu pasti menyapu bersih ikan di perairan itu. Kapal-kapal besar, kata Yadi, juga terkadang bongkar muat tangkapan di tengah laut meski telah dilarang Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jadi, meski perahunya lebih kecil, Yadi memilih bergerak lebih jauh ke tengah laut. Dan, kira-kira pukul 06.00 WIT, setelah berlayar selama tiga jam, perahu kami bersandar di sebuah rumah ikan di tengah laut.
Rumah ikan itu beralas rakit gabus dan bambu. Di atas rakit berdiri pondok berukuran 1,5 x 1,5 meter berdinding tripleks dengan atap daun sagu. Ada banyak nelayan singgah di rumah ikan itu untuk mempersiapkan diri sebelum menjala ikan.
Saya kemudian turun di rumah ikan untuk berinteraksi dengan nelayan lainnya. Saya ingin memahami penghidupan sebagai nelayan. Rumah ikan itu, kata Yadi, kira-kira berjarak 22 mil laut atau sekitar 40 kilometer dari pesisir Kawa.
Setelah saya turun di rumah ikan itu, Yadi langsung menjauh dengan radius ratusan meter. Dia ingin memanfaatkan waktu subuh untuk mengail tuna dan cakalang. Kata Yadi, saat fajar menyingsing, biasanya ikan mencari makan sehingga itulah kesempatan bagi nelayan untuk menjala ikan.
Reynaldo dari Filipina
Begitu menjejakkan kaki di rumah ikan itu, dari dalam pondok keluar seorang nelayan. Dia memperkenalkan diri sebagai Reynaldo Pomto (54), seorang nelayan yang ternyata asal Filipina. Awalnya, dia menyambut saya dengan ramah, dan saya dipersilakan duduk sambil menunggu Yadi memancing.
Namun, ketika saya mulai memegang kamera, Reynaldo—yang sedikit dapat berbahasa Indonesia—menjadi curiga. “Kamu jurnalis?” tanya Reynaldo.
Sejenak saya terdiam. Saya berpikir cepat. Saya tadi sempat mengamati pisau Reynaldo yang ada di pondok. Seram juga. Beberapa tahun lalu di bagian selatan Maluku Utara ada polisi yang terbunuh saat hendak menangkap nelayan Filipina. Nelayan Maluku juga sempat menceritakan, nelayan asing atau awak kapal asing biasa membawa senjata api. Saya pun sedikit cemas.
Ruang gerak di rumah ikan itu juga terbatas. Kalau duel, belum tentu saya menang melawan Reynaldo yang walau kurus tapi bertubuh liat itu. Melarikan diri juga mustahil dari rumah ikan yang sempit ini.
“Bukan. Saya bukan wartawan. Saya mahasiswa yang sedang penelitian ikan tuna,” ujar saya. Untung saja, ketika di perahu, saya sempat membalikkan jaket saya yang ada simbol persnya. Amanlah saya.
Saya kemudian dengan sengaja memotret ikan-ikan kecil di bawah pondok ikan. Saya juga memotret perahu nelayan yang hilir-mudik. Terkadang juga memotret langit biru, dan hanya sesekali, saya mengarahkan kamera ke pondok ikan itu. Beberapa kali, saya memperlihatkan hasil jepretan saya ke Reynaldo. “Bagus,” ujarnya. Reynaldo bahkan memperlihatkan minatnya untuk belajar memotret.
“Kamu mau difoto,” tanya saya kepada Reynaldo. Dia terlihat malu tetapi mau. Saya langsung meminta dia berpose untuk difoto. Kamera diset dengan timer. Foto-foto selesai.
Ketika Yadi kemudian merapat di pondok ikan, saya meminta dua ikan tangkapan Yadi. Ikan itu kemudian dimasak Reynaldo, dan kami pun kemudian menyantap ikan tersebut sambil bercakap-cakap. Perbincangan pun makin hangat. Tiada lagi sekat di antara kami.
Sekitar tujuh jam lamanya, saya menumpang di pondok ikan. Jangan bayangkan kami dapat duduk dengan nyaman. Rumah ikan itu adalah rumah terapung yang ikut bergerak seiring gelombang sehingga saya terkadang merasa pusing.
Terkadang pula, rumah ikan itu diterpa angin kencang dan hujan deras yang sesekali turun. Kami pun menjadi basah kuyup dibuatnya.
Tahan Menderita
Sepengakuan Reynaldo, ternyata dia asal General Santos, Provinsi Cotabato Selatan, Filipina. Dia tinggal di rumah ikan itu atas perintah investor asal Taiwan dari sebuah perusahaan ikan di Bitung, Sulawesi Utara.
Reynaldo mengaku dibuatkan KTP meski KTP dia ditahan oleh bos besar. Dia hanya diberikan catatan berisi nomor telepon yang dapat dihubungi oleh aparat ketika Reynaldo suatu ketika ditangkap.
Tiap bulan, Reynaldo digaji Rp 1,5 juta dengan makanan yang dipasok oleh armada kapal yang dimiliki perusahaan ikan tersebut. Mengapa perusahaan ikan itu mempekerjakan Reynaldo? Mengapa tidak dipekerjakan nelayan lokal Maluku?
Kata Reynaldo, nelayan asing seperti dirinya lebih tahan menderita. Nelayan asing juga tidak mudah mengeluh. Reynaldo mengatakan kepada saya bahwa dirinya memeluk agama Katolik, tetapi tidak pulang kampung ke Filipina selama dua bulan terakhir. Artinya, dia tidak merayakan Natal bersama keluarganya di Filipina.
Reynaldo tentu saja tidak sekedar menjaga rumah ikan itu. Dia menjaga rumpon-rumpon berbentuk seperti rudal yang “menangkap” berton-ton ikan. Meski ketika kami berpisah, saya memberikan uang Rp 100.000 setelah saya bersimpati mendengar perjuangan hidupnya.
Sekitar pukul 13.10 WIT, saya dan Yadi meninggalkan rumah ikan itu untuk kembali ke daratan. Perahu kembali diarahkan menuju pesisir Kawa. Karena lelah, dalam perjalanan, saya mengatakan kepada Yadi ingin merebahkan diri sejenak untuk beristirahat. Saya pun jatuh tertidur.
Namun, gelombang laut makin sore ternyata makin tinggi. Gelombang laut setinggi kira-kira 1,5 meter tiba-tiba menghantam kapal fiber milik Yadi yang saya tumpangi. Tubuh saya sempat terlempar walau kemudian gravitasi pun kembali menghempaskan tubuh ini. Krak.... Dua papan pengalas tidur pun patah.
Saya lalu terbangun dari tidur. Tulang belakang saya pun seolah terasa seperti telah patah. Tawa Yadi pun terdengar. “Itu belum apa-apa,” ujarnya, membesarkan hati saya. Gelombang laut setinggi 1,5 meter memang belum apa-apa, terkadang tinggi gelombang di Laut Seram dapat mencapai tiga atau bahkan empat meter.
Walau demikian, di sisa perjalanan, saya tidak lagi berani tidur. Saya memilih menemani Yadi yang mengendalikan perahunya untuk mencapai daratan. Akhirnya, kami tiba di Desa Kawa pada pukul 17.00 WIT.
Empat belas jam lamanya, saya mengarungi Laut Seram. Empat belas jam lamanya saya mempelajari kehidupan nelayan di perairan Maluku yang jelas tidak mudah untuk dijalani oleh sebagian besar anak bangsa ini.
Pengalaman ini pun saya tuangkan pada artikel di harian Kompas, Selasa (17/1/2017) di halaman satu dengan judul, “14 Jam Bertarung di Laut Seram”.
Hormat saya bagi para nelayan Laut Seram…..