Dikejar-kejar Pengemis di India
”Money, money...? No money? No candies...? Money...?”
Lima atau enam orang anak serentak mengejar saya di tepi Sungai Gangga. Mereka meminta bahkan setengah memaksa saya memberikan uang. Kalau tidak uang, ya, kata mereka, minimal permen saja. Padahal, Sabtu (4/3/2017) petang itu, saya sedang bergegas menyaksikan upacara Aarthi atau pemujaan kepada Dewi Gangga.
Reportase lapangan yang sedang saya lakukan di wilayah Triveni Ghat, kota Rishikesh, itu menjadi terganggu. Mereka tidak sekadar meminta. Anak-anak berusia 6-7 tahun itu mulai mengikuti dan mengejar saya ke mana pun saya melangkah. Saya sampai tersandung-sandung dibuatnya. Ketika permintaan mereka tidak dipenuhi, mereka menarik-narik baju dan tas saya.
Jujur saja, tambah panik saya dibuatnya. Tangan saya pun akhirnya selalu memegang telepon seluler di dalam saku serta menjaga agar tas tetap tertutup. Saya khawatir jika anak-anak itu ternyata adalah komplotan pencopet. Dan, begitu beruntungnya saya ketika akhirnya dapat meloloskan diri dari mereka.
Mengapa saya sampai diburu pengemis? Akar persoalannya adalah rasa iba.
Setelah tiba di Rishikesh, yang menjadi lokasi Festival Yoga Internasional, pada awal Maret 2017, saya tidak pernah menggubris anak-anak pengemis itu. Saya tidak pernah memberikan sepeser pun uang rupee kepada mereka. Saya selalu diam atau segera berlalu sambil mengucapkan, ”no, tidak” sembari tersenyum singkat.
Namun, di malam keempat, saya memberikan uang sebesar 50 rupee atau setara Rp 10.000 kepada seorang anak laki-laki. Kemudian, 50 rupee lagi bagi seorang anak perempuan yang mendekatiku, yang memberi isyarat dengan tangan bahwa dia meminta uang untuk makan.
Ternyata, setelah empat hari menyaksikan pengemis anak-anak, saya merasa iba dan tergerak untuk sedikit memberikan uang. Meski tidak disangka-sangka, dari kejauhan, sekelompok pengemis melihat saya memberikan uang.
Sialnya, si anak perempuan itu juga berteriak kegirangan setelah menerima uangku. Alhasil, sekelompok pengemis anak-anak itu beradu cepat mengejarku. Sungguh, tidak pernah sekalipun saya dikejar-kejar pengemis di Tanah Air. Dikejar pengemis hingga ditarik-tarik jelas pengalaman baru bagiku. Tapi, negara ini memang berbeda. Inilah India.
Pertama kali ke luar negeri
Perjalanan ke India merupakan tugas pertamaku ke luar negeri. Setelah diangkat menjadi karyawan tetap, secara berkala, kami wartawan Kompas ditugaskan meliput ke luar negeri. Kami tidak sekadar meliput acara tertentu untuk diberitakan, tetapi juga untuk memperluas wawasan.
Sebelumnya, tidak pernah terbayangkan saya dapat berkunjung ke negeri Mahatma Gandhi ini. India sebelumnya hanya dapat kubayangkan melalui film-film Bollywood di televisi. Tentu saja yang muncul tidak hanya kesan gemerlap, tetapi juga kesan gersang, panas, kumuh, padat, dan banyak pengemis.
Citra soal kemiskinan yang melekat pada India, bagi saya pribadi hal itu tecermin ketika saya mengingat kembali kisah Bunda Teresa di Kalkutta. Bunda Teresa bahkan meluangkan waktunya melayani orang-orang miskin dan tersingkirkan.
Kesempatan untuk melihat langsung serta bersentuhan dengan kehidupan di India datang ketika saya harus meliput promosi wisata Indonesia di ajang Festival Yoga Internasional pada 1-7 Maret 2017. Ketika itu, saya terbang ke India bersama dengan tim dari Kementerian Pariwisata, Indonesia-India Sanggam, serta Svara Semesta yang dipimpin oleh penyanyi dari Bali, Ayu Laksmi.
Sayangnya, walau negeri India ini luasnya 3,28 juta kilometer persegi―atau 5.500 kali luas dari Singapura, saya hanya sempat mengunjungi Kota Rishikesh. Ketika pertama kali mendarat di India, kami sebenarnya mendarat di New Delhi, di Bandara Internasional Indira Gandhi, tetapi ketika itu hari masih terlalu pagi sehingga saya tidak sempat berkeliling ibu kota India itu. Terlebih lagi, saya harus menempuh perjalanan darat selama 6,5 jam menuju kota Rishikesh.
Kota Rishikesh berjarak 251 kilometer ke arah utara dari New Delhi. Itu setara jarak Jakarta-Tasikmalaya atau setara jarak Yogyakarta-Semarang pergi-pulang. Berada di kaki Gunung Himalaya, elevasi kota Rishikesh mencapai 372 meter atau setara elevasi kota Magelang di Jawa Tengah. Jadi, walaupun matahari terik, ternyata angin dingin perbukitan tetap menusuk kulit.
Suhu udara pada pagi hari biasanya turun menjadi sekitar 14 derajat celsius kemudian pada siang hari menjadi 25-28 derajat celsius. Warga setempat pun lebih sering memakai baju berlengan panjang.
Walau Rishikesh hanya kota terbesar ketujuh di India, tetapi sebagai salah satu kota peziarahan dan salah satu kota suci bagi orang Hindu, Rishikesh menarik minat banyak orang untuk singgah.
Salah satu spot terpenting adalah Triveni Ghat, area di tepi sungai suci Gangga yang melintasi Rishikesh. Di Triveni Ghat ini, ada anak-anak tangga menuju ke tepi sungai. Di sana, para peziarah menjalani ritual agama Hindu dengan menyeburkan diri ke Sungai Gangga.
Mereka percaya bahwa dengan menyeburkan diri di Sungai Gangga, dosa-dosa mereka akan dibersihkan. Air Sungai Gangga memang dipercaya dapat menyucikan mereka. Sungai jelas memegang peranan penting dalam mitologi-mitologi Hindu.
Jadi, jangan heran jika Triveni Ghat kerap sekali penuh sesak dengan peziarah. Meski di sana, saya menemui orang tua lanjut usia dan orang cacat yang duduk berderet di tepi pagar menanti belas kasih para peziarah, pengunjung, dan wisatawan. Umumnya, mereka berpakaian kumal dan berselubungkan kain tebal untuk bertahan dari udara dingin.
Mereka bahkan tidur di sekitar Triveni Ghat dengan alas berupa spanduk-spanduk bekas. ”Mereka adalah orang-orang yang sangat miskin dan menunggu belas kasihan orang lain,” kata Amit Rana (21), salah seorang murid sekolah yoga.
Persoalannya, belas kasih itu tidak selalu ditunggu, tetapi seperti sudah saya ceritakan, saya mengalami sendiri diuber-uber pengemis. Pengalaman yang membekas bagi saya.
Kota Yoga
Selain sebagai kota suci orang Hindu, Rishikesh juga dikenal sebagai ”Yoga Capital of the World” alias ibu kota yoga dunia. Jangan heran jika kota ini dipenuhi oleh sekolah yoga dengan master-master yoganya.
Festival Yoga Internasional yang tempo hari saya hadiri digelar di Parmath Niketan. Ashram Parmath Niketan didirikan tahun 1942 oleh Pujya Swami Sukdevanandji Maharaj (1901-1965). Inilah ashram terbesar di Rishikesh yang dilengkapi dengan 1.000 kamar. Saat saya berada di Parmath Niketan, lebih dari 1.000 yogi dari sejumlah negara hadir dan berlatih yoga di ashram tersebut.
Pada Minggu (5/3/2017) pagi, saya berkesempatan mengikuti yoga bersama rombongan tim dari Indonesia yang dipimpin oleh artis Anjasmara, yang kini menjadi instruktur yoga. Tepat di tepi Sungai Gangga, yang terletak di ibu kota yoga dunia, saya melakukan yoga untuk pertama kalinya dalam hidup ini.
Pertama kali melakukan yoga dikelilingi praktisi-praktisi yoga senior tentu saja membuat saya merasa rendah diri. Mungkinkah saya melakukan gerakan-gerakan yoga dengan sempurna. Namun, Anjasmara pun berujar, ”just listen to your body... just listen to your body...” Okay, deh.
Setelah yoga ternyata otot-otot tubuh saya menjadi lebih rileks. Napas menjadi lebih tenang, dan energi dalam diri terasa kian positif. Terlebih lagi, setelah Anjasmara meminta kami semua, dalam meditasi, untuk tersenyum dan berterima kasih pada diri sendiri, pada tubuh kami sendiri.
Hal yang paling berkesan dari pengalaman pertama melakukan yoga ini adalah, ternyata saya mampu menghalau dinginnya udara pagi. Badan saya ternyata perlahan-lahan menjadi lebih hangat.
Seusai yoga, rekan-rekan saya satu per satu mulai menceburkan diri ke Sungai Gangga. Saya awalnya ragu untuk menceburkan diri karena air sungai itu pasti dingin. Namun, kapan lagi saya berkesempatan bersentuhan langsung dengan Sungai Gangga. Jadi, tentu saja saya menceburkan diri dan ikut membasuh diri di Gangga, salah sungai legendaris dunia itu.
Berdampingan dengan sapi
Gaya hidup vegetarian masyarakat setempat, dan juga kepercayaan Hindu, dalam pengamatan saya ternyata membuat masyarakat di Rishikesh hidup selaras dengan alam serta makhluk hidup termasuk hewan. Jangan heran bila banyak hewan diantaranya sapi dan keledai, yang hidup bebas dan berkeliaran di berbagai tempat termasuk di jalan raya dan pasar tradisional.
Bahkan di jalan raya, kawanan sapi dengan tenang dan bebasnya dapat berjalan serta menyeberang. Tidak sedikit pula sapi yang hanya tiduran, berdiam diri di tengah jalan. Di India, ternyata sapi sangat dihormati, sampai-sampai pengemudi kendaraan mengalah saat bertemu sapi di jalan raya.
Pertanyaan terbesar yang muncul di benak saya adalah, siapakah pemilik sapi-sapi itu? Di Banyumas, Jawa Tengah, di tempat saya biasa meliput, ternak sapi selalu berada di dalam kandang. Pemiliknya bahkan selalu menjaga keamanan sapi mereka sebab ternak itu adalah harta dan tabungan untuk masa depan.
Mengapa sapi di India bebas berkeliaran? Ternyata, sapi yang biasa saya temui di Rishikesh, tidak dimiliki oleh siapapun. “Mereka (hewan-hewan) itu hidup bebas. Tidak ada seorang pun yang memilikinya,” kata Neha Bansal, salah seorang warga India.
Di Triveni Ghat, saya bahkan menyaksikan seekor sapi menjilat-jilat sisa makanan dan minuman di dalam tempat sampah. Sambil tetap tenang mencari makanan, si sapi itu buang air dengan derasnya. Apa pun, itulah tradisi dan kebiasaan di India.
Meski Rishikesh menjadi ibu kota yoga dengan ashram-ashram yang menenangkan tetapi jalan-jalan di Rishikesh dan sebagian India, kondisinya sangat ramai. Bukan sekedar ramai bahkan menjurus ke chaos. Segala macam bunyi klakson terdengar dari mobil, motor, hingga rickshaw-- atau semacam bajaj.
Naik Rickshaw
Di Rishikesh, saya sempat naik Rickshaw, angkutan khas India. Angkutan itu tanpa argometer sehingga saya harus tawar-menawar tarif. Di beberapa kota besar India, saya dengar ada rickshaw atau bajaj yang memasang argometer tetapi tidak dengan rickshaw di Rishikesh.
Tarifnya rata-rata 100-200 rupee atau Rp 20.000 sampai Rp 40.000 untuk jarak tiga hingga empat kilometer. Namun, sekali lagi, kita harus menawarnya.
Terkadang, sopir-sopir rickshaw itu ngomel bila kita menawar sampai titik darah penghabisan. Akan tetapi, biarkan saja oleh karena ada begitu banyak rickshaw. Bila rickshaw pertama tidak setuju dengan tarif ya masih akan ada rickshaw lain, dan santai saja.
Sekali jalan, rickshaw dapat mengangkut 4-6 orang penumpang. Rickshaw ini memang lebih panjang daripada bajaj sehingga para penumpang dapat saling duduk berhadapan, depan, belakang.
Kalau penumpang tidak menawar terlalu dalam maka mereka “berhak” atas perjalanan nonstop rickshaw. Sebab terkadang, sopir rickshaw masih menawarkan penumpang lain untuk naik rickshaw bila baru mengangkut dua atau tiga orang. Rickshaw itu sesungguhnya angkutan sewa mirip taksi, tetapi sang sopir suka seenaknya seolah-olah sedang menyetir angkot!
Suatu kali, bersama tiga teman, saya hendak menuju satu tempat dengan tarif 150 rupee. Namun di tengah jalan, sopir rickshaw menepi untuk menaikkan penumpang. Kami langsung teriak, “fullll....”. Dengan bersungut-sungut, sopir rickshaw itu pun melaju.
Mencari ”The Beatles Ashram”
The Beatles, saya baca dari internet, pada Bulan Februari 1968 pernah berkunjung ke Kota Rishikesh untuk menghadiri meditasi transedental yang dipimpin oleh Maharishi Mahesh Yogi. Kunjungan the Beatles itu mengubah pandangan dunia terhadap spiritualitas India. Tiba-tiba, dunia demam dengan spiritualitas India.
Bagi The Beatles, setelah kunjungan ke Rishikesh, mereka mengalami masa-masa yang paling produktif ketika mereka menulis tidak kurang dari 30-an lagu. Dan, sepanjang sejarah the Beatles setidaknya ada delapan lagu yang terinsipirasi dari India. Di antaranya, lagu ”Across the Universe”, ”My Sweet Lord”, dan ”India, India”.
Berbekal informasi itu, pada hari terakhir di Rishikesh, saya meluangkan waktu untuk berkunjung ke ”The Beatles Ashram”. Saya memperlihatkan foto-foto ashram kemudian mengucapkan kata ”The Beatles Ashram” kepada seorang sopir rickshaw, yang dengan bersemangat mengatakan tahu lokasinya.
Setelah 30 menit berkendara, ternyata saya dibawa ke suatu tempat bernama ”Vithal Ashram”. Hah! Apakah pengejaan The Beatles hampir mirip dengan ”Vithal”? Saya heran mengapa tempat seperti itu tidak diketahui oleh si sopir rickshaw. Karena jengkel, dan sang sopir tidak mencarikan jalan keluar, akhirnya saya berjalan kaki mencari ojek motor.
Tukang ojek itu, Rajish Kumer, ternyata juga tidak mengetahui pasti lokasi ”The Beatles Ashram”. Namun setidaknya, dia bersedia bertanya ke beberapa temannya tentang ashram itu. Setelah merasa mengetahui lokasi ashram itu, kami menyepakati tarif ojek sebesar 400 rupee pulang pergi atau setara Rp 80.000.
Namun ternyata, kami kembali tersesat di dalam perjalanan bahkan sampai memasuki hutan-hutan di lereng bukit Rishikesh. Makin lama, jalan desa itu pun makin sepi. Rajish Kumer pun kembali bertanya sebanyak tiga kali kepada warga setempat sebelum kami tiba di Chaurasi Kutia atau The Beatles Ashram yang terletak di dalam Taman Nasional Rajaji. Ternyata, The Beatles Ashram hanya berjarak 500 meter dari tempat saya yoga di tepi Sungai Gangga!
Meski ashram tua itu tidak terawat, tetapi saya terkesan dengan suasana dan keheningan di The Beatles Ashram. Terletak di lereng bukit yang rindang, puluhan bangunan berbentuk kerucut sebagai tempat meditasi dan berlatih yoga masih kokoh berdiri. Di sebuah ruangan yang besar, saya masih melihat lukisan dinding para personel The Beatles. Dan, rasanya luar biasa sekali dapat berada di sana.
Rishikesh, vegetarian, yoga, Sungai Gangga beserta segala jenis kehidupan jalanannya menjadi bagian keutuhan kehidupan di India yang sempat menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Berada di negeri orang dengan segala kejutan-kejutannya ternyata juga membuatku bersyukur, dan terus bersyukur atas kehidupanku di Tanah Air-ku Indonesia. (*)