Puisi yang Berguru pada Rindu
Bagi kalangan santri, berhubungan dengan literasi estetis, seperti puisi, sesungguhnya bukan hal garib. Mereka sejak awal sudah berkarib dengan nazam. Kitab kuning banyak yang dikemas dalam bentuk syair, baik itu fikih (az-Zubad), sharaf (Yaqulu), nahwu (Imriti dan Alfiyyah), biografi Nabi (al-Barjanji) maupun tata cara melagukan puisi (Lamiyatul Af’al). Tidak sedikit santri yang hafal 1.000 bait (Alfiyyah). Bahkan, ada yang menghafal dengan cara mundur dari belakang, seperti dilakukan santri di pesantren Riyadhul Alfiyyah Wanaraja, Garut.
Ternyata menghafal puisi berbahasa Arab (asing) lebih mudah ketimbang yang berbahasa Sunda, Jawa, atau Indonesia. Sulit kita temukan bahkan penyairnya sekalipun yang hafal di luar kepala puisi-puisi yang telah ditulisnya. Atau mungkin dalam layar sadar, masyarakat santri Nusantara menghafal puisi berbahasa Arab dianggap mengandung nilai ibadah ketimbang di luar bahasa itu. Ada dimensi sakralitas dan muatan teologis dibandingkan di luar yang berbahasa Arab.
Religiositas
Nama Acep Zamzam Noor sudah sangat dikenal dalam kancah pergaulan sastra Nusantara. Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Perancis. Sekian penghargaan yang didapatkannya adalah bukti jejak sikap istikamahnya dalam ”menghidupi” puisi, termasuk ketika menulis sajak-sajak Sunda (antologi Dayeuh Matapoe dan Paguneman yang mendapatkan penghargaan Rancage).
Karya sastra Acep terbaru adalah kumpulan puisi berjudul Berguru Kepada Rindu (2017). Buku itu menghimpun 60 sajak dengan titi mangsa pada 2014-2016 yang hampir semua dimuat Kompas. Sebelumnya, Acep menerbitkan kitab puisi, yaitu Di Luar Kata (1996), Di Atas Umbria (1999), Dongeng dari Negeri Sembako (2001), Jalan Menuju Rumahmu (2014), Tulisan Pada Tembok (2011), dan Bagian dari Kegembiraan (2013).
Antologi ini diberi judul Berguru Kepada Rindu meskipun bukan merupakan salah satu judul dari puisinya. Penafsiran saya, pemilihan judul itu karena nyaris seluruh puisi yang ditulisnya melambangkan tema pokok ”kerinduan”. Arus utamanya membicarakan ”rindu” yang semestinya dijadikan sebagai guru oleh siapa pun yang memiliki keinginan meningkatkan marwah kemanusiaannya. Rindu yang tidak berhenti sebatas diksi. Kau dan aku yakin rindu tak sekadar diksi/Pertemuan tak sekadar beradunya langit dengan bumi (hal 61).
Rindu sebagai kata kunci di mana seharusnya seseorang merumuskan konsep dirinya, negara membangun haluan dasarnya, politisi mengarahkan kebijakannya, atau kiai mengelola pesantren secara semestinya. Jika kerinduan ini tidak dijadikan guru, seseorang dan bangsa akan kehilangan arah.
Demikian juga agama, ketika dilepaskan dari akar ”kerinduannya”, ia akan berubah menjadi keyakinan membatu, intoleran, eksklusif, dan tak pernah henti memamerkan kebenaran demi menganggap liyan sebagai keliru. Agama yang alih-alih mendatangkan riang justru menjadi arena konflik saling menistakan satu sama lain. Demikian juga politik, tanpa landasan rindu hanya semakin memperbanyak deret kerumunan para politisi yang kerjanya lima tahun sekali memburu kursi kekuasaan.
Kalau Martin Heidegger menyebut kata-kata sebagai rumah kehidupan dan asal mula dari segenap hal sekaligus tanda eksistensial yang mengarahkan masa depan, bagi Acep asal mula itu adalah rindu. Seperti kita baca dalam sajak pertamanya, ”Awal Kata” yang hanya dua baris: Lentik sunyi di ujung alismu/detak rindu di palung jantungku. Rindu tidak saja melambangkan psikologis seseorang, tetapi juga penanda peradaban sebagaimana dawat pada kertas merujuk pada keagungan ilmu pengetahuan. Buih-buih mengalir dari tengah ke tepi/dan kembali ke tengah/ putih melapisi biru/biru menghamparkan keluasan rindu (hal 14).
Bahkan, ketika Acep berbicara tentang tempat semisal Tidore, Ternate, Restoran Floridas, Tanggo Rajo, Lembah Harau, Tebo, dan Muntok, semuanya itu tidak menunjuk pada lokasi berwatak geografis, tapi dengan lembut mengarah pada—walaupun tidak harus menggunakan diksi rindu—kerinduan sublim, abadi, dan perenial. Seperti ingin menghidupkan kembali ”tanah yang dijanjikan”, tetapi entah di mana, untuk siapa, dan kapan akan terjadi. Justru pertanyaan ini yang bikin kerinduan itu menjadi api yang menggerakkan dan menggetarkan. Kerinduan menjadi semacam bayang-bayang yang selalu mengikuti dan terkadang berada di depan sejajar atau bertukar tempat. Dalam kerinduan, semua menjadi tidak mudah diteropong tak ubahnya interioritas manusia yang sulit diterka, manusia sebagai misteri seperti dibilang Alexis Carrel dalam Man the Unknown. Laut tenang pertanda dalam/bening mata tak mudah diteroka (Menyeberang ke Tidore) ...diselundupkan musim demi musim sebagai seloka... pulau setitik tinta hijau ini tidak kelihatan dalam peta.
Di tangan Chairil Anwar, pada ”Senja di Pelabuhan Kecil”, ”Sang Aku” itu ramai dan gempita menampilkan diri penuh semangat bahkan ”sedu penghabisan bisa terdekap”. Di jemari Acep, dalam ”Di Pelabuhan Kecil” (hal 19), ”Sang Aku” justru makin lesap dalam palung kesendirian sambil tak henti mengaktifkan ingatan tentang banyak hal, termasuk mengalirkan tembang arkaik masa kanak-kanaknya. Di pelabuhan, Chairil yang gegap dan Acep yang senyap.
Haluan mistisisme
Dalam tradisi mistisisme Islam (tasawuf) kerinduan itu dipadatkan dalam ungkapan ’isyq. Para sufi tak pernah berhenti belajar dan berguru kepada ’isyq. Kerinduan bukan hanya sesuatu yang bersifat ilmiah (teoritis/ortodoksi), tetapi juga amaliah (ortopaksi/praksis), tidak hanya ilmu, tetapi ngelmu dan laku.
Berguru kepada rindu, inilah barangkali yang niscaya kita lakukan, baik sebagai personal, umat, maupun bangsa. Kita sangat rindu hadirnya negara sebagaimana dicita-citakan kaum luhur, rindu lahirnya umat yang dapat memuliakan satu sama lain tanpa melihat latar belakang agama, ras, dan etnik. Sekarang saatnya rindu dinyalakan habis-habisan.
*ASEP SALAHUDIN, Wakil Rektor I AIILM Suryalaya, Ketua Lakpesda PWNU Jawa Barat.