logo Kompas.id
Bebas AksesBuku: Kaki dan Jari
Iklan

Buku: Kaki dan Jari

Oleh
Bandung Mawardi
· 5 menit baca
Iklan

Pada peristiwa direkam kamera, sekian tahun silam. Lelaki tua bernama Umberto Eco (pakar semiotika) seperti sedang mengajari kita tata cara menggerakkan raga mencari buku di ruangan berisi ribuan buku ditata rapi di rak-rak. Eco berjalan pasti. Mata mengarah ke sasaran: buku di suatu rak. Raga melintasi rak demi rak, melintasi ribuan buku. Detik demi detik berlalu, buku itu ketemu. Eco menemukan buku, menemukan diri dan dunia. Tangan pun memegang buku, jari-jari membuka acak isi buku. Eco bergerak lagi untuk membaca buku.Rekaman pencarian buku itu gampang ditemukan di internet. Rekaman pendek tapi mengesankan mata dan imajinasi literasi. Kita seperti berada di belakang Eco, mengikuti sampai menemu buku. Satu menit pencarian buku. Mata kita melihat rak, buku, meja, kursi, lukisan, pintu, dan jendela. Pencarian satu buku mirip pengembaraan menemu pelbagai hal. Penglihatan pada semua hal di ruangan memungkinkan penambahan makna diri dan buku. Eco telah mengajari kita meski rekaman peristiwa itu sulit seheboh rekaman para artis mendambakan ribuan komentar dan like. Eco masih mau mencari buku. Kaki bergerak tanpa ragu. Tangan memegang dengan pasti. Eco belum merekam diri mencari buku di perangkat teknologi. Eco mungkin malu menginginkan buku menggunakan mesin pencari. Jari-jari tak selincah raga saat bergerak mencari buku di ruangan realis. Apakah Eco masih teladan bagi kita dalam penghormatan buku? Eco pantas dijuluki pencari buku bercap tradisional? Kita melakukan permainan tafsir mengacu ke peristiwa Eco mencari buku pada saat raga orang-orang di abad XXI mulai mengurangi gerak dalam mencari buku. Mereka mencari dengan jari-jari. Penemuan dalam waktu cepat. Pencarian tanpa melelahkan dan mendebarkan.Kaki Eco turut bergerak menemukan buku, bukan cuma jari-jari. Kaki itu berjalan membawa kekuatan dan janji. Buku pasti ketemu! Ingat kaki dan buku, ingat kita ke biografi Sindhunata, pengarang dan pengelola majalah Basis. Pada sebuah esai berjudul Ambil dan Bacalah (2004), Sindhunata mengawali dengan kalimat pendek: "Membaca adalah kaki kita". Pilihan sebutan kaki itu diperoleh dari tulisan dan biografi orang Jerman keturunan Yahudi. Tokoh bernama Rosenkranz mengisi hari-hari tua, setelah derita demi derita akibat perang. Pada usia tua, Rosenkranz memilih tinggal di Bucharest. Setiap hari menggubah puisi, tanpa pernah jemu atau malu. Wasiat diberikan kepada istri: "Kalau aku sebentar lagi mati, aku akan mewariskan kaki ini kepadamu. Kaki ini kuat dan bagus. Dengan kaki telanjang, dulu sebagai anak-anak aku berjalan melewati salju. Kemudian sebagai tawanan, aku berjalan melewati es abadi. Dengan kaki ini, aku lewati kerikil-kerikil tajam dan batu-batuan. Pernah tawanan-tawanan kriminal menggulingkan lori, dan aku ikut teruruk dalam tumpukan batu-batuan. Dalam malapetaka itu, kakiku tak cedera sedikit pun. Tanpa kaki ini aku tak bakal menjadi seperti sekarang ini. Kaki ini tak pernah hancur dan lapuk, selalu menopangku sejak kecil." Kaki dalam wasiat itu dipilih sebagai metafor oleh Sindhunata selaku pembaca buku. Pilihan puitis!SejarahPemaknaan kaki dan buku semakin mengental dengan mengutip pemikiran Walter Benjamin. Sindhunata membahasakan: "Hidup berkaki kuat adalah hidup menyejarah. Namun, apa kita bisa tahu sejarah jika tak membaca buku?" Sekian penjelasan di esai memuncak ke ungkapan: "bukuku kakiku". Pada akhir tulisan, Sindhunata mengikut Umberto Eco saat terpukau pada petilan puisi gubahan Alanus: semua makhluk di dunia/ bagaikan buku dan gambar/ kaca cermin bagi kita. Pada rekaman Eco mencari buku dan Sindhunata membaca buku, kita sudah mendapat sekian metafora dan penumpukan makna jika diamalkan. Apakah amalan itu sulit dan wagu saat dipandang manusia-manusia abad XXI?Jawaban belum lengkap ada di uraian-uraian Nicholas Carr melalui buku berjudul The Shallows. Buku mendapat sihir pemikiran dari bentang pemikiran Marshall McLuhan, pemikir tenar media di dunia. Tirani teks sedang mendapat perlawanan besar oleh telepon, radio, film, televisi. Para pelawan semakin bertambah sampai abad XXI meski tak tercatat Marshall McLuhan. Sekian abad telah terkunci dengan bacaan cetak. Episode itu berakhir secara cepat dan kolosal. Tirani buku cetak diganti tirani-tirani baru.Di Indonesia, kita turut mengalami atau bersaksi atas peruntuhan tirani buku cetak, beralih ke digital. Orang-orang keranjingan pada digital, tak lagi memberikan rindu dan ciuman kepada buku cetak seperti puluhan tahun silam. Nicholas Carr mengingat saat takjub dalam peristiwa di Perpustakaan Baker: "...menelusuri koridor tumpukan buku, sempit, dan panjang. Meskipun dikelilingi puluhan ribu buku, aku tak pernah merasakan kegundahan seperti gejala sekarang dengan sebutan \'informasi berlebih\'. Ada sesuatu menenangkan di dalam keheningan buku-buku, kesediaan mereka bertahun-tahun menunggu kedatangan pembaca untuk menarik mereka dari rak." Kini, peristiwa itu terkesan mistis ketimbang teknologis akibat kelincahan jari-jari kita di gawai.Jari telah terpilih menggantikan kaki dalam peristiwa mencari buku di perpustakaan. Kaki dalam metafora membaca buku pun gampang diralat. Teknologi abad XXI telah sanggup mengubah sejarah buku dan biografi kita dalam hitungan detik, tak perlu sampai semenit. Pengalaman membaca buku menjadi bukti percepatan tirani baru. Dulu, orang terbiasa membaca buku dengan ratusan halaman dalam takzim, terhindar dari gundah. Pembaca teranggap "tenggelam" di buku cetak. Adegan itu mirip ibadah dan terlalu sulit diadakan pada abad XXI saat orang-orang memiliki tirani jari di gawai. TS Eliot membuat metafora apik bagi ketakziman membaca buku cetak: "titik diam dari dunia berputar". Kini, kita memilih berkelana akibat mata selalu tergoda memandang hal-hal berbeda melalui sentuhan jari dalam hitungan detik di gawai. Jari tak lagi bersentuhan dan menggerakkan halaman-halaman buku cetak seperti pengalaman Umberto Eco, Sindhunata, dan Nicholas Carr.Di kalangan teolog masa lalu, membaca buku mengandung makna mendalam. Membaca buku adalah tindakan perenungan tapi tak melibatkan pengosongan pikiran. Membaca buku adalah pemenuhan atau penambahan pikiran (Nicholas Carr, 2011). Kita tak wajib mengikuti dan taat pada makna buatan orang-orang masa lalu. Kita itu pembaca buku digital, tak harus berkertas dalam peribadatan lawas. Ruangan di rumah tak harus menjadi sesak oleh buku-buku. Perpustakaan hampir beralih makna. Ribuan buku telah menimbulkan capek dan pemborosan di perpustakaan. Buku-buku ada di genggaman. Puluhan atau ratusan buku terbuka dengan sentuhan jari. Tangan tak perlu lagi memegang seperti para pembaca dari abad XVI sampai XX. Jari telah menentukan meski tak menambahi iman kita sebagai pembaca. Jari lekas bergerak memunculkan pelbagai hal selain buku untuk memanjakan kita. Buku mungkin cuma masa lalu. Buku pun berlalu dari jari dan mata. Bandung Mawardi, Kuncen Bilik Literasi, tinggal di Solo.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000