Ketunggalan Data KTP Elektronik Tidak Tercapai
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik 2011-2012 menyebabkan ketunggalan data administrasi kependudukan tidak tercapai karena sebagian besar data tak divalidasi. Teknologi dan pengadaan cip KTP elektronik pun impor seharga dua kali lebih mahal dari nilai riilnya.
Bahkan, cip yang digunakan dalam KTP-el sudah ketinggalan zaman. Saat dilakukan penyusunan pengadaan KTP-el tahun 2010, cip yang digunakan merupakan seri tahun 1996. Seri itu tiga generasi di bawah seri cip yang diproduksi tahun 2010.
Tak tercapainya ketunggalan data administrasi kependudukan dan buruknya kualitas KTP-el itu diungkap dua saksi ahli yang dihadirkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang lanjutan korupsi pengadaan KTP-el 2011-2012 dengan terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (23/11).
Kedua saksi ahli tersebut adalah Bob Hardian Syahbudin selaku pakar hukum komputer dari Universitas Indonesia dan Eko Fajar Nur Prasetyo selaku pakar dan perancang cip dari Sony. Keduanya telah melakukan pengukuran dan pengujian pada KTP-el yang disediakan penyidik KPK.
Terkait tak tercapainya ketunggalan data pada KTP-el diungkap oleh Bob. Dari hasil pengujian, menurut Bob, sesuai kerangka acuan kerja pengadaan KTP-el 2011-2012, ketunggalan data itu dicapai dengan merekam sidik jari sebagai data utama dan perekaman identitas iris mata sebagai data minor. Dengan asumsi, jika seseorang memiliki cacat pada tangan sehingga sidik jarinya tak dapat direkam, maka iris mata yang direkam.
Namun, pada praktiknya, alat perekam sidik jari maupun iris mata disediakan di setiap tempat perekaman data KTP-el. Hal itu bertentangan dengan kerangka acuan kerja yang mengatur bahwa alat perekam iris hanya disediakan di tempat tertentu karena hanya digunakan bagi warga yang tak dapat direkam sidik jarinya.
Sementara pada validasi ketunggalan data tak mengikuti asas deduplikasi dan pemangkasan kesamaan data dengan benar. Semestinya untuk memperoleh ketunggalan data, satu sidik jari yang direkam diverifikasi dengan data sidik jari dari KTP-el lainnya sehingga diperoleh kepastian sidik jari itu sebagai tunggal. Terakhir baru dilakukan pencocokan kembali data sidik jari yang direkam dengan orang pemilik data sidik jari tersebut.
Pada kenyataannya, kata Bob, data yang terekam pada cip KTP-el adalah sidik jari. Namun, untuk deduplikasi menggunakan iris mata. Cara validasi demikian menjadi celah tak tercapainya ketunggalan data karena sidik jari yang terekam di cip bisa saja milik orang berbeda.
"Pencocokan one to one (data yang direkam dengan orang) itu tak menggunakan proses verifikasi yang benar. Itu terbuka identitas tak tunggal. Sebab, yang disimpan (di cip) itu sidik jari, tetapi yang dicocokkan malah iris (mata)," jelas Bob.
Sementara dari 140 juta KTP-el, lanjut Bob, hanya 7 juta yang divalidasi dan dilakukan dengan cara tidak tepat. "KTP elektronik yang belum diaktivasi ada kemungkinan datanya salah," ujarnya.
Kondisi tersebut, menurut Bob, menyebabkan pembengkakan biaya jika validasi KTP-el dilaksanakan. Hal itu karena alat pembaca KTP-el harus dilengkapi peranti tambahan dan biayanya besar. "Konsekuensinya alat pembaca di masa mendatang harus dilengkapi alat aktivasi dan harganya akan lebih mahal," kata Bob.
Lebih mahal
Harga riil cip penyimpan data KTP-el, termasuk biaya personalisasi data pada cip, jauh di bawah anggaran pengadaan KTP-el 2011-2012. Dalam dakwaan terhadap Andi, cip KTP-el bermerek NXP produksi Belanda dan ST Micro dari Singapura.
Eko mengungkapkan, harga riil cip KTP-el tak lebih dari 25 sen dollar AS (Rp 2.500) dan biaya personalisasi data Rp 1.443 sehingga total biaya Rp 3.943 per cip. Sebaliknya dalam anggaran, cip dihargai Rp 9.400 per keping dan biaya personalisasi Rp 1.500 dengan total Rp 10.900 per cip.
Selain saksi ahli, jaksa KPK juga menghadirkan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum untuk dikonfirmasi terkait fakta persidangan sebelumnya bahwa Anas turut memperoleh aliran dana proyek KTP-el sebesar Rp 20 miliar.
Saat dikonfirmasi majelis hakim yang diketuai Jhon Halasan Butarbutar, Anas mengatakan, "Saya tidak pernah mengetahui proyek KTP elektronik." (MDN)