Menjaga Jiwa Tetap Menyala
Prinsip Soebagijono seperti apa yang dikatakan Paulo Coelho, seorang novelis Brasil, ”Seberapa terang pun sepotong arang yang terbakar, dia akan padam dengan cepat kalau dijauhkan dari api. Seberapa pun cerdasnya seseorang, dia akan segera kehilangan kehangatan dan bara apinya kalau menjauhkan diri dari sesamanya, manusia.”
Sejak 1990, Soebagijono menjadi perawat di Puskesmas Bantur, sekitar 45 kilometer dari pusat kota Malang. Ia diberi tugas di bidang pencegahan penyakit menular.
Pada Oktober 2011, saat itu terjadi kejadian luar biasa demam berdarah dengue di wilayah Puskesmas Bantur. Soebagijono dan tim turun ke lapangan untuk pemeriksaan jentik nyamuk. Di suatu pondok terpencil, Soebagijono dan tim mendengar teriakan perempuan dari sebuah pondok kayu. Ia memaki-maki dan meminta makan.
Merasa penasaran, Soebagijono mengintip ke dalam pondok dan mendapati perempuan berusia 30-an tahun tanpa busana dan dalam kondisi dipasung. Perempuan itu segera menyadari kehadiran Soebagijono. Teriakannya kian menjadi-jadi. Tangannya menerobos dinding kayu dan meraih dedaunan. Dengan cepat, dedaunan itu diambil dan oleh perempuan itu dijadikan wadah buang air besar. Mirisnya, setelah itu, Soebagijono menyaksikan perempuan itu dengan cepat memakan kotorannya sendiri.
Kejadian memilukan itu membuat suami Siti Yuni Maslukah itu tidak bisa tidur selama dua malam. Rasa kemanusiaannya terusik saat menyaksikan sesamanya tak bisa hidup layak. Sejak itu, Soebagijono memutuskan mendedikasikan hidupnya untuk merawat orang dengan gangguan jiwa dan terpasung. Ia memilih menjadi pelita bagi dunia ”gelap” gangguan jiwa.
Soebagijono menanyakan perihal adakah program penanganan orang gangguan jiwa di Puskesmas Bantur. Namun, jawabannya cukup memilukan. Katanya, gangguan jiwa bukan program unggulan dan prioritas sehingga tidak ada program pengentasan kasus gangguan jiwa.
Tidak ingin menyerah, Soebagijono memodifikasi ilmu surveillance atau kewaspadaan dini yang dimiliki menjadi ilmu deteksi dini penderita gangguan jiwa. Keyakinannya, semakin cepat penderita gangguan jiwa dideteksi, maka semakin cepat pula penyembuhannya.
Soebagijono memilih Desa Srigonco untuk memulai gerakan merawat orang dengan gangguan jiwa. Hal itu karena Soebagijono pernah tinggal 14 tahun di desa itu. Dia sudah kenal akrab dengan kader kesehatan dan warga di sana. Hal itu dinilainya akan memudahkan gerakan merawat penderita gangguan jiwa.
Dia pun mulai dengan mencari data kasus penderita gangguan jiwa. Walaupun di lapangan ada beberapa penderita gangguan jiwa, hal itu tidak ada datanya. Soebagijono lalu mengajak perwakilan kader kesehatan dari lima desa di wilayah Puskesmas Bantur untuk mendata dari rumah ke rumah mencari penderita gangguan jiwa. Hasilnya, ditemukan empat penderita gangguan jiwa yang dipasung dan 24 penderita gangguan jiwa lainnya mulai ringan hingga berat.
Dari sana, Soebagijono mulai mencari referensi merawat orang dengan gangguan jiwa. Ia bertanya kepada adiknya yang menjadi kepala ruangan di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang. Sejak itu, hari-hari Soebagijono dihabiskan untuk mengunjungi rumah per rumah mencari data.
Kambuh
Hasilnya diketahui bahwa penderita gangguan jiwa biasanya berobat ke RS, pulang, sembuh, dan kambuh lagi. Hal itu terus berulang. Soebagijono menyimpulkan bahwa keluarga dan masyarakat sekitar adalah penyebab stres yang bisa membuat penderita gangguan jiwa kembali kambuh. Karena itu, Soebagijono memfokuskan gerakannya pada gerakan perawatan berbasis warga.
Gerakan Soebagijono terendus oleh kampus Universitas Brawijaya (UB), Malang. Mereka memfasilitasi Soebagijono untuk menimba ilmu kejiwaan komunitas di Universitas Indonesia selama 10 hari. Sepulangnya, UB juga memfasilitasi pemetaan penderita gangguan jiwa di lima desa di wilayah Puskesmas Bantur. Kompensasinya, Soebagijono menerima mahasiswa keperawatan UB untuk magang dan membantunya melakukan program perawatan kesehatan jiwa tersebut. Hasil dari pemetaan itu, ditemukan ada 212 orang dengan gangguan jiwa dan 18 orang terpasung.
Soebagijono mendidik kader kesehatan di wilayahnya untuk diajak turut merawat penderita gangguan jiwa. Kader ini rata-rata adalah kader posyandu, kader kesehatan, plus ditambah menjadi kader kesehatan jiwa. ”Kami mengajari keluarga, penderita gangguan jiwa tidak boleh dikucilkan. Mereka harus diawasi dan diajak berkomunikasi agar merasa dicintai,” katanya.
Gerakan Soebagijono terus berkembang. Tahun 2014, ia membangun posyandu jiwa. Ada lima kader kesehatan jiwa di setiap desa yang akan melayani pemeriksaan kesehatan jiwa sebulan sekali. Saat ini, ada 210 kader kesehatan jiwa di wilayah Puskesmas Bantur.
Secara berkala, ada dokter jiwa yang datang dari RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat Lawang yang datang ke Bantur untuk memeriksa para penderita gangguan jiwa. Selain itu, ada kiriman obat untuk penderita gangguan jiwa dari dinas kesehatan ke puskesmas.
Secara umum, Soebagijono masih membiayai sendiri program untuk merawat penderita gangguan jiwa. Ia mengambil dari penghasilan tambahannya sebagai dosen terbang di enam kampus. Hal itu membuat hari-hari Soebagijono sangat sibuk. Ia mengaku rata-rata dalam sehari hanya tidur 1-2 jam. Namun, ia menjalaninya dengan ikhlas karena merasa jalan ini adalah jalan pengabdiannya kepada sesama.
Kerja keras Soebagijono mulai menampakkan hasil. Dari 212 penderita gangguan jiwa, kini tersisa 196 orang. Mulai ada perhatian desa atas perawatan orang dengan gangguan jiwa. Misalnya, pada 2017, lima desa di wilayah Puskesmas Bantur mengalokasikan dana desa (rata-rata masih sebesar Rp 2 juta) untuk mendukung posyandu jiwa. Desa di luar Bantur juga mulai mereplikasi program posyandu jiwa ala Soebagijono.
”Satu hal yang kini saya cita-citakan adalah di Puskesmas Bantur ini ada seorang psikiater (tetap) yang bisa memberikan, mengawasi, dan mengontrol pemberian obat kepada penderita gangguan jiwa,” katanya.