Pujian
Saya membaca keterangan foto seorang teman yang diunggahnya di sebuah media sosial. ”Pujian itu memberi saya harapan, kepercayaan diri, dan menyuntik sejuta semangat untuk apa yang akan saya kerjakan di masa depan.”
Tumben
Awalnya waktu saya membaca itu, timbul sebuah ide untuk menulis mengenai mengapa orang itu sampai tidak memiliki kepercayaan diri untuk menyemangati dirinya sendiri? Mengapa sampai perlu pujian orang lain, terutama orang lain yang masuk ke dalam kategori sangat terkenal dan piawai? Apakah begitu susahnya menyemangati diri sendiri?
Sejauh seseorang menciptakan karyanya sendiri yang diciptakan dengan cinta, yang diwujudkan sesuai tingkat kepandaiannya dan yang memberi rasa puas pada akhirnya, tidakkah itu sudah cukup digunakan sebagai sarana memberi harapan, semangat untuk berjuang di masa depan? Meski menurut orang lain karyanya itu hanya sebuah hasil karya yang, yaaaa… gitu deh.
Tak lama setelah berpikir demikian, tumben-tumbennya nurani yang biasanya bawel memberi sebuah sudut pandang yang berbeda, meski terasa masih ada sindiran yang terselip di dalam suaranya.
”Kamu sendiri itu, kan, sudah mengalami bagaimana rasanya mendapat pujian dari orang lain, meski orang lain itu orang biasa yang jauh dari kondang. Bukankah perasaan yang kamu alami itu membakar semangat, memberi rasa yakin bahwa apa yang kamu lakukan itu benar. Seperti tulisanmu yang sok baik ini. Kan, sudah beberapa kali kamu menerima pujian secara spontan.”
Setelah kicauan suara nurani itu berhenti terdengar, saya terdiam beberapa menit lamanya, kemudian membawa saya kepada sebuah peristiwa di masa lalu. Dulu, saya ingin menjadi seorang perancang busana.
Untuk meyakinkan bahwa saya baik di bidang ini, saya mengikuti sebuah lomba tingkat nasional yang diselenggarakan oleh sebuah majalah wanita. Singkat cerita setelah mencoba beberapa tahun berturut-turut, akhirnya di tahun kelima kalau tidak salah, saya masuk sebagai salah satu finalis.
Namun, jauh sebelum peristiwa yang membuat saya gemetar karena bisa masuk final terjadi, ada masa perjuangan yang menyakitkan. Ayah yang melihat saya yang menghabiskan waktu untuk menggambar, berkomentar begini. ”Gambar-gambar aja, kayak orang kurang kerjaan.”
Tepat dan tulus
Anda saya yakini pasti tahu apa yang berkecamuk dalam perasaan saya sebagai anak yang berusaha untuk meraih cita-citanya. Komentar pedas dan penghinaan itu telah berhasil memberi rasa tertekan yang sangat. Apalagi komentar itu datang dari seorang ayah, yang saya pikir seyogianya lebih bisa mengerti ketimbang orang lain.
Bisa jadi, komentar pedas itu karena ada perasaan malu seorang ayah melihat anak laki-lakinya menjadi perancang busana. Saya tidak tahu apakah ada orangtua yang juga malu kalau anak laki-lakinya menjadi tukang masak, meski katanya urusan dapur adalah urusan perempuan.
Dengan keadaan tidak nyaman itu saya menjadi terpacu untuk maju, itu sebuah fakta yang benar adanya. Namun, sekarang saya merasa, bahwa berpikir untuk terpacu maju karena tekanan itu sungguh sangat manipulatif. Bagaimana seseorang dapat maju dengan fondasi yang begitu negatif?
Kalaupun berhasil maju dengan gemilang, apalah gunanya kemenangan yang diraih karena luka yang dibuat orang lain atasnya? Kalau demikian adanya, apakah saya harus dilukai terlebih dahulu supaya terpacu maju?
Maka, saat saya keluar menjadi pemenang harapan satu di lomba tingkat nasional itu, yang buat saya sebuah prestasi karena target saya hanya sampai masuk final, maka pujian yang saya terima atas kemenangan itu saya dedikasikan untuk luka yang menganga.
Ada yang mengatakan pujian itu membuat orang jadi tidak menginjak bumi. Saya sendiri juga tidak tahu. Sampai sekarang pun ada pujian yang saya terima, tetapi saya masih menginjak bumi. Yang saya tahu, pujian itu bisa jadi membuat saya pongah.
Pujian itu sungguh memberikan semangat. Nah, kalau perusahaan Anda mau maju, kalau anak-anak Anda diharapkan tumbuh menjadi anak yang percaya diri, kalau hubungan asmara dan pernikahan Anda mau langgeng, Anda harus menyemangati. Pujian adalah salah satu caranya.
Anda tak perlu menjadi pimpinan atau kepala keluarga yang menekan sebagai taktik untuk memajukan karyawan atau putra dan putri Anda. Tidak juga dengan cara memberikan persaingan di antara mereka, berikan porsi pujian yang tepat dan terutama yang tulus.
Kalau sebagai pimpinan perusahaan, kepala keluarga, manajer, suami, atau manusia yang katanya makhluk sosial, Anda merasa mulut Anda pedas seperti ayah saya, susah memberi pujian karena Anda berpikir akan membuat orang besar kepala, maka belajarlah untuk tidak menjadi pedas dan mengubah cara berpikir yang belum tentu benar itu.
Karena itu, keengganan Anda untuk belajar adalah cermin kalau Anda tak sedang menyemangati seseorang untuk maju. Anda sedang melukai seseorang dan yang menyemangati mereka maju adalah mereka sendiri, dan bukan Anda.