Musik Nusantara Jadi Perekat Bangsa
JAKARTA, KOMPAS — Alat musik dan musik di Nusantara merupakan bagian dari kejeniusan sebagai bangsa. Dengannya, kita dapat meneropong serta merawat identitas dan jati diri sebagai bangsa yang beragam. Bunyi-bunyian estetis yang dihasilkan juga dapat menyentuh wilayah rasa sehingga sebetulnya mampu menjadi jalan perekat sosial.
Dalam perkembangannya, alat musik dan musik di Nusantara justru kian terasing dan tergerus zaman. Diperlukan upaya luar biasa agar alat musik dan musik di Nusantara tetap lestari.
Demikian hal yang mengemuka dalam diskusi terkait alat musik dan musik di Nusantara yang berlangsung pada Kamis (11/1) di kantor harian Kompas, Jakarta. Hadir sebagai pembicara, etnomusikolog Rizaldi Siagian; dosen Universitas Sumatera Utara, Irwansyah Harahap; dosen Etnomusikologi ISI Surakarta, Joko S Gombloh; musisi Viky Sianipar, dan musisi sekaligus aktris Ayu Laksmi.
Diskusi digelar untuk mengawali liputan mengenai alat musik dan musik di Nusantara mulai akhir Januari hingga November 2018. Hasil liputan edisi perdana akan dimuat di harian Kompas edisi Minggu mulai Februari 2018.
Menurut Rizaldi, salah satu bukti kejeniusan yang dimiliki bangsa kita tergambar pada bentuk kecapi batak yang secara bentuk lebih sederhana daripada gitar. Namun, tidak demikian dengan musik yang dihasilkannya. ”Makin sederhana alat musiknya, makin sulit memainkannya,” ujar Rizaldi.
Salah satu bukti kejeniusan yang dimiliki bangsa kita tergambar pada bentuk kecapi batak yang secara bentuk lebih sederhana daripada gitar.
Begitu pula dengan sasando gong dari Pulau Rote yang sesungguhnya merupakan sebuah sistem yang ditransformasikan ke dalam alat sederhana berbahan lontar. ”Namun, prinsip dasarnya dikonsep dari permainan sasando gong,” kata Rizaldi.
Irwansyah menyatakan, keragaman alat musik dan musik tradisional merupakan cermin kejeniusan dan kebijaksanaan lokal.
Pembicara lain, Ayu Laksmi, mengungkapkan, saat masuk wilayah rasa, musik mampu dinikmati siapa saja sebagai renungan, refleksi kehidupan, kesejukan, dan kemegahan rasa. Bahkan, ada yang merasa mendapat pencerahan dan penyembuhan. Dia mencontohkan beberapa lagu dalam album Svara Semesta miliknya, yang diputar di dalam kegiatan healing art untuk retret.
Pelestarian
Menurut Irwansyah, keragaman dan kearifan lokal dari alat musik dan musik Nusantara perlu diungkap secara menyeluruh sehingga generasi muda tidak ahistoris. Perlu juga dilakukan pelestarian sehingga ada jejak di generasi muda.
Pelestarian itu antara lain dilakukan Ayu Laksmi dan Viky Sianipar. Viky mereservasi lagu-lagu daerah agar bisa bertahan hingga 50 tahun lagi atau lebih. Caranya, dia mencari tahu genre musik kesukaan anak-anak zaman sekarang, seperti musik Linkin Park yang beraliran nu metal dan rock alternatif. Simak misalnya lagu ”Sinanggar Tulo” yang diaransemen ulang dengan balutan musik rock alternatif ala Linkin Park.
”Saya ingin, ketika anak-anak zaman sekarang jadi tua nanti, lagu ini masih ada,” kata Viky yang telah menelurkan lima album bertajuk Toba Dream, album-album yang berisi aransemen ulang lagu-lagu daerah.
Cara ini memang tidak mudah. Viky banyak dicecar kaum tua Batak karena lagu-lagu yang dia aransemen ulang, seperti lagu ”Sinanggar Tulo”, menjadi beda. ”Kata mereka, hilang Bataknya.”
Akan tetapi, justru karena dikemas secara berbeda, lagu itu banyak didengar kaum muda. Mereka pelan-pelan bertanya kepada orangtuanya tentang kata-kata dalam bahasa Batak di dalam lagu tersebut.
Upaya itu didukung Joko S Gombloh. Hanya saja, dia mengingatkan jangan sampai preservasi memutus cerita sejarah lagu atau musik tersebut. Untuk itu, sangat penting memaparkan kepada masyarakat tentang posisi musik terkait, baik dalam hubungannya dengan ritual maupun tradisi tertentu tempat musik itu lahir dan tumbuh.
Kekhawatiran Gombloh beralasan karena dalam penelitian dia menemukan fakta tentang persepsi warga terkait alat musik tradisional. ”Mereka bilang, alat musik tradisional mereka kibor. Sebab, sejak lahir, kibor yang mereka kenal,” katanya.
Hal yang menggembirakan, kata Gombloh, mengutip Peter Gabriel, pesohor musik pop-rock asal Inggris, apresiasi kepada budaya musik non-Barat, mulai dilirik kalangan pemusik industri. Didukung media massa dan industri musik yang menguasai pasar musik global, penetrasi formula musik ini berlangsung cepat dan merambah hampir di seluruh dunia.
”Industri rekaman musik dan media massa global sangat berperan mengonstruksi cita rasa (taste) musik yang kemudian menjadi kiblat para pemusik ini,” kata Gombloh sembari menambahkan, musik di Nusantara juga masuk di dalam bahasan tersebut. (DOE/MHF)