Dalam sejarah seni rupa kita, suasana bulan Desember tidak identik dengan sukacita perayaan hari Natal dan Tahun Baru. Justru sebaliknya. Pada 31 Desember 1974, sebuah karangan bunga bersampirkan pesan ”Turut Berduka Cita atas Kematian SENI LUKIS INDONESIA” tiba di beranda galeri Taman Ismail Marzuki. Ucapan dukacita tersebut dikirim untuk memprotes keputusan juri atas pemenang sayembara Pameran Besar Seni Lukis Indonesia I. Tak berapa lama, petugas keamanan bergegas menyingkirkan karangan bunga itu.
Di antara keramaian pengunjung galeri, sejumlah pekerja seni membagikan salinan Pernyataan Desember Hitam 1974. Pernyataan Desember Hitam dibuka dengan kalimat menohok: ”Mengingat bahwa sejak beberapa tahun yang lampau, kegiatan-kegiatan seni budaya dilaksanakan tanpa strategi budaya yang jelas, maka kami menarik kesimpulan bahwa pada pengusaha-pengusaha seni-budaya sedikit pun tidak tampak wawasan terhadap masalah-masalah paling asasi dari kebudayaan kita”.
Tiga belas penanda tangan pernyataan menuntut agar arah spiritualitas seni berpangkal pada ”nilai-nilai kemanusiaan dan berorientasi pada kenyataan kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi”. Pameran Besar Seni Lukis Indonesia I adalah salah satu ikon estetika Orde Baru yang merayakan puncak-puncak kebudayaan daerah dengan seni abstrak berbumbu eksotika ornamen tradisional. Para penanda tangan pernyataan Desember Hitam melansir bahwa pameran itu merupakan isyarat adanya suatu ”erosi spirituil” dalam tubuh kebudayaan Indonesia. Karangan bunga berikut pernyataan Desember Hitam tampaknya dikirim sebagai ungkapan kesedihan sekaligus kemarahan terhadap estetika Orde Baru.
Kamis, 7 Desember 2017, sebuah karangan bunga dukacita bersampirkan pesan ”Turut Berduka Cita atas Kematian SENI LUKIS JOGJA” hadir di antara papan-papan bunga besar yang mengucapkan selamat atas dibukanya sebuah hotel nyeni di Jalan Kaliurang. Malam itu sedang berlangsung sebuah pesta untuk kalangan terbatas, barangkali merayakan persetubuhan antara ”art” dan ”hotel”, antara ”seni” dan ”bisnis pariwisata”. Karangan bunga untuk hotel sepuluh tingkat itu datang tanpa surat pernyataan.
Di satu pihak, sejumlah seniman urunan menyumbang kritik. Pada 2014, seorang seniman yang lahir dan besar di Miliran berunjuk rasa dengan ”mandi tanah” di depan hotel yang telah menguras persediaan air warga setempat. ”Jogja Istimewa—istimewa hotelnya”, sindir seorang seniman melalui poster-posternya yang ditempel di dinding-dinding jalanan kota. Di pihak lain, ada juga seniman yang tidak peka terhadap keadaan dan malah menjadi kaki tangan bagi pemilik modal untuk memperindah wajah pembangunan. Ruang di mana seniman memilih untuk memajang karyanya selalu merupakan pilihan politis. Jika hotel yang menjadi pilihannya, sudahkah sang seniman mengenali dimensi sosial dan politik ruang tersebut?
Seni berkabung
Apa yang terjadi setelah kematian dinyatakan? Karangan bunga dukacita yang dikirimkan ke Taman Ismail Marzuki pada 1974 telah menggulirkan semangat eksperimen artistik yang kemudian terakumulasi menjadi Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia. Para penanda tangan pernyataan Desember Hitam seolah menundukkan kepala untuk berkabung sejenak, lantas segera mengangkat dagu untuk menuntut arah baru dalam perkembangan seni di Indonesia. Kurang dari setahun kemudian, Pameran Seni Rupa Baru Indonesia dihelat di galeri TIM yang menjadi lokasi pernyataan matinya seni lukis Indonesia. Apakah dapat dikatakan bahwa pernyataan atas matinya ”seni lukis Indonesia” telah melahirkan ”seni rupa baru Indonesia”?
Pada 1970-an, Seni Rupa Baru tidak lahir di ruang hampa. Ia berutang pada nilai-nilai progresif ”seni untuk rakyat” yang dipraktikkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat yang dibungkam dengan brutal oleh rezim Orde Baru. Sekaligus, Seni Rupa Baru hadir melalui proses dialektis dengan memosisikan diri sebagai antitesis atas dominasi warisan estetik ideologi humanisme universal yang berwujud seni lukis abstrak modern berbalut kegenitan tradisionalisme. Momen dialektis apa yang dapat diperjuangkan oleh seniman hari ini?
Karangan bunga di depan hotel di Jalan Kaliurang juga tidak lahir di ruang hampa. Bagi yang melek sejarah seni rupa, sudah cukup jelas bahwa dari bentuk dan pesannya karangan bunga tersebut mengapropriasi karangan bunga Desember Hitam. Akan tetapi, tentu saja sudah banyak hal yang bergeser dari konteks seni 1970-an. Ajakan berkabung yang diutarakan oleh pesan dalam karangan bunga di depan hotel di Jalan Kaliurang menyempitkan perhatiannya pada kondisi kesenian yang memprihatinkan di Yogya.
Karangan bunga tersebut agaknya hanyalah simbol yang mengingatkan kita pada momen-momen kematian seni di Yogyakarta yang terjadi secara sporadis. Salah satunya ketika pada 2016 sebuah acara pasar seni terbesar di Indonesia yang diadakan tahunan di kota ini tak malu-malu menerima sponsor dari Freeport. Atau pernyataan publik seorang seniman Yogya yang mendukung pembangunan bandara di Kulon Progo meskipun proyek infrastruktur ini harus mengusir para petani pesisir dari rumah dan lahan hidup mereka. Apropriasi karangan bunga Desember Hitam terlihat sebagai sebuah cara untuk mengenang bahwa dalam proses sejarah seni rupa kita terdapat waktu-waktu di mana seni selalu punya pilihan untuk menjadi sarana kritik sosial dan menyatakan keberpihakannya kepada kelompok yang dimarjinalkan.
Ada baiknya tidak terjebak dalam romantisisme pernyataan Desember Hitam yang selalu dihubungkan dengan lahirnya dinamika Seni Rupa Baru. Persoalan kita hari ini tidak dapat hanya berpusat pada ”kebaruan”, tetapi juga pada ”keberpihakan” dan ”kelestarian” jika praktik seni ingin menjadi gerakan estetis sekaligus politis. Seni Rupa Baru bubar pada 1989, salah satunya karena perselisihan internal di antara para anggotanya yang punya pemikiran berbeda dalam mengorientasikan gerakan estetik mereka. Menanggapi seminar dan pameran retrospektif Seni Rupa Baru pada Desember 2016, Emmanuel Subangun menulis, ”Whena collective movement is privatized, the possibility of progress falls apart”.
Pilihan para pengirim karangan bunga untuk menjadi anonim tampaknya seturut dengan pendapat itu. Kita bisa beranggapan bahwa aksi berduka anonim ini merupakan sebuah keputusan politis alih-alih bentuk kepengecutan. Strategi gerakan kerap bermasalah dengan pengultusan tokoh individu yang ujung- ujungnya mengeksklusi keterlibatan lebih banyak orang. Dengan menjadi anonim, vandalisme kritis dalam aksi pengiriman karangan bunga di Yogyakarta dapat dimiliki dan direplikasi oleh siapa saja yang sepakat dengan pernyataan yang mendasarinya.
Kita hanya dapat berspekulasi mengenai berapa orang yang terlibat langsung mengirim karangan bunga tersebut, tetapi rasanya bukan hanya pengirim karangan bunga itu saja yang berduka. Vulgarnya rekayasa praktik seni yang semata untuk kepentingan komersial ini jelas bikin gerah banyak pihak, dan masih ada banyak pekerja seni yang terus berupaya untuk melestarikan praktik seni yang kritis. Atau paling tidak bertanya-tanya. Di manakah posisi kritis seniman dalam memilih aplikasi praktik artistiknya? Mulai dari apa yang diciptakannya, apa material yang digunakannya, di mana ia mempertemukannya dengan publik, siapa saja yang bekerja dengannya (baik dari sisi produksi maupun distribusi), apa yang sedang ia katakan melalui kerja seninya, dan seterusnya. Cita-cita sosial politis seni ini tidak dapat hanya bertumpu pada heroisme perorangan seniman. Oleh karena itu, sudah selayaknya ini menjadi tanggungan bersama segenap komunitas pekerja seni.
Ketika seni kehilangan daya kritisnya, kita memang patut berkabung. Berkabung adalah sebuah gestur solidaritas yang mengundang perenungan bersama. Ia bisa saja disertai dengan ratapan dan hujatan karena kematian adalah kehilangan yang memilukan. Namun, hendaknya ia selalu diiringi dengan keinginan untuk bangkit dan terus mencari semangat ideal dari cita-cita yang pernah hidup. Berkabung boleh jadi moda estetik yang membuahkan momen puitis sekaligus tindakan politis. Mari kita berharap bahwa karangan-karangan bunga ini akan terus dikirimkan untuk mengusik kala seni menunjukkan gejala-gejala krisisnya!
*) Tulisan ini kami dedikasikan untuk Emmanuel Subangun yang meninggal pada 3 Desember 2017.
Brigitta Isabella dan Grace Samboh adalah pekerja seni yang tinggal dan bekerja
di Yogyakarta.