JAKARTA, KOMPAS — Lembaga pendidikan vokasi di Indonesia harus mengutamakan pendidikan karakter dalam proses belajar-mengajar. Dengan memasukkan pendidikan karakter sebagai salah satu materi utama, lembaga pendidikan vokasi mampu menghasilkan lulusan berkualitas yang terampil sekaligus beretos kerja tinggi.
Demikian terungkap dalam bedah buku Romo Casutt SJ: Dalam Senyap Bangun Pendidikan Vokasi Indonesia karya A Bobby Pr, Senin (29/1) malam, di Jakarta. Pembicara dalam bedah buku terbitan Penerbit Buku Kompasitu adalah pengamat pendidikan Doni Koesoema, Direktur Politeknik Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Surakarta T Agus Sriyono SJ, dan alumnus ATMI Surakarta Tony Sartono. Acara dipandu wartawan harian Kompas, Aloysius Budi Kurniawan.
Buku itu bercerita tentang kiprah Johann Balthasar Casutt SJ (1926-2012), salah satu tokoh perintis pendidikan vokasi di Indonesia. Casutt merupakan pastor Katolik asal Swiss yang menjadi Direktur ATMI Surakarta, Jawa Tengah, pada 1971-2001. Casutt juga merupakan perintis pendirian ATMI Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
T Agus Sriyono menilai Romo Casutt telah meletakkan dasar-dasar pendidikan vokasi yang kemudian menjadi kunci sukses ATMI. Salah satu ciri khasnya adalah mengutamakan pendidikan karakter. Beberapa nilai utama yang selalu ditanamkan Romo Casutt kepada mahasiswa ATMI, seperti disiplin, jujur, bertanggung jawab, kerja keras, dan inovatif.
Utamakan karakter
”Bagi Romo Casutt, seluruh proses pendidikan itu hasil akhirnya adalah peserta didik yang berkarakter,” kata Agus. Dalam melaksanakan pendidikan karakter di ATMI, Romo Casutt mengutamakan praktik ketimbang teori. Itulah kenapa mahasiswa di ATMI diikat oleh aturan yang sangat ketat dan apabila melanggar, mereka akan dikenai sanksi yang berat.
Dalam proses pendidikan di ATMI, Agus mengatakan, Romo Casutt juga menetapkan bahwa waktu untuk praktik harus lebih lama daripada waktu untuk mengajarkan teori. Saat melakukan praktik, mahasiswa di ATMI juga diharuskan menghasilkan produk jadi yang siap dijual ke konsumen. Semua aturan itu bertujuan menghasilkan lulusan yang benar-benar memiliki keterampilan dan siap kerja.
Tony Sartono mengakui, kedisiplinan merupakan salah satu hal sangat ditekankan dalam proses pendidikan di ATMI. Contohnya, bila ada mahasiswa yang terlambat mengikuti perkuliahan, mereka akan dikenai sanksi praktik kerja dengan waktu dua kali lebih lama dibandingkan durasi keterlambatan. ”Jadi, misalkan kita telat 15 menit, sanksinya adalah praktik kerja setengah jam. Waktu itu kita merasa kayak di sekolah tentara,” ujarnya.
Bentuk kedisiplinan lain, katanya, adalah sanksi tegas bagi mahasiswa yang nilainya di bawah standar. ”Kalau ada mahasiswa yang tidak lulus di tingkat satu, mereka langsung dikeluarkan,” ujar Tony yang masuk ke ATMI Surakarta tahun 1978.
Dengan model pendidikan semacam itu, mahasiswa ATMI tidak hanya dididik sebagai teknisi yang memiliki keterampilan tinggi, tetapi juga mempunyai karakter kuat. Hal semacam itulah yang menjadikan lulusan ATMI sangat diminati berbagai perusahaan untuk direkrut sebagai pekerja.
Doni Koesoema menyatakan, Romo Casutt memiliki metode mendidik atau pedagogi yang khas, yaitu mendahulukan proses mengalami atau praktik, baru kemudian berujung pada pemahaman atau pengetahuan. ”Ini berbeda dengan pedagogi yang umum di Indonesia yang mendahulukan pengetahuan, baru kemudian pengalaman,” ujarnya.
Doni menilai, model pendidikan karakter yang dikembangkan Romo Casutt bisa jadi inspirasi bagi lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia. (HRS)