Gimil-Ninurta
Ini kisah terjadi di zaman negara-kota Babilonia, tatkala Hammurabi meraja (1792-1750 SM). Hammurabi adalah raja keenam dari Dinasti Babilonia yang memerintah Mesopotamia tengah pada tahun 1894-1595 SM. Selama berkuasa, Hammurabi memperluas wilayah kekuasaannya hingga seluruh Mesopotamia bagian selatan—sekarang wilayah Irak.
Keluarga Hammurabi adalah keturunan orang Amorite, yakni suku seminomaden di Suriah bagian barat. Namanya, Hammurabi (yang juga dikenal dengan nama Khammurabi dan Ammurapi), mencerminkan perpaduan budaya, yakni budaya Amorite dan Akkadia. Hammu dalam bahasa Amorite berarti ’keluarga’ dan rapi dalam bahasa Akkadia, yakni bahasa yang sehari-hari digunakan di Babilonia, berarti ’besar’.
Hammurabi dikenal dengan Kodeks Hammurabi (Code of Hammurabi), yakni prasasti hukum kuno Babilonia yang disusun oleh Raja Hammurabi. Prasasti ini berukuran 2,25 meter dengan tulisan terukir dalam bahasa Akkadia berisi 282 peraturan mengenai berbagai hal, misalnya undang-undang perdagangan, perbudakan, ganti rugi kerusakan, korupsi, pencurian, dan hubungan keluarga.
Akan tetapi, tulisan ini bukan kisah Hammurabi, melainkan kisah seorang rakyat jelata yang merdeka dari Nippur, Mesopotamia, bernama Gimil-Ninurta. Hartanya yang paling berharga adalah kambing. Suatu hari terpikir olehnya untuk memperbaiki nasibnya. Ia menuntun kambingnya dengan tangan kiri berjalan menuju Kantor Wali Kota Nippur. Tujuannya hanya satu: menyerahkan kambing itu kepada wali kota.
Ketika wali kota mendengar kabar itu, ia keluar kantor dan menemui Gimil-Ninurta. Begitu melihat Gimil-Ninurta dan kambingnya, wali kota bertanya, ”Ada masalah apa kamu, hei Gimil-Ninurta, datang ke sini membawa kambing?”
Gimil-Ninurta menjawab bahwa ia tidak mempunyai masalah sama sekali. Lalu ia mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan wali kota dan memohon berkahnya. Tidak lupa, ia mempersembahkan kambing itu kepada wali kota. Wali kota menerima pemberian kambing itu karena kebetulan saat ini hendak mengadakan pesta. Kambing itu disembelih. Saat pesta, Gimil-Ninurta hanya diberi tulang dan otot kambing. Ia bertanya, mengapa ia hanya diberi makanan seperti itu. Jawaban yang diterima justru pukulan.
Gimil-Ninurta meninggalkan rumah wali kota dengan perasaan dendam. Ia pergi ke kota besar untuk menemui raja. Kepada raja, ia mempersembahkan emas, dan sebagai gantinya, ia meminjam kereta perang raja. Raja mengabulkan. Dengan kereta perang milik raja, Gimil-Ninurta kembali ke Nippur untuk membalas dendam. Sesampai di Nippur bertemu wali kota, Gimil-Ninurta mengatakan bahwa ia kehilangan emas dan menuduh wali kotalah yang mencurinya. Ia lalu memerintahkan agar wali kota dipukuli tiga kali karena melakukan kejahatan. Wali kota juga diperintahkan untuk menyerahkan emas kepadanya.
Kisah itu muncul dalam buku Bribes karya John Thomas Noonan yang kemungkinan ditulis pada tahun 1500. John Thomas Noonan dikenal sebagai penulis yang mengupas masalah-masalah korupsi politik di masa lalu. Cerita ini dikenal dengan judul The Poor Man of Nippur. Kisah Gimil-Ninurta ini menceritakan bahwa di zaman Mesopotamia, hukum timbal balik sangat dihormati. Wali kota menanggung pukulan karena sebelumnya telah memukul Gimil-Ninurta. Siapa menanam akan menuai. Siapa menebar angin akan menuai badai. Demikianlah yang terjadi. Hukum timbal balik inilah salah satu yang ada dalam Kodeks Hammurabi.
Menerima sogokan, apa pun bentuknya, adalah tindakan koruptif. James Bryce, awal tahun 1891, berpendapat, elemen utama dari korupsi adalah penyuapan. Hal ini juga dibeberkan oleh Kautilya, seorang brahmana yang juga dikenal dengan nama Chanakya. Ia menjadi perdana menteri seorang raja di India, Chandragupta Maurya, 2.000 tahun silam. Lewat bukunya berjudul Arthashastra yang lebih kurang berarti ’instruksi-instruksi mengenai kekayaan materi’, yang oleh Amartya Sen diterjemahkan sebagai Ekonomis, Kautilya bicara soal fenomena korupsi (Seppo Tiihonen, 2003).
Kautilya menulis, ”Adalah tidak mungkin tidak merasakan madu (atau racun) yang ada di ujung lidah. Seperti ikan yang berenang di dalam air, adalah tidak mungkin memastikan apakah ikan itu meminum air atau tidak”. Tidak mudah menolak suap atau berlaku tidak korup, kalau semua ada di depan mata, bagi orang yang memang tidak berintegritas.
Karena itu, korupsi yang merupakan fenomena sosiologis, kultural, dan politik terjadi karena hancurnya integritas. Dante atau nama lengkapnya Dante Alighieri (1265-1321), seorang penyair, penulis prosa, filsuf moral, dan pemikir politik, tujuh abad silam pun menempatkan para penyuap dan penerima—orang-orang yang tidak berintegritas itu—di dasar neraka.
Dalam karya monumentalnya, yakni puisi epik ”La commedia” yang kemudian diganti menjadi ”La divina commedia”,Dantemengemukakan hal itu. Dalam epik ini, Dante menulis, firdaus adalah masyarakat ideal di mana semua elemen esensial bekerja secara harmonis; api pencucian adalah sebuah masyarakat transisi, dari hanya mementingkan diri sendiri menjadi peduli pada orang lain, tetapi belum terorganisasi dalam struktur yang efektif. Neraka menggambarkan masyarakat yang semua anggotanya bertindak untuk kepentingan diri sendiri dan melanggar tindakan serta perilaku baik, perilaku yang lazim sebagaimana umumnya, melanggar kepantasan karena hancurnya integritas.
Kisah Gimil-Ninurta dan Kautilya menegaskan bahwa korupsi memiliki sejarah panjang. Memang cerita Gimil-Ninurta dan Kautilya adalah cerita lama. Akan tetapi, korupsi yang sudah seusia cerita itu—atau bahkan lebih lama—tetaplah hidup menembus zaman dan waktu. Ia bahkan makin lama makin menjadi, bagaikan jamur di musim hujan. Korupsi tidak pernah mati karena hujan, karena kepanasan. Ibarat kata, ia binatang segala cuaca dan segala zaman.
Di negeri ini, korupsi sudah menjadi kejahatan struktural: suatu bentuk kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola, yang menghambat banyak orang untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar. Bahkan, karena sistematis, korupsi sudah seperti mafia (Haryatmoko, 2015); menjadi profesi baru. Namun, inilah profesi yang membusukkan masyarakat.