Gadis Jawa itu Kartini yang melankolis mengenang kunjungan Tuan dan Nyonya Abendanon ke Jepara 1900. Di stasiun, Kartini merasa kalah oleh gemertak kereta nan sangar. Kereta api adalah rentetan ambisi memodernkan negeri jajahan, motor perdagangan, pemukul laju industri. Sejak pertengahan abad ke-19, perusahaan swasta dan perusahaan negara Staats Spoorwegen (SS) telah berebut peran di lintasan kemajuan.
Kita memang nyaris tidak sempat merasakan imajinasi melankolia, pukau-kegemparan orang-orang Jawa, atau luka diskriminatif negeri jajahan menghadapi sang ”benda buas” saat membuka halaman-halaman mewah Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe (2017). Waskito Widi Wardojo dalam Spoor Masa Kolonial: Dinamika Sosial Ekonomi. Masyarakat Vorstenlanden 1864-1930 (2013) menyinggung diskriminasi dan kriminalisasi terhadap kaum pribumi sebagai penumpang mayoritas. Ketimpangan tampak di pembagian gerbong berdasar status sosial. Pribumi digambarkan sebagai pihak kalah, ”masyarakat yang pasif, yang ahistoris.” Buku keempat garapan Olivier Johannes Raap, setelah Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe (2013), Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe (2013), dan Kota di Djawa Tempo Doeloe (2015), tentu masih berunjuk kebolehan diri sebagai pemburu kartu pos lawas dan usaha-usaha membuka cerita di setiap halaman.
Di halaman pengantar, Olivier membahas kesalahkaprahan arti yang selama ini disepakati banyak orang. Ia mengatakan, ”Kata sepur biasanya diartikan sebagai kereta api, tetapi arti sejatinya berbeda. Kata ini berasal dari kosakata Belanda spoor yang berarti jalur dengan dua rel yang harus dilintasi kendaraan rel. Kata tersebut sebenarnya lebih mengacu pada infrastruktur rel daripada lokomotif dan gerbong.” Di kartu pos, bukan hanya lokomotif atau gerbong yang menjadi obyek bidik pemotret.
Ada beberapa kartu pos yang sengaja mengabadikan jalur atau rel, seperti kartu pos ”Cikudapateuh” yang dibuat sebelum tahun 1906 berlatar Jalan Kembang Sepatu, Bandung oleh penerbit JC Becker, Bandoeng. Tampak jalur rel tanpa fasilitas apa pun, bahkan halte Cikudapateuh tak tampak. Gunung Manglayang tampil di kejauhan sebagai latar foto. Pemotret menganggap bahwa sekadar rel saja tanpa kereta sudah menjadi suatu yang menarik. Selain rel dan gerbong serta lokomotif, stasiun, terowongan, kreteg (jembatan), palang pintu besi, simpang pelintasan, dan kantor perkeretaapian menjadi hal terabadikan dari masa silam.
Bunyi dan nama
Bunyi menjadi suara penting mencipta cerita dan kebahasaan. Suara mendahului penampakan kereta nan sangar. Olivier merekam beberapa suara yang menentukan keberterimaan kereta api. Bahkan, nama-nama itu terasa amat ”pribumis” menampik sebutan asli yang resmi. Seperti kartu pos berjudul ”Spoorbrug te Malang (Jembatan Kereta Api Malang)” oleh JM Chs Nijland, Soerabaia. Salah satu jembatan pelintasan kereta di kawasan Jalan Sudirman, Malang, ini dinamai Buk Gluduk yang diambil dari suara menggeluduk saat kereta api lewat.
Ada pula julukan lain bagi lokomotif uap, ”Si Kuik” dan ”Si Kuong” merujuk pada suara peluit yang ”menguik” nyaring dan peluit berjenis bariton yang dimiliki setiap lokomotif. Sebuah lokomotif juga mendapat nama ”Bang Tedi”. Ini semacam pelesetan dari nama lokomotif berkode TD1002 buatan Werkspoor Belanda yang dibeli SS pada 1926. Kita bisa melihat kartu pos Bang Tedi di halaman 125. Kini, Bang Tedi menjadi pajangan di depan kantor pusat PT KAI di Bandung. ”Bang” melokalkan keasingan ”Tedi” dan nama sepenuhnya menjadi milik orang-orang Hindia pada masa itu.
Cukup bisa menjadi nostalgia, kartu pos yang masih menyisakan pesan-pesan tulisan tangan beraksara Latin dan Jawa nan indah, entah terbaca atau pun tidak terbaca. Kita cerap kartu pos Stasiun Semarang NIS lama, tahun pengiriman 1901. Ada keterangan ”Station N.I.S. Mij. Semarang” dan diterbitkan A Bisschop Semarang Cheribon. Olivier menerjemahkan pesan yang tertera, ”Ayah yang baik! Foto Hendrik telah tiba, terima kasih. Terimalah ucapan selamat ulang tahun dari saya. Semoga Ayah panjang umur dalam kesehatan yang baik. Hendrik mau membeli sebuah hadiah dan Lau serta Dien juga. Saya senang di Hindia dan tidak ingin pulang sebelum waktu saya habis. Ibu indekos sangat baik kepada saya. Terimalah jabat tangan dari anakmu dengan penuh rasa sayang. Guus.” Kartu pos menjalin rindu yang dipisahkan oleh samudra. Romantisisme bernuansa kesedihan atau keriangan masih diwakili oleh stasiun meski hanya dalam gambar.
Koleksi kartu pos melimpah yang didapat dengan kebetulan atau kesengajaan memang cenderung menderetkan banyak informasi teknis, entah soal jarak, jenis kereta, jaringan perusahaan, konstruksi, atau asal mula. Namun, Sepoer Oeap di Djawa Tempo Doeloe berusaha keras mengajak pembaca pelesiran ke masa lalu. Secara ragawi, kita masih mungkin merasakan perpindahan itu, tentu bukan sebagai pribumi di masa kolonial yang dalam kartu pos ini nyaris selalu ditampakkan sebagai pembantu atau pekerja kasar. Olivier sudah mengakui, ”Pada zaman itu orang yang memproduksi, yang membeli, dan mengirim kartu pos di Hindia Belanda sebagian besar merupakan masyarakat nonpribumi dan medium itu dikemas dengan cara pandang pengamat asing. Hal ini menyebabkan medium kartu pos menjadi kurang representatif dan obyektif memperlihatkan sudut pandang pribumi.” Kereta api, bahkan yang terekam di kartu pos, memang bukan milik pribumi di negeri yang dijajah.