Pada kesempatan berikutnya, cahaya yang awalnya berwarna putih itu tiba-tiba berubah menjadi merah. Suasana di balik tirai juga menjadi lebih gelap sehingga sosok Mila hanya terlihat samar-samar. Dari bangku penonton, kita seperti melihat cahaya merah itu menari sendirian, seolah-olah ia bukan hanya cahaya, tetapi juga seorang penari yang hidup dan punya gerak yang mandiri.
Tarian bersama cahaya itu merupakan salah satu bagian paling mengesankan dari pertunjukan tari ”Mother Earth” karya Mila Rosinta yang dipentaskan Selasa (13/3) malam di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Dilabeli sebagai pertunjukan kolaborasi tari, musik, dan visual, ”Mother Earth” memang menampilkan paduan berbagai unsur seni.
Oleh karena itu, dalam pertunjukan tersebut, Mila tak hanya memboyong para penari dari komunitas tari Mila Art Dance yang didirikannya di Yogyakarta tahun 2012, tetapi juga mengajak serta sejumlah seniman muda dari disiplin lain. Dari bidang musik, ada penyanyi perempuan jebolan ajang pencarian bakat The Voice Indonesia, Luise Najib, serta komposer dan pianis Gardika Gigih.
Dari bidang visual, ada seniman Kokoksaja yang banyak berkarya dengan teknologi visual dan animasi, fotografer Rio Pharaoh, serta videografer Yugo Risfriwan. Selain itu, Mila juga mengajak sederet seniman lain, seperti desainer mode Manda Baskoro, perias wajah Lia Pharaoh, dan penata rambut Jenny Subagyo.
Meski menampilkan kolaborasi lintas disiplin seni, pertunjukan ”Mother Earth” tetap mengutamakan tari sebagai unsur utama. Koreografi yang dibuat Mila Rosinta tetap merupakan penggerak utama pertunjukan, sementara unsur-unsur lain berfungsi untuk melengkapi dan memperkaya gerak para penari.
Ibu-anak
Pentas tari ”Mother Earth” berupaya mengeksplorasi hubungan ibu dan anak yang tak selalu berjalan mulus. Melalui koreografi ciptaannya, Mila berupaya menggambarkan pengalaman perempuan muda yang mengalami guncangan karena kehidupannya mesti berubah drastis setelah memiliki anak.
Menurut Mila, karya itu bermula dari pengalaman personalnya setelah melahirkan anak pertama. Sebelum melahirkan, Mila adalah perempuan yang punya seabrek kegiatan karena ia tak hanya aktif berkarya, tetapi juga mengajar tari di Mila Art Dance School yang dibentuknya.
”Setelah melahirkan, kegiatan saya berubah 180 derajat karena harus menyesuaikan dengan anak saya. Saat itu saya sampai mempertanyakan, emang kalau punya anak itu kita enggak bisa lagi berkarya?” kata Mila saat ditemui seusai pentas.
Kegalauan itulah yang mendorong Mila berupaya mengeksplorasi hubungan ibu dan anak melalui karya. Selama berproses untuk karya itu, ia juga memilih untuk selalu mengajak sang anak. ”Ke mana-mana anak saya selalu saya bawa. Sampai jam dua pagi pun dia saya bawa. Akhirnya saya memutuskan untuk berkarya bersama anak agar saya bisa terus berkarya,” ujar perempuan berusia 28 tahun itu.
Dalam pentas ”Mother Earth”, Mila memang sungguh-sungguh berkarya bersama sang anak. Pada pertunjukan tersebut, seniman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu mengajak anak perempuannya yang baru berusia 16 bulan untuk ikut tampil di atas panggung. Meski porsi penampilan sang anak dalam pentas tersebut tidak dominan, kemunculannya tetap membawa kesegaran dan pembeda.
Tata cahaya
Secara keseluruhan, pentas ”Mother Earth” menampilkan koreografi sederhana dan mudah dicerna. Pentas ini dimulai dengan rangkaian video berbagai fenomena alam, disusul sejumlah cuplikan video yang menggambarkan gerak-gerak tari di alam bebas.
Sesudah itu, sejumlah penari perempuan dengan perut buncit muncul ke panggung. Mereka menghadirkan gerak-gerak yang merepresentasikan rasa syukur sekaligus kesakitan yang dialami perempuan saat mengandung. Di bagian inilah Mila menghadirkan tarian bersama cahaya yang terus bergerak mengiringinya.
”Duet” tari antara Mila dan cahaya yang mengiringinya itu tampil secara mengesankan berkat teknologi kinect yang dibawa oleh seniman Kokoksaja. Teknologi yang diadaptasi dari permainan video Xbox itu menghadirkan cahaya yang bisa mengikuti gerakan seorang penari. Di panggung, Kokoksaja memasang dua sensor yang mendeteksi aneka gerakan Mila, lalu meresponsnya dengan sorotan cahaya yang begitu lentur. Selain terus bergerak mengiringi sang penari, warna dan bentuk cahaya itu bisa dimodifikasi sesuai dengan efek yang hendak ditampilkan.
Sepanjang pertunjukan ”Mother Earth”, beragam efek cahaya memang berkali-kali hadir di sejumlah layar yang dipasang di panggung. Namun, dari beragam efek cahaya itu, sorotan dan gerak cahaya yang dihasilkan oleh teknologi kinect tetap menjadi yang paling mengesankan. Bahkan, dari sisi pertunjukan, cahaya yang dihasilkan oleh teknologi kinect itu tidak hanya bisa dipandang sebagai efek untuk memperindah penampilan para penari, tetapi juga bisa dianggap sebagai sebuah ”koreografi” yang mandiri.
Namun, tentu saja, koreografi sungguhan yang dibangun oleh para penari tetap berkontribusi penting terhadap jalannya pertunjukan ”Mother Earth”. Sejumlah tata gerak, terutama saat para penari ”bermain-main” dengan kendi berbahan tanah liat, cukup meninggalkan kesan.
Sayangnya, pertunjukan ini tidak didukung oleh tata cahaya yang memanjakan penonton. Hampir pada keseluruhan pentas, entah disengaja atau tidak, cahaya yang disorotkan ke panggung sangat tipis sehingga tidak mampu menampilkan gerak dan mimik para penari secara utuh dan detail.
Akibatnya, kebanyakan koreografi dalam ”Mother Earth” hanya bisa ditangkap melalui gerak tubuh, sementara detail mimik para penari (yang sebenarnya sangat penting untuk menyampaikan pesan dalam koreografi ini)—juga keindahan kostum yang dipakai Mila dan kawan-kawan—nyaris tak bisa dinikmati dengan baik.