Si Burung Enggang
Sebaran populasi enggang banyak di Kalimantan. Akan tetapi, mereka kini terancam punah karena habitat hutannya hancur beralih menjadi kebun sawit atau pertambangan batubara.
Suku Dayak memuliakan burung enggang sebagai bagian konsep ”dunia atas”. Burung enggang pun menawarkan banyak pengetahuan.
Salah satunya, tentang seekor enggang jantan yang sepenuhnya setia dan bertanggung jawab terhadap pasangan dan anak-anaknya.
Ketika pasangannya hendak bertelur kemudian mengeraminya, mereka membuat sarang di ketinggian pohon yang cukup rapat. Sarang itu tertutup, tetapi selalu ada sebuah lubang.
Dari lubang itu, burung enggang jantan memberikan makanan kepada pasangannya yang hendak bertelur hingga mengeraminya nanti. Bahkan, ketika telur-telur itu menetas. Enggang jantan memberikan makanan biji-bijian atau serangga untuk anak-anak dan induknya lewat lubang sarang. Enggang jantan menawarkan nilai kehidupan. Mereka memegang teguh kesetiaan dan tanggung jawab demi kelangsungan hidup.
Sebuah ironi berlangsung dan terus berlangsung. Selain habitatnya makin hancur, perburuan enggang pun masih marak. Manakala enggang jantan yang sedang menjalankan tanggung jawab kesetiaannya itu tertangkap manusia atau mati diburu, itu sekaligus membunuh pasangan dan anak-anaknya. Ini tragis.
”Saya menari untuk mengekspresikan diri. Saya menari bukan untuk sekadar menghibur,” ujar Galuh, perempuan kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, yang kini menetap di Bandung, Jawa Barat, Kamis (15/3/2018).
Perjalanan
Di Pontianak, pada usia 9 tahun Galuh memiliki tarikan hati yang kuat untuk menapaki perjalanan hidupnya dengan menari. Ibunya pun mengajak Galuh masuk sebuah sanggar tari, Sanggar Bougenville, yang mengajarkan seni tari Melayu dan Dayak.
”Sejak kecil itu pula saya sering pentas tari Melayu dan tari Dayak. Misalnya, pentas di acara Gubernur Kalimantan Barat dan sebagainya,” kata Galuh.
Kesukaan Galuh selain menari, membaca komik. Komik yang sangat ia ingat, komik Jepang tentang topeng kaca dan komik Swan tentang penari balet.
Komik tentang balet memberi pengalaman tersendiri. Ia membayangkan, seandainya Pontianak memiliki sanggar balet, Galuh ingin sekali belajar balet.
”Saya berimajinasi tentang balet hanya ada di kota-kota besar. Pontianak menurutku waktu itu, hanyalah kota kecil. Mana mungkin Pontianak punya sanggar balet?” ujar Galuh.
Setelah lulus SD Muhammadiyah II Pontianak, Galuh melanjutkan SMP Negeri 10 Pontianak. Tanpa sepengetahuan dirinya, di dekat sekolahnya itu ada sebuah sanggar balet.
“Adik saya, Mayang Arum, masuk sanggar balet itu. Saya ingin sekali, tetapi tidak diterima karena sudah bukan lagi anak- anak,” kata Galuh.
Selisih usia dengan adiknya, lima tahun. Galuh tetap ingin sekali belajar balet. Kepada pengelola sanggar itu, Galuh menyatakan bersedia belajar dari belakang para peserta. Tetap saja, Galuh ditolak.
Akhirnya, setiap kali adiknya usai belajar balet, Galuh memintanya untuk mengajari. Galuh pun giat belajar secara otodidak. Setidaknya, ia menyerap pengetahuan balet dari adiknya. Galuh berkeras belajar balet.
Hingga tamat SMP, Galuh pindah ke Jakarta. Ia melanjutkan SMA Negeri 60 Jakarta dan terpenuhi sudah keinginannya untuk belajar balet di sebuah sanggar.
Selain itu, Galuh bergabung dengan sebuah sanggar tari tradisi Minang di Jakarta. Gerak tari tradisi Minang atau Padang menurut Galuh, tidak jauh dari tari Melayu yang ia pelajari selama tinggal di Pontianak.
”Ternyata balet tidak hanya khusus untuk anak-anak. Di Jakarta saya bisa belajar balet hingga masa kuliah,” kata Galuh.
Galuh lalu diterima di Program Studi China, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (UI) 2004-2010. Ia bergabung dengan unit kemahasiswaan Liga Tari Krida Budaya UI. Pada era 2005-2008 Galuh mendalami manajemen seni pertunjukan.
Selain balet, selama masa kuliah itu Galuh melengkapi diri dengan kemampuan menari dengan tarian tradisional Nusantara lainnya.
”Saya belajar tarian tradisi Betawi, Padang, Aceh, Palembang, tarian Jaipong dari Jawa Barat. Termasuk tarian Jawa dari Yogyakarta atau Jawa Tengah, dan tari Bali,” kata Galuh.
Tari Jawa dan tari Bali menjadi tarian yang dianggap paling susah oleh Galuh. Tari Jawa yang lambat, menurut dia, justru menguras energi besar.
Tari Bali dengan ragam gerak mimik dan mata memberi kesulitan tersendiri baginya. Tetapi, Galuh tetap menyukai berbagai ragam tari tradisi Nusantara tersebut.
Semasa kuliah, Galuh mengikuti beberapa festival musik dan tari di luar negeri. Misalnya di Zhoushen, China, ketika digelar festival musik nelayan. Di sana ia menarikan tarian tradisi Melayu. Berikutnya ke beberapa kota di Rusia. Galuh pun mementaskan ragam tari tradisi mulai tari Melayu, Betawi, Minang, sampai tari tradisi Aceh.
Masa-masa sekolah hingga kuliah, Galuh membekali diri dengan berbagai pengalaman mementaskan tari-tarian tradisi Nusantara. Tari-tarian tradisi itu ia yakini kini bukan sekadar hiburan. Di situ ada keyakinan. Di situ ada pesan. Di situ ada manfaat yang tak lekang oleh waktu.
Toulon
Suatu ketika, pada 2014, Galuh memiliki pengalaman makin mematangkan penghayatan diri terhadap gerak tari. Saat itu ia mendapat kesempatan berkolaborasi tari dalam Festival Constellation # 4 diTpulon, Perancis, atas prakarsa Institut Francaise Indonesia.
”Saya melihat di festival itu banyak acara yang digelar di berbagai tempat. Ragam keseniannya dikemas untuk menjembatani budaya Timur dan Barat,” kata Galuh.
Galuh mendapati pelajaran berharga dari sebuah sesi kolaborasi tari, misalnya atas perjumpaan dirinya dengan Sara Tan, penari dari Singapura yang menetap di Belgia.
”Sara Tan selalu mengajarkan di dalam gerak tari itu harus lugas dan jelas untuk menyampaikan sesuatu,” kata Galuh.
Gerak tari bukanlah sekadar indah dipandang. Gerak tari bukanlah sekadar menghibur mata bagi penontonnya.
Gerak tari semestinya menaburkan keindahan dan kesadaran. Kesadaran akan visi kehidupan. Kesadaran akan tujuan yang jelas yang ini direngkuhnya. Kesadaran yang membawa hidup menjadi makin lebih baik.
Di Toulon, Galuh lalu mencipta sebuah tari. Tari yang berbekal pencerahan baru. Tari yang berbekal gerak itu harus lugas dan jelas.
Di sinilah titik balik Galuh untuk menghadirkan setiap gerak tari itu sebuah ekspresi diri berupa gagasan atau visi tentang kehidupan.
”Saya tidak lagi menari untuk memberikan hiburan,” ujar Galuh.
Pada Desember 2018, pada Hari Disabilitas Internasional, Galuh ingin menampilkan gerak tari hasil koreografinya untuk anak penyandang kebutuhan khusus. Saat ini masih dalam proses penggarapannya. Galuh tidak ingin menyampaikannya rinci.
Itu tidak lain adalah bagian dari perjalanan yang sedang direngkuhnya. Galuh tidak hanya menari, tetapi ia ingin membuat banyak orang lainnya untuk menari. Sekalipun mereka dibatasi dengan keterbatasan gerak dan tubuh.
Galuh, si burung enggang. Ia memiliki pesona kesetiaan dan tanggung jawab layaknya enggang.