Hidup dalam keberagaman acap kali masih menjadi persoalan di negeri ini. Perbedaan yang seharusnya jadi anugerah malah sering menjadi pemicu gesekan. Komunitas Kebaya, Kopi, dan Buku yang berdiri sejak 2014 terpanggil untuk sedikit memberikan pencerahan. Mereka berupaya merayakan keberagaman dengan kebaya.
”Kami hanya berupaya memberikan setetes embun dari apa yang bisa kami berikan, dari apa yang kami miliki. Nama komunitas kami ini memang begitu sederhana, akrab di telinga pendengar, tetapi kekayaan makna di balik nama komunitas kami ini begitu mendalam,” kata Koordinator Komunitas Kebaya, Kopi, dan Buku (KKB) Liza Surya di Jakarta, Kamis (8/3/2018).
Komunitas ini terlibat dalam workshop Tutorial Pakaian Nasional dan Hijab kepada para penyandang disabilitas. Kebetulan, momentumnya bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret. Penggunaan kebaya dan hijab menjadi daya tarik tersendiri, terutama dalam memberikan pengarahannya. Sebab, saat itu komunitas ini harus mengomunikasikannya kepada peserta yang sebagian besar tunawicara.
Arum, salah satu anggota Komunitas KKB, terlihat perlu sedikit bersabar dalam memperkenalkan aneka kain tradisional yang memadukan kebaya kepada penyandang disabilitas. Satu per satu ia perkenalkan jenis kain dan motifnya. Karena tak memiliki kemahiran dalam berkomunikasi dengan peserta, relawan Sri Lestari ikut turun tangan membantunya.
Dengan kesabaran pula, Arum memperlihatkan cara mengenakan kain dengan bantuan model anggota KKB lainnya, Erni dan Titis. Bagi komunitas ini, kebaya menjadi salah satu sarana mengenalkan keberagaman Indonesia.
Terlebih lagi, ada kain yang bisa dijadikan untuk penutup rambut khas Jambi yang dinamakan tengkuluk. Tanpa mengenakan pengait, seperti peniti atau jepitan, kain ini bisa menghiasi kepala seorang wanita dengan begitu anggun. Rupanya, ada pula kain yang ditata dengan sebagian ujung kain yang dibiarkan menjuntai ke kanan, yang melambangkan wanita itu sudah menikah atau menjuntai ke kiri sebagai simbol pemakainya masih lajang. Penataan kain khas Jambi ini memiliki 98 model, antara lain kembang duren, kuncup melati, berzikir, dan lilit tungkai.
Kondisi keterbatasan fisik yang dialami penyandang disabilitas menjadi tantangan tersendiri bagi Komunitas KKB. Selama workshop penjelasan diberikan melalui bahasa simbol gerakan tangan dan ekspresi wajah atau mulut. Suara alunan musik yang cukup keras untuk menyemarakkan berbagai kegiatan di area Taman Ismail Marzuki, Jakarta, itu tak memengaruhi semangat para peserta untuk menyimak pelatihan.
Lia Nathalia, salah seorang perintis Komunitas KKB, menuturkan, kehadiran komunitas ini sesungguhnya diawali dengan keinginan membangkitkan kembali kekayaan kain tradisional bangsa Indonesia. Kebaya, misalnya. Banyak orang berpandangan, pemakaian kebaya untuk penampilan sehari-hari, terutama di lingkungan perkantoran, sangat ribet. ”Bahkan, masih dianggap aneh,” ujar Lia yang juga bergabung dalam Paguyuban Chattra Kebaya.
Lebih bermakna
Liza dan Lia pun dengan lugas menceritakan makna penamaan komunitas ini. Hingga kini, komunitas ini memang tidak secara kaku dalam menata keanggotaannya. Namun, keakraban yang dibangun dalam mengikuti berbagai kegiatan bersama, terutama dalam menyikapi persoalan keberagaman di Tanah Air, selalu saja ada puluhan anggota yang terlibat. Seperti momentum Hari Perempuan Internasional 2018, sejumlah anggota Komunitas KKB datang dengan berpenampilan busana tradisional.
Liza menjelaskan, kebaya dimaknai sebagai keberagaman yang menjadi kekayaan bangsa ini. Hampir di setiap daerah, dengan berbagai modelnya, kebaya dijadikan busana sehari-hari yang sedap dipandang. Keberagaman itu ditunjukkan dengan motif ataupun teknik pewarnaannya sebagai kekhasan setiap daerah.
Sementara kopi tak sekadar menjadi secangkir minuman yang semakin tren di berbagai belahan dunia. Kopi menjadi simbol keakraban. Duduk sambil menyeruput secangkir kopi biasanya ditemani dengan aneka camilan tradisional. Makna keakraban yang dibangun ditunjukkan dengan obrolan santai bersama orang lain.
”Kami memandang kopi sebagai simbol keakraban yang harus terus dibangun bangsa ini agar sama-sama menciptakan persaudaraan sejati. Tidak ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan, apalagi jika sama-sama bisa duduk bersama menikmati secangkir kopi,” tutur Liza.
Yang tak kalah kuatnya adalah makna buku pada nama komunitas ini. Sebab, Liza memandang, dari bukulah anak bangsa ini tercerahkan. Karena itu, berbagai diskusi buku menjadi salah satu kegiatan Komunitas KKB yang terus dilakukan.
”Beberapa waktu lalu, misalnya, kami melihat tren ke depan adalah penggunaan teknologi digital. Diskusi literasi ini pun dicoba untuk menyesuaikan perkembangan zamannya sehingga kami menggarap obrolan yang agak serius dalam bentuk diskusi tentang ’Perempuan di Era Digital’,” ujar Liza.
Komunitas KKB tetap ingin memberikan sedikit warna. Tentu, anggota komunitas yang sebagian juga pekerja kantoran perlu berupaya menyisihkan waktunya. Dari perempuan untuk Indonesia. (STEFANUS OSA)