Mempromosikan Sains
Syailendra terjun ke dunia sains secara tidak sengaja. Ketika baru mulai kuliah pada 2001, Syailendra ditawari dosennya terlibat dalam program kuis televisi Indosat Galileo. Di program ini, tim yang dibentuk Janto V Sulungbudi, sang dosen, berperan merancang semenarik mungkin peragaan sains. Tanpa pikir panjang, tawaran ini diterima Syailendra. Kebetulan, sejak awal ia bertekad memanfaatkan jatah waktu kuliah tujuh tahun semaksimal mungkin.
”Saya selalu bilang ke teman- teman, saya mau lulus tujuh tahun, tidak kurang. Jadi, meski teori sudah selesai tiga tahun, skripsinya butuh empat tahun,” katanya sambil tertawa.
Di tim ini, Syailendra dan seorang temannya sesama mahasiswa bertugas merakit alat peraga dan membantu saat hari-H shooting kuis yang menguji wawasan sains itu. Anggota tim lainnya adalah dua guru, selain Janto sendiri.
Jika semula hanya bantu-bantu, Syailendra kemudian menjadi anggota inti tim yang memikirkan ide-ide sains populer apa yang bisa diangkat, termasuk memikirkan bahan-bahan dan peralatan yang harus disiapkan untuk kepentingan shooting. Ia
sempat dua tahun terlibat sebelum akhirnya acara ini ”turun panggung” digantikan tayangan reality show.
”Jadi, pagi sampai sore saya kuliah, malam ke rumah dosen merancang ide baru di garasi yang dijadikan workshop,” kata Syailendra yang kuliah S-1 di Jurusan Fisika Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Di luar itu, ia juga menjadi asisten dosen yang diberi kelas sendiri untuk mengajar. Suatu kali, ketika tengah mengajar kelas yang bisa diikuti warga umum, karena bertepatan dengan open house kampus, seseorang mengajukan banyak pertanyaan kepada Syailendra. Rupanya, ia adalah Evi Trisna, Direktur Yayasan Surya Institut (SI) yang tengah mencari staf baru.
”Selesai mengajar, saya dipanggil dosen wali yang mengatakan saya ditawari bekerja di Surya Institute. Saya disarankan dosen menyelesaikan kuliah dulu dan saya turuti. Saya baru bergabung secara tetap dua tahun kemudian. Pas tujuh tahun saya kuliah,” kata Syailendra.
Sambil menunggu lulus, Syailendra ditawari lembaga yang sama untuk mengajar guru-guru di daerah. Saat itu, Surya Institute menggelar pelatihan guru yang banyak digemari karena tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga praktik sederhana untuk menjelaskan suatu teori.
Pengalaman mengajar serta merancang eksperimen dan alat peraga menjadi kombinasi penting bagi kemampuan Syailendra. Ia bisa pergi dua kali dalam sebulan, masing-masing selama seminggu, untuk mengajar para guru. Sisanya ia gunakan untuk kuliah. Mengajar ke daerah sesekali masih ia lakukan hingga sekarang.
”Seru. Saya pergi ke banyak daerah dari Aceh, Kalimantan, sampai Papua. Pernah untuk perjalanannya saja dua hari. Dari pesawat besar pindah ke pesawat kecil. Pindah ke pesawat lebih kecil lagi. Masih disambung jalan darat delapan jam. Capek, tetapi saya seperti dapat energi baru terus karena ketemu muka baru dan masalah baru yang menarik,” ungkap ayah dua anak ini.
Pelatihan guru ini, menurut Syailendra, seperti anak tangga yang menyambungkan. Saat itu banyak anak-anak pintar hasil didikan Profesor Yohanes Surya, pendiri Surya Institute (SI), yang berlaga di Olimpiade Fisika dan kerap memenangi medali emas di tingkat internasional. Apakah itu lantas mencerminkan kualitas rata-rata pendidikan, termasuk kualitas guru di negeri ini? ”Ternyata kalau kita ke daerah gap-nya jauh banget. Jadi, pelatihan ke guru-guru ini seperti anak tangga,” kata Syailendra.
Salah satu masalah yang ia saksikan ketika berkunjung ke daerah adalah banyak guru mengajar suatu mata pelajaran, tetapi tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Mereka ingin belajar bidang baru yang diajarnya, tetapi tidak tahu harus ke mana sementara akses informasi terbatas.
Masalah lain terjadi setelah para guru pulang dari pelatihan dan telah terpompa semangatnya karena mengetahui pendekatan baru untuk mengajar sains. Ternyata, kemudian mereka memasuki masa pensiun atau mendapat promosi jabatan sehingga malah tidak lagi mengajar. ”Akhirnya program pelatihan guru ini jadi tidak efektif,” kata pria bernama lengkap Syailendra Agung Satria Parulian Harahap ini.
Guru yang mencoba menerapkan hasil lokakarya juga mengalami tantangan karena harus mengejar target kelulusan siswa dalam ujian nasional. Hal ini membuat guru bertahan dengan cara mengajar yang lama atau sudah mempraktikkan cara baru, tetapi kembali ke metode lama. ”Begini saja anak-anak sudah lulus UN, kenapa harus susah-susah mengubah cara mengajar. Begitu pikiran sebagian mereka,” kata Syailendra.
Sejak 2011, lembaganya membentuk Center for Young Scientist (CYS) Indonesia dan Syailendra diminta mengurus divisi baru itu. Belakangan, CYS berdiri terpisah dengan institut. Program ini lebih berfokus pada murid-murid yang telah siap dengan penelitian. ”Kami memberi masukan dan mempertajam penelitiannya lewat murid. Dengan cara begitu akan mendorong guru dampingannya lebih giat belajar agar bisa mengikuti perkembangan si murid,” katanya.
Program antariksa
Syailendra bersama Janto Sulungbudi yang juga terlibat di SI kemudian merintis Center for Innovative Learning (CIL) yang belakangan juga memisahkan diri dari SI. Masih banyak lagi proyek dan lembaga yang disusun Syailendra bersama rekan- rekannya. Ia juga pernah menjadi konsultan sains untuk acara televisi Science is Fun serta film Naura dan Genk Juara.
Terakhir, Syailendra bersama JW Saputro membentuk Institut 1945 yang ingin mendorong pengembangan program antariksa. Awalnya, Yohanes Surya menugasinya mengurusi tawaran program antariksa yang diperoleh JW Saputro, ahli sains komputer yang juga mengajar di Amerika Serikat. Jaringan JW Saputro di Amerika Serikat membuka kesempatan jika Indonesia ingin mengikuti program antariksa terkait rencana memberangkatkan manusia ke Mars pada 2030.
”Salah satu isu penting adalah makanan karena mereka tidak mungkin re-supply makanan mengingat perjalanan menuju Mars butuh waktu delapan bulan. Jadi, bagaimana caranya bisa menghasilkan makanan sendiri. Waktu itu, Amerika Serikat sudah panen selada. Mereka sedang coba menanam tomat dan kentang,” kata Syailendra.
Pihaknya kemudian memilih tanam padi dan peragian kedelai menjadi tempe. Percobaan terhadap padi sudah berhasil, sedangkan percobaan terhadap peragian kedelai masih harus terus dicoba pada tahun-tahun mendatang. Penelitian dilakukan oleh anak-anak dari SMA yang pernah menjalin kerja sama penelitian dengan pihaknya.
Menurut dia, yang paling penting dari sains antariksa adalah belajar disiplin karena standar keamanan yang tinggi tidak memberikan peluang terhadap kesalahan sedikit pun. Ilmu ini perkembangannya juga sangat cepat sehingga Indonesia justru akan mudah mengikuti. ”Saya dan Pak Sap (JW Saputro) ingin memengaruhi generasi muda dengan memberikan pemahaman bahwa inovasi itu sesuatu yang seksi,” ujarnya.
Meski kini lekat dengan aktivitas sains, sejak kecil hingga remaja Syailendra tidak pernah bercita-cita berkecimpung di dunia sains. Nilai-nilainya bukan yang tertinggi di kelas. Beranjak remaja, ia justru ingin menjadi pemain sepak bola karena pengaruh teman-temannya sesama suporter Persib Bandung. Di bangku SMA, ia nge-band membawakan lagu-lagu rock di acara-acara anak muda setiap malam Minggu. Posisinya sebagai gitaris dengan modal gitar klasik yang dipelajari sejak kecil.
Itulah Syailendra yang ingin sains dikenal sebagai sesuatu yang menyenangkan.