logo Kompas.id
Bebas AksesSaat Ayah Meninggal Dunia
Iklan

Saat Ayah Meninggal Dunia

Oleh
DJENAR MAESA AYU
· 7 menit baca
Karya Yuswantoro Adi
Kompas

Karya Yuswantoro Adi

Saat itu tamu-tamu, baik saudara maupun kerabat dekat ayah sudah mulai berdatangan. Teman-teman saya pun datang dan itu membuat saya heran. Dari mana mereka mendapat kabar? Saya sama sekali belum sempat memberi kabar. Dan peristiwa itu terjadi saat saya masih berumur sebelas tahun, sekitar tahun delapan puluhan. Tidak seperti zaman sekarang di mana kita bisa tahu segala hal mulai dari pensil alis merek apa yang seseorang kenakan hari ini, makanan apa yang mereka konsumsi malam tadi, dan segala hal remeh-temeh lewat sosial media, zaman itu telepon genggam pun kami tak punya. Satu-satuya alat komunikasi di rumah kami hanyalah telepon warna jingga yang tak henti-hentinya berdering tanpa bisa saya mute atau reject, kecuali dengan cara mengangkat gagang telepon lalu menutup kembali atau dengan cara mencabut kabelnya. Tapi otak saya tengah enggan berpikir.

Keheranan saya begitu saja menguap di antara lantunan para tamu yang tengah berdzikir. Ucapan belasungkawa yang tak berhenti mengalir. Sedu-sedan. Pertanyaan-pertanyaan. Yang semua terdengar bagai suara ledakan kembang api yang selalu saya benci. Melengking dengan notasi tinggi sebelum menggelegar, bergetar di langit hitam yang mendadak warna-warni. Saya selalu benci dengan keindahan sejenis itu. Keindahan yang congkak, pekak, begitu memaksa untuk diaku. Dan saya membenci semua suara yang saya dengar saat itu. Selain satu suara, dari mulutnya yang tak sekali pun berkata-kata.

Ia datang bersama teman sekelas saya yang langsung menubruk, memeluk, dan menangis lebih keras daripada saya. Di belakang punggungnya bisa saya lihat antrean orang-orang yang menunggu giliran dengan tangis yang tak kalah kerasnya. Wajah-wajah yang saya kenal. Wajah-wajah yang tidak saya kenal. Wajah-wajah yang berusaha keras untuk menunjukkan simpati dengan akting sekelas pemain sinetron. Jika tidak bisa menangis, paling tidak mengernyit sedikit dengan mulut mengerut seperti ikatan balon. Seolah tahu diri, ia yang datang bersama teman saya langsung memisahkan diri. Ia hanya menganggukkan kepalanya kepada saya, lalu pergi. Hal itulah yang membuat saya menyadari.

Ada banyak cara untuk menunjukkan simpati. Dan antrean simpati memanjang yang mengingatkan saya dengan permainan ”Ular Naga Panjangnya Bukan Kepalang” ini, bukanlah bentuk simpati yang saya butuhkan. Bahkan saya merasa tidak semua dari mereka yang datang karena memang benar-benar ingin memberi dukungan. Banyak dari mereka yang hanya ingin melihat dan dilihat. Mungkin juga supaya wajahnya ikut masuk siaran berita. Mengingat ayah saya adalah seorang pelukis ternama. Atau mereka hanya ingin menjadi salah satu saksi, atas gosip apa yang mungkin timbul setelah ini. Atau bisa jadi ada yang berharap mendapat warisan. Semasa ayah hidup, tidak jarang saya menyaksikan keluarga maupun kerabat datang meminta bantuan. Saya masih di bawah umur, maka masih harus berada di bawah perwalian. Sementara sejak orangtua saya bercerai, Ibu bak raib ditelan bumi. Ada yang bilang ia masih sendiri. Ada yang bilang ia menikah lagi. Saya tak peduli. Tapi saya berharap mereka peduli di situasi seperti ini. Jadi tidaklah berlebihan jika saya merasa mereka hanya pura-pura menaruh simpati. Sebab jika memang mereka benar bersimpati, mengapa mereka tidak peduli dengan apa yang saya butuhkan? Mengapa mereka lebih banyak berbicara ketimbang mendengarkan? Saya hanya butuh sendiri. Terlebih saya tak butuh pertanyaan-pertanyaan seperti;

”Mama udah datang, Sayang?”

”Mama udah dikabari kan?”

”Mama kok belum keliatan?”

”Mama kamu di mana?”

”Mama?”

”Mana?”

”MAMA?”

”MANA?”

”DIAAAAAAAAM! BUBAR SEMUA KALIAN!”

Teman sekelas saya terjungkal dari pelukan. Entah karena ia sendiri yang melepaskan. Atau saya yang tidak dengan sengaja melontarkan. Suasana mendadak hening. Yang terdengar hanya suara putaran kipas angin, Wuuus… wuuus… wuuus… wuuus… Seolah mewakili dengus napas para tamu di dalam ruangan. Kini mereka benar-benar memerhatikan. Kini mereka benar-benar mendengarkan. Semua mata menatap ke satu tujuan. Mata-mata itu bagai lampu suar yang menyorot ke satu obyek. Lagi-lagi tidak untuk memelajari. Tapi...Menghakimi. Menelanjangi. Tanpa ampun. Sedikit pun.

Iklan

Saya tidak pernah tahu jika yang lebih menyakitkan bukan menghadapi kematian melainkan menghadapi kehidupan. Kenyataan menjadi begitu sulit untuk diterima nalar. Dan seketika dunia saya jungkir balik. Pagi hari lebih menyerupai malam hari. Gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka. Rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan. Dan para tamu itu, lebih menyerupai hantu. Baik hantu masa depan maupun masa lalu.

Saya pun pergi meninggalkan ruangan dan masuk ke kamar. Menjauh dari para hantu yang sedang menyamar. Dari dalam kamar bisa saya dengar suara Wuuus… wuuus… wuuus… wuuus… kipas angin seketika dirubung suara Bzzz… bzzz… bzzz… bzzz… menyerupai lebah. Tangis saya pun pecah.

Entah berapa lama saya menangis sambil memejamkan mata. Yang saya tahu ketika membuka mata, ia sudah berada di sana. Duduk di atas kursi meja belajar saya. Tak berkata-kata. Tapi bisa saya rasakan ada ketulusan di matanya. Ketulusan dari seseorang yang baru saya kenal beberapa saat setelah ayah meninggal dunia. Saya balik menatapnya. Dan kami terlibat perbincangan panjang tanpa kata-kata. Saya menikmati caranya menyentuh saya tanpa menggunakan tangannya. Raga dan jiwa saya bergetar saat ia mengecup saya tanpa menggunakan bibirnya. Dan tanpa sadar saya menjawab semua pertanyaan yang tak ia utarakan.

”Mama saya ada di sini. Ia tak pernah pergi. Setiap hari ia bangun paling pagi. Membangunkan kami yang sedang asyik bermimpi. Dalam mimpi kami, Mama sudah pergi. Mengapa saya katakan kami? Sebab saya bisa melihat kebingungan yang sama di wajah ayah saya setiap kami bangun tidur. Pintu di sebelahmu itu, pintu yang menyambung ke kamar ayah saya. Setiap kali ayah bangun, yang pertama kali ia lakukan adalah membuka pintu itu untuk membangunkan saya. Tapi setiap ia membuka pintu, saya sudah terbangun juga. Saya terbangun karena dibangunkan oleh Mama. Saya heran, mimpi saya begitu nyata. Mama sudah tidak ada. Tapi kenapa bisa ia membangunkan saya? Dan keheranan yang tersirat di wajah ayah saya, sudah cukup membuat saya yakin jika ia mengalami hal yang serupa. Bahwa kami sama-sama bermimpi, Mama sudah pergi. Tapi setiap hari, Mama bangun paling pagi dan membangunkan kami. Ajaib, bukan?”

Ia berjalan menuju pintu tanpa menggunakan kakinya. Lalu membuka pintu tanpa menggunakan tangannya. Saya ikut berjalan ke sisinya. Kamar ayah saya terlihat rapi. Terlihat sunyi. Ada sebuah tempat tidur jati, dengan kelambu putih yang terikat di empat sisi. Sepasang lemari yang juga terbuat dari jati, berdiri di kanan kiri. Sepasang patung pengantin jawa, duduk dengan anggunnya di atas tikar yang terhampar di depan kaki tempat tidur. Selebihnya, tumpukan kanvas-kanvas kosong dan yang sudah disapu kuas ada yang bertumpuk, ada yang berjajar bersandar di dinding yang catnya mulai luntur. Ada dua pintu lagi di dalam kamar ayah. Salah satunya pintu keluar kamar di mana saya dan ia bisa mendengar suara Bzzz… bzzz… bzzz… bzzz… menyerupai lebah yang belum juga berhenti. Dan satunya lagi pintu menuju kamar mandi. Pintu kamar mandi itu terbuat dari partisi Jepang yang biasa disebut shoji. Berupa rangka kayu berlapis kertas transparan. Sehingga jika lampu sedang dinyalakan oleh seseorang dari dalam, kita bisa melihat bayangan.

”Ada Mama di dalam.”

Bayangan berkelebat dari dalam. Membuat saya ingin segera keluar kembali ke kamar. Ia berjalan mengikuti saya dari belakang tanpa menggunakan kakinya. Dan menutup pintu kembali tanpa menggunakan tangannya.

”Setiap kami berangkat tidur, Mama selalu menyelimuti kami. Karena itu saya tahu, Mama tidak hanya bangun paling pagi, melainkan juga tidur paling malam. Tapi Mama selalu pergi dalam mimpi kami. Saya tidak tahu dengan cara apa Mama pergi. Tidak ada adegan melambaikan tangan. Tidak ada adegan cium perpisahan. Tidak ada adegan berjalan keluar pintu. Tidak ada adegan apa pun kecuali Mama tidak ada.”

Kami kembali bertatapan. Cukup panjang, amat panjang sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya kepada saya, lalu pergi. Untuk yang kedua kali.

”Mama mana?”

Teman sekelas saya bertanya pelan. Tapi cukup keras terdengar di pendengaran. Dan cukup jelas untuk membuyarkan lamunan. Di belakang punggungnya bisa saya lihat antrean orang-orang semakin menyerupai permainan, ”Ular Naga Panjangnya Bukan Kepalang.”

Catatan:

Permainan Ular Naga: Dimainkan berkelompok. Dua anak menjadi gerbang, berpegangan tangan ke atas, sedangkan anak-anak lainnya saling memegang bahu temannya sehingga mirip ular yang panjang berjalan mengitari gerbang.

*Ular Naga Panjangnya – Ciptaan: Ibu Sud

Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri, Banyu Bening dan Bidari Maharani. Eyang putri dari Embun Kinnara ini lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, dan SAIA. Djenar juga menerbitkan sebuah novel berjudul Nayla.

___________________________

Yuswantoro Adi, perupa tinggal di Yogyakarta, lahir di Semarang, 11 November 1966. Selain melukis juga aktif mengajar dan memberikan workshop senirupa, terutama untuk anak-anak se Indonesia. Meraih penghargaan Grand Prize Winner Philip Morris Asean Art Award 1997 di Manila, Filipina.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000