”Espresso” dan Kain Saring
Ada yang berbeda di Solong. Dalam kedai kopi paling legendaris se-Banda Aceh itu, kain saring penyeduh kopi tak lagi sendiri. Sebuah mesin ”espresso” berdiri di atas bar. Bersanding dengan kain saring.
Setelah 43 tahun bertahan dengan seduhan tradisional, kedai itu pun bertransformasi. Seduhan kopi robusta nan pekat dari kain saring masih menjadi favorit pelanggan. Namun, belakangan tak jarang pengunjung memesan seduhan berbeda. Salah satunya minuman kopi espresso.
”Mau pesan kopi saring, ada. Mau pesan kopi espresso, sekarang sudah ada juga,” kata Syarifuddin, generasi kedua pemilik Kedai Kopi Solong.
Tak hanya robusta, kini tersedia pula kopi arabika. Jenis ini khusus diseduh metode espresso. Sementara metode saring tetap menggunakan robusta.
Menurut dia, banyak pencinta kopi mulai menggemari arabika. Pasar peminum kopi di Aceh rupanya tengah menjalani wajah baru di tengah euforia gaya hidup ngopi di Indonesia belakangan tahun ini. Aroma dan rasa arabika cenderung lebih lembut dan kaya dimensi. Sementara, deskripsi paling sederhana ala rakyat yang sering diungkapkan soal robusta adalah rasanya ”mantap”. Sentilan pahit yang kerap hadir juga menjadi ukuran kemantapan ini.
Bisa dibilang, jika robusta adalah kopi proletar, arabika mungkin bisa dibilang kopi priayi. Keduanya punya karisma dan kenikmatan tersendiri. Kini di Solong keduanya bersanding rukun.
Seluruh biji kopi di sini diproses melalui beberapa tahapan untuk menghasilkan kopi bercita rasa terbaik. Khususnya pada robusta, biji kopi terlebih dahulu digudangkan selama 3-4 bulan. Tujuannya untuk menurunkan kadar asam pada kopi. Biji kopi lalu disangrai di atas bara api hingga 1,5 jam. Sangrai cara tradisional demi mempertahankan cita rasa khas kopi Solong.
”Dalam proses roasting kami tidak mencampur kopi dengan jagung, mentega dan lainnya. Ini murni kopi,” ujar Syarifuddin.
Pusat kopi
Ulee Kareng sejak lama dikenal sebagai kawasan pengolahan, kuliner, dan pusat oleh-oleh kopi. Kawasan itu bagai tak pernah tidur. Silih berganti orang menyambangi kedai kopi demi secangkir minuman dan serangkai cerita. Dari subuh hingga tengah malam, kedai kopi paling dicari, termasuk Solong.
Pada salah satu sudut kedai, Ali (65) berbincang santai dengan seorang rekan. Minuman kopi dan sepiring kue basah tersaji. Sejak berdiri tahun 1974, kedai itu bagaikan rumah kedua baginya. ”Subuh selepas salat langsung mampir. Ngopi. Ngobrol. Lalu, sorenya mampir lagi,” lanjutnya.
Ali telah akrab dengan para peracik kopi. Kalau tanggal muda, biasanya ia mendapatkan seporsi minuman kopi tebal. Memasuki tanggal tua, pesanan beralih ke kopi sanger. Sanger diartikan kopi saling pengertian. Bubuk kopinya dikurangi dan diseduh dalam gelas kecil. Harga pun lebih murah. ”Pokoknya menyesuaikan situasi di kantong,” lanjutnya sembari tertawa.
Suasana dalam kedai terasa hangat. Jarak antarmeja berdekatan. Sering kali mereka bertemu dengan sesama teman dalam kedai. Sampai-sampai muncul istilah, kalau mau mencari si anu datanglah ke Solong. Orang yang dimaksud pasti hampir sepanjang hari berada di kedai.
Di belakang kedai, sejumlah pekerja menggiling hasil sangraian kopi di belakang kedai. Aroma wangi kopi pun menguar hingga ke dalam.
Untuk membuat kopi saring, bubuk kopi terlebih dahulu diseduh dengan air mendidih. Saringan kopi yang berada di dalam wadah diangkat tinggi-tinggi. Tangan kiri memegang wadah. Tangan kanan memainkan saringan, ke atas lalu ke bawah. Naik dan turun dengan cekatan. Sari kopi mengucur dari ujung saringan.
Teknik penyaringan itulah yang membentuk rasa kopi yang mantap. Semakin tinggi tangan diangkat, ditahan di atas, makin tebal sari kopinya yang mengucur. Aktivitas para barista di dalam bar itu pun menjadi atraksi tersendiri bagi pengunjung.
Solong mempekerjakan tiga barista. Mereka telah bekerja lebih dari 15 tahun dan sudah hafal selera para pelanggan.
Sepanjang kedai masih buka, pesanan minuman tak pernah berhenti. Itu sebabnya, barista bergantian tiga jam sekali. Jika barista kelelahan, biasanya akan terasa cita rasa kopi kurang istimewa.
Tak hanya barista. Bubuk kopi juga cepat diganti. Satu kilogram bubuk hanya untuk menyeduh 70 hingga 80 cangkir.
Sejarah Solong
Kedai Kopi Solong dirintis oleh Muhammad Saman (96). Orang-orang memanggilnya Abu Solong. Muhammad sempat menceritakan kisah di balik nama Solong.
Awalnya ia bekerja di sebuah produksi kopi di Peunayong, Banda Aceh, tahun 1960-an. Muhammad berhenti karena ingin membuka usaha sendiri, tetapi tetap membeli bubuk kopi di sana. Belakangan kopinya tidak lagi nikmat. ”Saya dikasih bubuk yang kurang bagus,” ujarnya.
Sejak itu, dia belajar cara menyangrai kopi yang baik. Muhammad akhirnya mahir. Kedai kopinya kian ramai. ”Dulu kedainya dari kayu. Sekarang permanen,” kata Muhammad.
Kedai kopi itu diberi nama Jasa Ayah. Muhammad memang berniat suatu saat mewariskan usaha kepada anak-anak.
Suatu hari seseorang mencari dirinya. Orang itu mengaku ayahnya pernah dipinjami uang oleh Muhammad. Ia bermaksud berterima kasih dan membayar utang yang dimaksud kepada Abu Amad (Muhammad). Dengan dialek khasnya, kata tolong berubah menjadi solong. ”Di mana abu yang solong ayah saya,” begitulah kira-kira ucapan orang itu. Sejak itulah nama Muhammad akrab dipanggil Abu Solong.
Sang perintis kini lanjut usia dan tak mampu lagi mengelola kedai. Usaha dilanjutkan anak-anaknya. Ketiga putranya, Nawawi, Hasballah, dan Syarifuddin, berbagi peran mengembangkan usaha. Kini, mereka mengelola enam kedai dan usaha produksi kopi sangrai dan bubuk.
Syarifuddin menuturkan, kunci dari kesuksesan usaha itu adalah menjaga kualitas. Ayahnya selalu mengingatkan, kualitas merupakan kepercayaan pelanggan.
Kini, kafe-kafe baru tumbuh subur di Banda Aceh. Kehadiran kafe berkonsep modern bukanlah ancaman. Transformasi kedai tua merangkul selera baru sekaligus merawat tradisi.