Karyawan Milenial yang Makan Secukupnya dan Berbagi
Oleh
DD09
·4 menit baca
Bagi Rukati (55), mendapatkan makan malam tiba-tiba secara cuma-cuma adalah anugerah. Meskipun tidak setiap hari, ada karyawan milenial yang menghampirinya dan memberikan sepaket santapan, paling tidak nasi dan lauk-pauk. Kalau tidak ada, dia harus menahan lapar hingga pukul 22.00.
Setiap hari, Rukati duduk bersila di jembatan penyeberangan orang Halte Transjakarta Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, sambil menjajakan tisu dan masker. ”Rata-rata saya mendapatkan Rp 75.000-Rp 100.000 per hari dari dagangan ini. Tetapi, itu masih pendapatan kotor, belum dikurangi modal,” ujarnya saat ditemui, Jumat (20/4/2018) malam.
Dagangan yang ditaruh di dalam plastik bening itu merupakan sumber kehidupan bagi Rukati dan empat anaknya. Sekitar pukul 15.00 Rukati sudah sampai di kawasan Senayan dan sekitar pukul 20.00 atau 21.00, dia kembali ke rumahnya di daerah Cipinang, Jakarta Timur.
Rukati adalah salah satu penerima paket santap malam dari komunitas karyawan milenial yang mayoritas berkantor di Kawasan Pusat Bisnis Sudirman (SCBD). Komunitas itu bernama Brotherfood.
Paket makanan itu bermula dari waktu makan siang. Sejumlah karyawan milenial memilah jenis makanan dan membagi jumlah porsinya sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Kelebihannya mereka letakkan di dalam kotak wadah makanan yang disediakan.
Tidak ada yang mengomando mereka, pemilahan itu berlangsung dengan sendirinya. Obrolan yang ada hanya terkait spesifikasi wadah untuk meletakkan makanan yang dipilah.
Menu makan siang yang disuguhkan saat itu adalah nasi gudeg dan ayam goreng yang dikemas di dalam kardus makanan. Sebelum makan, ada yang meletakkan nasi, potongan ayam, tempe, atau gudeg.
Pada sore hari, makanan-makanan yang telah dipilah itu dibagi menjadi tujuh porsi dan dibungkus dengan kertas coklat. Nantinya, bungkusan makanan itu akan diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Gerakan ini diinisiasi oleh Jordan Syein Sutoko, karyawan berusia 23 tahun yang bekerja di perusahaan media sosial. Dia mendirikan Brotherfood pada Januari 2018.
Awalnya, dia gelisah karena melihat orang-orang yang tidak menghabiskan makanannya sehingga berujung menjadi sampah. Di sisi lain, ada orang yang kelaparan di sekitarnya.
Jordan juga merujuk pada data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Pada 2015, FAO mencatat, sekitar 19 juta orang di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Namun, pada saat yang sama, ada 13 juta ton makanan yang terbuang di Indonesia per tahun, yang setara dengan pangan untuk 28 juta orang.
Sekitar 19 juta orang di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan pangannya. Namun, pada saat yang sama, ada 13 juta ton makanan yang terbuang di Indonesia per tahun, yang setara dengan pangan untuk 28 juta orang.
Menurut Jordan, apabila makanan itu dipilah sebelum disantap dan dikemas ulang, mungkin dapat menghasilkan satu porsi yang layak dikonsumsi. ”Misalnya, merasa lauknya terlalu besar, potong terlebih dahulu. Atau merasa nasinya terlalu banyak, pisahkan dulu. Potongan dan porsi yang dipilah itu bisa disatukan dan dibagikan kepada yang membutuhkan,” tuturnya.
Bangun kebiasaan
Kegelisahan itu akhirnya menggerakkan Jordan pada awal tahun 2018 untuk membiasakan diri dan lingkungannya makan secukupnya. ”Awalnya saya duduk di dekat tempat sampah kantor untuk jadi ’polisi’ makanan bagi rekan-rekan kerja saya. Sebelum mereka membuang makanannya, saya cek terlebih dahulu ada makanan yang masih layak dikonsumsi atau tidak,” tuturnya.
Jika ada makanan yang masih layak dikonsumsi, Jordan mengingatkan temannya atau langsung dipisahkan. Pada setiap acara perkumpulan karyawan, dia memaparkan gerakannya.
Lama-kelamaan, kesadaran itu muncul. Rekan-rekan kerja Jordan mulai membantunya membungkus makanan dan membagikan kepada orang yang membutuhkan. Bahkan, ada yang menyumbang wadah makanan.
”Saya ingin membangun kebiasaan untuk memilah makanan yang dirasa berlebih dan membagikannya kepada orang yang membutuhkan. Kebiasaan ini adalah gerakan sederhana karena bisa disempatkan dalam keseharian,” ujarnya.
Pada Februari lalu, jumlah paket makanan yang dibagikan Brotherfood sebanyak 130 bungkus dalam 20 hari kerja. Menurut Jordan, tingkat ketepatan sasarannya berkisar 98 persen.
Salah satu rekan sekantor Jordan, Ayu Putri M (23), turut membantu dalam memilah, membungkus, dan membagikan paket makanan. ”Sekarang saya semakin merasa bertanggung jawab untuk menghabiskan hidangan yang ada di atas piring saya,” ucap Ayu.
Ditemui secara terpisah, Ketua Yayasan Foodbank of Indonesia Wida Septarina mengatakan, makan secukupnya dan sesuai porsi dirinya merupakan kebiasaan yang perlu ditanamkan. Ia berpendapat, kebiasaan ini merupakan wujud sikap menghargai ”perjalanan” panjang makanan, mulai dari ditanam hingga sampai di hadapan masyarakat.
Empati ganda
Kebiasaan memilah, membungkus ulang, dan membagikan makanan seperti yang dilakukan Jordan dan teman-teman merupakan bentuk empati pada lingkungan dan sesama.
”Pemilahan makanan dan membagikannya tergolong dalam usaha mengurangi sampah organik, sekaligus bentuk empati kepada orang yang kekurangan,” ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati saat ditemui secara terpisah.
Pemilahan makanan dan membagikannya tergolong dalam usaha mengurangi sampah organik, sekaligus bentuk empati kepada orang yang kekurangan.
Rosa menambahkan, rata-rata setiap orang menghasilkan sampah sekitar 0,7 kilogram per hari. Oleh sebab itu, dia berpendapat, kebiasaan tersebut dapat mengurangi sampah organik dari setiap orang.
Hal yang sama disoroti Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Isnawa Adjo. Dia mengapresiasi kebiasaan yang diterapkan Jordan dan kawan-kawan karena dapat berdampak pada pengurangan sampah organik. Isnawa mengatakan, rata-rata sampah yang dihasilkan warga Jakarta berkisar 7.000 ton per hari dan 55 persennya berupa sampah organik.
Dari sisi membagikan makanan yang telah dipilah dan dibungkus ulang, Ketua Pembina Yayasan Foodbank of Indonesia M Hendro Utomo menyebutkan, gerakan itu menunjukkan kepedulian.
”Orang-orang yang kekurangan mungkin bisa menghemat Rp 15.000-Rp 20.000 per hari berkat gerakan itu. Namun, lebih penting lagi, orang-orang ini memiliki harapan dan merasa tidak sendiri dalam kesulitan hidupnya,” ujarnya.
Melalui Brotherfood, Jordan dan rekan-rekan telah membuktikan, makan secukupnya dan membagikan porsi yang berlebih merupakan kebiasaan sederhana yang mudah diterapkan.
Hari Bumi yang jatuh pada 22 April ini dapat jadi momentum untuk memulai kebiasaan tersebut. Harapannya, Bumi tak lagi ”timpang”, ada makanan yang terbuang, tetapi ada yang kelaparan.