Program OBOR China Kembali Dicurigai
Pengembangan infrastruktur berskala global yang dimotori China kembali diusik. Pembangunan yang dibiayai pinjaman dari Pemerintah China itu dituduh sebagai alat untuk menancapkan pengaruh pada negara-negara penerima pinjaman.
Pemerintah China membantah keras tuduhan itu. Infrastruktur global adalah kebutuhan mendasar dan tidak ada satu negara yang mampu melakukannya selain China.
Namun, kecurigaan tidak surut. India termasuk paling curiga sejak awal tentang rencana pengembangan jalur sutra modern lewat program yang diberi nama One Belt One Road (OBOR).
Inisiatif China ini dicanangkan Presiden Xi Jinping pada 2013. OBOR menawarkan minimal 1 triliun dollar AS pinjaman untuk pembangunan infrastruktur bagi negara-negara yang bersedia memakainya. Jaringan infrastruktur ini akan menyambungkan Asia, Eropa, dan Afrika lewat jalur darat dan laut.
Menteri Luar Negeri India Subrahmanyam Jaishankar menyebut konektivitas tawaran China itu sebagai ”pertunjukan geopolitik era sekarang”. Dia melihat langkah ini sebagai kiat menancapkan pengaruh kuat pada negara-negara tetangga (The Huffington Post, 7 September 2018). India tentu menolak ikut dalam rencana tersebut.
Tak pelak lagi, Amerika Serikat menyambut penolakan India. Menteri Pertahanan AS James Mattis menyatakan, ”Dalam globalisasi … seharusnya tidak ada satu negara yang menempatkan diri dan mendiktekan one belt one road.” Mattis mengatakan itu di hadapan Senat AS (The Hindustan Times, 4 Oktober 2017).
Kantor berita India, PTI, pada 18 April juga mengutip pernyataan Laksamana Philip S Davidson. ”China berkepentingan memperluas pengaruh global lewat OBOR. Ini memungkinkan China melirik kawasan,” kata Davidson, Panglima Angkatan Laut AS, yang dinominasikan menjadi Panglima Komando AS di Asia Pasifik saat berbicara dengan Senat AS.
”China sedang memperluas akses ke pelabuhan-pelabuhan di negara-negara asing demi mendukung logistik yang diperlukan untuk mengatur dan mengerahkan (kekuatan) di Samudra India. Pengaturan logistik dan penancapan pijakan di seberang akan membuat Beijing mampu memproyeksikan dan mempertahankan kekuatan militer di daerah yang jauh dari wilayah China,” kata Davidson.
OBOR memperluas dan membuat China mampu melakukan pemantauan mulai dari Laut China Selatan hingga Teluk Aden. Bantuan China lewat OBOR, menurut Davidson, adalah alat tersembunyi untuk memaksa negara-negara penerima pinjaman memberi akses tersebut.
Analisis terhadap 15 proyek
Pandangan Davidson didukung analisis The Center for Advanced Defence Studies (C4ADS), sebuah lembaga nirlaba yang berbasis di Washington, seperti diberitakan The Economics Times, Senin (23/4/2018). Laporan C4ADS menuliskan, ”Investasi (China) pada proyek-proyek infrastruktur mungkin bukan didasarkan pada prinsip ekonomi yang saling menguntungkan.”
Laporan C4ADS didasarkan analisis atas 15 proyek di Bangladesh, Sri Lanka, Kamboja, Australia, Oman, Malaysia, Indonesia, Djibouti, dan di negara lainnya di kawasan Indo-Pasifik. Salah satu kesimpulannya adalah proyek OBOR terkait erat dengan kepentingan keamanan China.
Tidak ada dokumen resmi dari pihak China yang mengaitkan OBOR dengan kepentingan keamanan ”Negeri Tirai Bambu”. Hanya saja disebutkan bahwa beberapa pakar China telah menuliskan bahwa program pembangunan dan peningkatan keamanan China jelas terkait di dalam OBOR.
C4ADS menyebutkan investasi China pada infrastruktur maritim melekat dengan fungsi ganda, yaitu mengakomodasi aktivitas bisnis dan operasi militer. Karakteristik strategis berdasarkan analisis enam dimensi memperlihatkan investasi-investasi China di Indo-Pasifik memiliki dimensi yang lengkap.
Lewat proyek tesebut, pertama, China mendapatkan lokasi strategis (pelabuhan). Aspek kedua, proyek OBOR menunjukkan model pembangunan dengan fungsi ganda. Aspek ketiga, dalam proyek itu terlihat kehadiran Partai Komunis.
Aspek keempat, ada kontrol keuangan secara siginifikan. Aspek kelima, proyek itu memiliki transparansi yang terbatas. Aspek keenam, ada manfaat yang tidak berimbang dari proyek-proyek tersebut dan China paling diuntungkan. Itu menurut pandangan C4ADS.
C4ADS juga melihat sisi lain dari proyek-proyek OBOR itu. Ada contoh proyek yang tidak menguntungkan. Hal ini mengindikasikan Beijing aktif mencari peruntungan dari sisi geopolitik.
Keuntungan komersial menjadi urusan lain. Dalam buku barunya berjudul China’s Asian Dream: Empire Building along the New Silk Road, Tom Miller, seorang mantan jurnalis dan pemerhati China, mengatakan, para pejabat China rela kehilangan 30 persen dari total dana investasi di Asia Tengah dan 80 persen di Pakistan.
Laporan C4ADS juga melihat investasi-investasi itu merupakan indikasi di mana China dari waktu ke waktu mendambakan sebuah skema dengan kontrol terpusat entah itu di dalam negeri ataupun di seberang.
Proyek di Pakistan
C4ADS menyebutkan satu contoh proyek OBOR yang mendukung kesimpulannya. Pengembangan Koridor Ekonomi Pakistan-China (China-Pakistan Economic Corridor/CPEC) dibiayai OBOR dimulai tahun 2013. Proyek CPEC ini berskala luas. Di dalamnya termasuk pengembangan pelabuhan Gwadar (Pakistan).
Proyek CPEC juga bertujuan mengembangkan jalur darat sejauh 3.000 kilometer. Menurut harian Pakistan, The Nation, edisi 13 Juni 2016, jalur darat ini menghubungan Gwadar dengan Kashgar, kota di Provinsi Xinjiang, China. Ini akan mempercepatkan transportasi impor minyak dari Timur Tengah ke China ketimbang melalui Selat Malaka. Dua kota ini akan disambungkan lewat jalan darat, yaitu kereta api.
Di jalur darat itu akan dibangun kawasan ekonomi khusus. Ini akan membuat pelabuhan Gwadar di Baluchistan sebagai gerbang laut untuk Asia Tengah.
China akan membangun pabrik penyulingan minyak di kawasan industri Gwadar dan pelabuhannya telah dikuasai China dengan perjanjian selama 40 tahun sesuai kesepakatan.
Menurut C4ADS, CPEC merupakan contoh proyek yang tidak transparan dan tidak spesifik. Disebutkan, produktivitas dari proyek ini akan setara dengan 17 persen dari nilai produk domestik bruto (PDB) Pakistan dan mempekerjakan 700.000 pekerja. Menurut C4ADS, angka-angka ini sangat spekulatif dan didasarkan pada studi kelayakan yang minim.
Laporan itu mengutip ucapan Gubernur Bank Sentral Pakistan, ”Saya tidak tahu dari jumlah dana proyek 46 miliar dollar AS itu, berapa dalam bentuk porsi utang (Pakistan), berapa dalam bentuk kepemilikan saham dan lainnya.”
C4ADS melihat sisi yang tak transparan menurut versi lembaga think tank AS ini untuk menguatkan dugaan bahwa OBOR tidak transparan dan semata-mata untuk tujuan geopolitik.
Menurut C4ADS, proyek pengembangan pelabuhan ini akan memberi keuntungan lebih besar bagi China sekaligus membebani Pakistan dalam jangka panjang untuk pembayaran utang karena dana-dana China telah dialokasikan untuk membangun. Pakistan akan terjebak utang sekitar 80 persen dari nilai proyek, termasuk karena pengenaan suku bunga tinggi.
Untuk kepentingan CPEC, China menciptakan Divisi Keamanan Khusus dengan 150.000 tentara yang dirotasikan di dalam dan di luar Pakistan. Ini bertujuan memberi keamanan untuk proyek pembangunan pelabuhan Gwadar dan proyek lain di seantero negara yang dibangun dengan uang dan keahlian China.
Sebagai tambahan, China sedang mengembangkan pangkalan udara dan laut di kota pantai Jiwani, di Provinsi Baluchistan yang rawan konflik. Hal ini turut memunculkan kekhawatiran C4ADS.
Kontras dengan kecurigaan yang dicuatkan C4ADS, Perdana Menteri Pakistan Shahid Khaqan Abbasi, Senin (23/4), menyatakan, CPEC tidak akan menyebabkan jebakan utang. Ini proyek nyata yang memberikan kesempatan besar bagi Pakistan.
Abbasi sebelumnya juga menegaskan CPEC akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan memungkinkan konektivitas Pakistan ke kawasan Asia. Itu dia katakan saat bercicara di BAOA Forum for Asia di kota Baoa, Provinsi Hainan, China, pada 10 April.
Abbasi mengatakan, ”Pakistan terdorong melihat potensi pertumbuhan di kawasan dan sangat optimistis dengan OBOR. Hal ini akan memberi keuntungan bagi kawasan dan dunia.”
Abbasi menyebut Beijing sebagai kampiun soal liberalisasi ekonomi. ”Islamabad tidak pernah percaya dengan proteksionisme. Pembukaan dan liberalisasi adalah jalan untuk kemajuan,” kata Abbasi menyindir semboyan Presiden AS Donald Trump yang cenderung proteksionis.
Proyek di Sri Lanka
C4ADS juga menelaah proyek OBOR yang ada di Sri Lanka, yang juga disebut kontroversial. Pemerintah Sri Lanka telah meneken penyewaan lahan selama 99 tahun untuk sebuah proyek yang tidak menguntungkan, menurut C4ADS, yakni pengembangan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka selatan. Pelabuhan ini ada di titik jalur sibuk lalu lintas kapal di Samudra Hindia.
Bersamaan dengan itu akan ada pengembangan kawasan perdagangan bebas yang dikontrol China, sebuah kesepakatan yang ditentang warga sekitar dan para biksu.
”China tampaknya telah mengembangkan keuntungan finansial atas Sri Lanka lewat investasi bernilai miliaran dollar AS yang diteken saat kekuasaan Presiden Mahinda Rajapaksa. Level utang proyek ini telah mencegah penerus Rajapaksa untuk lari dari kesepakatan dan mencegah Sri Lanka berpaling dari poros China,” demikian laporan C4ADS.
Untuk mendukung proyek ini, Bank of China telah mendirikan cabang ke Sri Lanka. Harian Sri Lanka, The Sunday Oberver, edisi 22 April menuliskan ucapan Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe yang menyebutkan masuknya Bank of China menandai babak baru dalam sejarah hubungan bilateral. Itu dia ucapkan saat peluncuran cabang Bank of China di Kolombo pada Rabu (18/4).
Sri Lanka sedang mentransformasikan Kolombo sebagai pusat keuangan. ”Oleh sebab itu, kami harapkan Bank of China memainkan peran krusial untuk membantu Sri Lanka mengembangkan bisnis lokal sekaligus mendatangkan investasi China ke dalam negeri,” kata Wickremesinghe.
”Asia akan menjadi pemain global dan China menjadi pemain utama. Adalah strategi Sri Lanka yang berada di lokasi strategis untuk terlibat dengan negara-negara lain di kawasan. Dunia dan peran China sebagai pendorong perdagangan dan bisnis telah terbukti lewat perluasan hubungan bilateral,” kata Wickremesinghe. ”Sri Lanka siap berperan dan menjadi bagian integral dari OBOR yang didorong China,” katanya.
Inilah yang menyebabkan Sri Lanka dan China meneken kesepakatan tentang pembentukan kawasan perdagangan bebas.
Proyek-proyek lain
Selain proyek di Pakistan dan Sri Lanka, C4ADS melihat proyek OBOR di negara lain tetap sama, menancapkan pengaruh China dan bertujuan kepentingan geopolitis. ”Banyak pengamat menyadari bahwa peran sebuah jaringan logistik maritim, termasuk pelabuhan, memiliki potensi untuk mengubah lanskap kawasan. Beberapa pengamat secara eksplisit menuliskan peran investasi infrastruktur sangat berguna dalam strategi besar China,” demikian laporan C4ADS.
Proyek-proyek ini dikatakan akan bertujuan memuluskan impor China di masa datang sekaligus menepis kekhawatiran akan adanya potensi blokade perdagangan ke dan dari China. Pelabuhan Gwadar dan proyek di Kinabalu, kota pantai milik Malaysia di Pulau Kalimantan, menurut C4ADS, adalah dua proyek untuk mengatasi hambatan bagi eksistensi China sehubungan dengan kehadiran AS di kawasan. Proyek-proyek ini akan mengubah tatanan di kawasan yang sekarang masih didominasi AS dan sekutunya.
Para jenderal top di Pakistan telah memberi argumentasi lewat pidato dan tajuk rencana pada media di Pakistan bahwa infrastruktur China adalah ”perintah” untuk mencegah hambatan dari sisi AS akan kehadiran militer China. Demikian juga tujuan-tujuan politik dan ekonomi OBOR di Asia Selatan dan di tempat lainnya, memfasilitasi eksistensi militer China, menurut laporan C4ADS.
Di harian The Washington Times, edisi 18 April, dituliskan, ”OBOR adalah konsep tipuan, tampil dalam bungkusan tersamar yang sebenarnya bertujuan mendorong ekspansi China.” Ini diucapkan Richard Jerram, ekonom senior di Bank of Singapore. ”Langkah itu dilihat sebagai alat kebijakan luar negeri, dipaket dalam bentuk kekuatan lunak dan keras,” kata Jerram.
Kecurigaan dibantah
Kantor berita Xinhua pada 19 April 2018 memberitakan, China menolak laporan C4ADS. Ditekankan, tujuan dari OBOR adalah membuka peluang kerja sama yang saling menguntungkan antara China dan negara-negara yang terlibat.
China tidak memiliki kalkulasi geopolitik, tidak mencari blok eksklusif, dan tidak mendiktekan kepentingan lain di balik kesepakatan bisnis.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Hua Chunying, pada jumpa pers menyebutkan bahwa OBOR pada dasarnya adalah soal kerja sama ekonomi. Konsep inti adalah mendorong pembangunan bersama lewat peningkatan konektivitas dengan pembangunan infrastruktur dan proyek terkait lainnya.
Hua mengatakan OBOR meraih dukungan dari 100 negara dan organisasi-organisasi internasional. Sebanyak 80 negara telah meneken kesepakatan kerja sama dengan China terkait OBOR. Hua menambahkan dukungan tidak mungkin didapatkan jika inisitiatif ini tidak merupakan kebutuhan sesuai zaman. Inisiatif itu tidak mungkin diterima jika tidak menguntungkan penduduk di banyak negara.
Hua menambahkan bahwa OBOR bersifat terbuka, transparan dan semua peserta sama-sama terlibat dalam konsultasi sejak perencanaan dan implementasi. ”China tidak memiliki kalkulasi geopolitik, tidak mencari blok eksklusif, dan tidak mendiktekan kepentingan lain di balik kesepakatan bisnis,” ujar Hua.
Hua menambahkan OBOR harus saling menguntungkan. Program ini memungkinkan negara-negara lain berbagi kesempatan dari pembangunan China dan mengatasi persoalan pembangunan yang dihadapi dunia.
”Dalam proses OBOR, China berpegang pada aturan pasar dan menampung masukan dari semua pihak untuk dipertimbangkan,” kata Hua. Sejumlah proyek telah dijalankan dan memberi manfaat pada ekonomi serta menguntungkan warga lokal.
Salah satu eksekutif China yang juga mendapatkan pertanyaan tentang misi di balik OBOR adalah Zhang Baozhong, Ketua China Overseas Port Holding Co Ltd. Perusahaan milik negara China ini menjalankan proyek besar di Pakistan. Dia sering ditanyai tentang kepentingan geopolitik China atas proyek di Pakistan.
”Saya lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan itu,” kata Zhang Baozhong. China Overseas Port Holding Co Ltd satu-satunya investor asing yang terlibat di proyek pembangunan pelabuhan Gwadar. Dia membantah proyek itu bertujuan militer. Zhang mengatakan Washington dan sekutunya menyebarkan tuduhan salah untuk melemahkan kerja sama China dengan Pakistan.
”Darah para saudara kami telah tertumpah untuk proyek ini dan kami tidak melakukan apa-apa soal itu,” kata Baozhong merujuk pada tewasnya beberapa pekerja China untuk konstruksi pelabuhan di awal 2002. ”Adalah tugas kami untuk mewujudkan proyek ini.”
Menantang hegemoni AS
Peter Cai, seorang peneliti Australia dari Lowy Institute, lembaga think tank, telah mempelajari OBOR. Cai mengatakan tidak yakin jika China disebut memanfaatkan proyek-proyek pelabuhan untuk memperkuat tujuan-tujuan militer.
Ini sehubungan dengan adanya fakta bahwa sangat sulit mengoordinasikan investasi-investasi yang berbeda dan berjumlah banyak, yang ditawarkan OBOR serta tersebar di banyak negara. Lagi pula, sebagian di antara negara-negara yang menjadi lokasi proyek-proyek OBOR merupakan aktor-aktor independen.
Meski demikian, menurut Cai, pengaruh politik China akan meluas di banyak negara yang tersambung dengannya lewat proyek-proyek tersebut. Jaringan baru otomatis akan meningkatkan aktivitas ekonomi, yang berarti, ”Anda akan memiliki pengaruh ekonomi dan kita semua tahu bahwa pengaruh ekonomi mudah beranjak menjadi keuntungan politik dan kekuasaan,” kata Cai.
Inisiatif OBOR secara lahiriah dan dengan sendirinya bukan alat baru untuk pemunculan kekuatan kawasan dan sarana perluasan pengaruh. Program Marshall Plan dari AS untuk membangun Jerman dan negara-negara Eropa yang porak-poranda setelah Perang Dunia II jelas merupakan model penggunaan lewat bantuan ekonomi dan infrastruktur untuk imbal balik kepentingan geopolitik, dalam hal ini demi kepentingan AS.
Dengan demikian, apakah hanya AS yang sahih menjalankan kepentingan geopolitis di dunia yang sedang berubah? Selain China, Jepang dan Korea Selatan juga sedang meningkatkan investasi di kawasan Asia Pasifik dan di luarnya. Bedanya, hanya China satu-satunya negara yang mampu melampaui Bank Dunia dalam memberi bantuan untuk negara berkembang.
Mungkin lebih tepat, sukses China sekaligus memunculkan fenomena mirip kutukan bagi sang pemenang. Lagi pula, pihak yang mencuatkan kecurigaan soal OBOR adalah AS dan India. Ini adalah musuh sejarah China dalam kalkulasi kekuatan global.
Namun, lepas dari kecurigaan itu, pantas juga diajukan pertanyaan. Apa yang dilakukan India dan AS untuk pembangunan global sekaliber China sekarang? Apa yang dilakukan India untuk kawasan Asia Selatan?
Jangan dilupakan, jumlah warga dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan menurut Bank Dunia sebanyak 700 juta pada tahun 2015. Setengah dari warga kategori ini hidup di Asia Pasifik. Haruskah pembangunan, salah satunya atas inisiatif OBOR itu, terhenti karena ketakutan geopolitik dari pihak yang cemburu dan sedang melemah kekuatannya?
Ian Bremmer, Presiden Eurasia Group, mengatakan model politik dan ekonomi berbasis kapitalisme negara ala China telah terbukti memiliki daya tahan. Ini seiring dengan perkembangan China sebagai adi daya ekonomi. ”Sebut itu dalam kalimat lain, lebih nyaman bertaruh pada mimpi China daripada tidak,” kata Bremmer.
OBOR versus America First
Kini tidak ada pilihan selain menerima OBOR, setidaknya selama Presiden Donald Trump masih berkuasa. Di situs politicalinsights.org pada 18 April 2018 muncul artikel berjudul ”China’s One Belt One Road Offers Better Prospects than America First” yang ditulis oleh Alexandra Calloway-Nation yang bekerja di sebuah bank investasi AS. Calloway telah mempelajari secara intensif isu-isu China termasuk kebijakan luar negeri dan ekonomi pembangunan.
Dia mengatakan, masa depan perdagangan tidak prospektif dengan adanya America First. Ini sangat kontras dengan program OBOR China yang turut memberi manfaat bagi bisnis AS. Bisnis AS tidak senada dengan sentimen isolasionis.
Calloway mengutip artikel The Economist edisi Agustus 2017 bahwa General Electric telah menjual peralatan senilai 2,3 miliar dollar AS untuk proyek-proyek terkait OBOR sepanjang 2016, naik tiga kali lipat dari tahun sebelumnya dan akan berganda dalam tahun-tahun mendatang. Kesempatan semacam itu tidak didapatkan pebisnis AS dengan mundurnya AS dari kesepakatan perjanjian perdagangan bebas.
Di sisi lain ada kebutuhan besar global akan pembangunan infrastruktur. Hanya jaminan dan kemampuan serta kesediaan pemerintahan yang memungkinkan swasta berani memasuki bisnis berskala besar seperti ini, menurut Jim Barry, Kepala Divisi Infrastruktur dari BlackRock.
Zhang Ying, seorang profesor dari Erasmus University, Rotterdam School of Management, mengatakan, kebutuhan nyata akan infrastruktur global benar adanya dan ini yang sedang direncanakan China. ”Ekspansi pesat pinjaman infrastruktur didorong pertumbuhan cepat ekonomi China dan juga didorong oleh kebutuhan besar dari pasar lokal,” kata Zhang.
Misi OBOR ada
Lepas dari itu, apakah OBOR memiliki misi? Di situs Forum Ekonomi Dunia edisi 28 Juni 2016 disebutkan OBOR menandai strategi ekonomi dan obyektif China seiring dengan penurunan pertumbuhan di dalam negeri. Oleh sebab itu, China mendorong sumber pertumbuhan baru hingga di luar wilayahnya.
”Ini jauh dari sekadar tujuan ekonomi,” kata Jin Liqun, Presiden Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), dalam sebuah pertemuan di tahun 2016. ”Ini lebih dari isu strategis, geopolitik. Ini merupakan satu tujuan obyektif, perdamaian dan kemakmuran bagi rakyat.”
Pakar politik Ian Bremmer menambahkan, OBOR merupakan kesempatan untuk memanfaatkan kapasitas berlebih di China. Ini akan mendorong relasi komersial China. Di sisi lain ada kevakuman dan China mengisi. Tidak ada iniatif lain yang muncul terkait pembanguan infrastruktur global dan China muncul.
Bremmer menekankan bahwa dimensi strategis OBOR sangat penting. China tidak semata-mata memikirkan diri sendiri. Kepemimpinan China akan lebih pada stabilitas. Dunia jelas pasti menyambut ini dan membutuhkannya.
Benedikt Sobotka, Chief Executive Officer of Eurasian Resources Group di Luksemburg, mengatakan, ”Ini adalah sebuah strategi. Pemerintah China telah mengimplementasikan itu. China kembali ke jalur sutra yang pernah dinikmatinya.”
Zhang Bingjun, Corporate Chairman of Tianjin TEDA Construction Group di China, mengatakan, OBOR adalah sebuah kebutuhan nyata. Banyak korporasi China yang sedang mengeksplorasi kesempatan bisnis di pasar internasional.
”Peluncuran strategi ini didorong permintaan perusahaan China. Para pemimpin China memiliki kedalaman analisis soal China dan ekonomi dunia dengan pemahaman holistik soal negara-negara dan ini komplementer dengan keperluan negara-negara di kawasan.”
Pemimpin China memiliki visi jangka panjang, kata Li Daokui, Dekan Schwarzman College (Tsinghua University) di Beijing. Lewat OBOR, China mendorong aliran modal, barang, dan komoditas di kawasan.
”Jika rencana ini sukses, dalam beberapa dekade mendatang negara-negara di kawasan akan maju, efisien, dan secara sosial ekonomi mapan seperti Uni Eropa sekarang,” kata Li. ”Kawasan akan tersambungkan secara ekonomi dan lepas dari konflik. Hanya saja China harus saksama dengan investasi ini. Perlu ada perlindungan pada lingkungan, atau warga lokal akan menyesalinya.”
Namun, China memahami dan memiliki tanggung jawab soal itu, kata Jin. Proyek harus layak secara ekonomi dan lingkungan. Meski ada skeptisme dan kecurigaan serta kritik, China terus menjalankan proyek yang saling menguntungkan dan transparan.
”China adalah pengusul, pemula, dan pendorong. Hanya saja China tidak dapat melakukannya sendirian. China mengusulkan tetapi tidak mendikte. Ini adalah sebuah respons yang diperlukan bagi yang membutuhkan. Kebutuhan itu tidak direspons tetapi China datang untuk itu.”
Jangan lupa, Presiden Xi Jinping tidak menutup keterlibatan AS dan India dalam proyek OBOR. China tidak membentuk kelompok eksklusif. Jika AS dan India siap membangun dunia untuk tujuan bersama, dukungan dan masukan akan sangat bermanfaat bagi kestabilan dunia. Sayang sekali, India dan AS masih memilih sebagai oposisi.
Peringatan IMF
Namun, ada peringatan pada 15 April 2018 dari Direktur Dana Moneter Internasional Christine Lagarde. Dia mengingatkan potensi risiko berupa kenaikan utang di negara-negara penerima bantuan berupa pinjaman dari program OBOR.
Masalahnya bukti empiris memperlihatkan banyak negara gagal dalam proyek serupa itu di masa lalu. Aspek korupsi oleh para birokrat di banyak negara, termasuk penyebab pinjaman, akhirnya menjebak negara. Proyek-proyek tidak jalan dan tidak menghasilkan dan negara terlilit utang.
Lagarde mengatakan, OBOR berperan menyediakan dana tetapi juga bisa menyebabkan peningkatan utang. Maka dari itu, sukses proyek secara ekonomi akan memunculkan pendapatan untuk membayar utang. Hal seperti ini harus dipikirkan secara saksama.
Lagarde mengingatkan adanya negara-negara dengan tingkat utang yang tinggi. Negara-negara ini memang terlihat sangat antusias terlibat dalam OBOR. Semua ini menuntut pengelolaan saksama soal pembiayaan dan rencana pembayaran kembali pinjaman di kemudian hari.
The Center for Global Development, sebuah think tank berbasis di Washington, menyebutkan Pakistan, Djibouti, Maladewa, Laos, Mongolia, Montenegro, Tajikistan, dan Kirgistan masuk kategori tinggi soal risiko beban utang akibat penyalahgunaan bantuan pembangunan. Dengan kata lain, banyak bantuan menjadi sarana korupsi.
Di titik ini China harus memegang janjinya. Kelayakan proyek sejak pembahasan hingga implementasi serta kemampuan daya bayar proyek di kemudian tidak bisa diabaikan. (AFP/AP/REUTERS)