Danau Diatas yang Merana
Kamis (12/4/2018) pagi, sehabis sarapan pagi, peserta Jelajah Lima Danau sudah bersiap di halaman Novotel Bukittinggi. Hari itu, perjalanan bersepeda dilanjutkan menuju Alahan Panjang di tepi Danau Diatas, Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Di sana ada tiga danau. Salah satunya ialah Danau Diatas yang indah-menawan, tetapi kurang terurus.
Setelah melewati Jam Gadang, ikon Kota Bukittinggi, perjalanan melewati tanjakan halus sejauh sekitar 10 kilometer hingga di Koto Baru Padang Panjang. Meski kemampuan bervariasi, antara peserta yang paling depan dan paling belakang tidak berbeda jauh.
Hari itu, selain 46 peserta yang memulai perjalanan dari Padang, bergabung lagi 11 orang, tujuh di antaranya dari Bandung, Jawa Barat. Mereka menggunakan sepeda lipat. ”Kami tahu topografi di Sumatera Barat banyak tanjakan dan jalur yang dilewati dalam Jelajah Lima Danau ini juga cukup berat. Tetapi, kami ingin menikmati perjalanan bersepeda ini sehingga kami berani menggunakan sepeda lipat. Lagi pula lebih praktis,” kata Yudi G Noor, pesepeda dari Bandung.
Di jalan tanjakan halus ini, di sisi kiri tampak sisa-sisa rel kereta api. Di masa lalu, terutama di zaman kolonial Belanda, hampir semua kota di Sumatera Barat terhubung dengan kereta api. Termasuk di Sawahlunto yang merupakan sentra tambang batubara dan Solok sebagai salah satu pusat perkebunan teh di Sumatera.
Namun, setelah kemerdekaan, jaringan kereta api di Sumatera Barat perlahan-lahan ditutup. Tidak diketahui secara pasti dasar penyetopan itu. Namun, sejak tahun lalu berkembang informasi bahwa pemerintah pusat ingin menghidupkan kembali jalur kereta api hingga di Bukittinggi, menghubungkan Kayu Tanam di Padang Pariaman dan Padang Panjang. Bahkan, menurut rencana jalur ini akan dihidupkan hingga di Payakumbuh.
”Kami berharap rencana itu segera terwujud. Termasuk perlu dihidupkan pula kereta api penumpang yang layak sehingga bisa mengalihkan warga dari penggunaan kendaraan bermotor agar kemacetan di jalan raya bisa diatasi,” ujar Fathin Afif, warga Bukittinggi.
Danau Singkarak
Selepas Padang Panjang, pesepeda menempuh jalan turunan sekitar 40 kilometer diselingi jalan datar di beberapa lokasi hingga di Ombilin, tepi Danau Singkarak. Perjalanan di tepi danau itu pun hingga belasan kilometer masih di jalan raya beraspal mulus dan datar. Suhu udara pun mulai panas, tak ada pohon pelindung sehingga pesepeda harus menghadapi tiupan angin kencang dari samping kanan dan depan.
Tidak seperti Danau Maninjau yang banyak terisi keramba jaring apung, di Danau Singkarak jarang; hanya sedikit usaha budidaya ikan. Tetapi, di bibir danau tampak cukup banyak bangunan rumah tinggal dan tempat usaha. Tidak tertutup kemungkinan limbah rumah tangga banyak yang dibuang ke Danau Singkarak.
Di ujung Danau Singkarak, terutama menjelang wilayah Cupak, Kabupaten Solok, pesepeda menghadapi lagi jalan tanjakan. Jalannya dicor dan menjadi salah satu jalur utama bus dan truk dari dan menuju Kota Padang. Di kiri dan kanan jalan pun jarang pohon pelindung. Suhu udara siang itu pun sekitar 38 derajat celsius sehingga bersepeda saat itu terasa sungguh menyiksa.
Kendati demikian, sebagian besar pesepeda tetap menikmati perjalanan itu. Jika merasa terlalu panas, ada yang memilih menepi untuk istirahat sejenak, kemudian melanjutkan kembali. ”Saya mencoba menikmati perjalanan karena tekad saya harus bersepeda sampai di finis. Kalau capai, lebih baik istirahat sejenak kemudian gowes lagi daripada evakuasi,” ungkap Diah Kusumo Dewi, karyawan BNI di Jakarta.
Udara dingin
Setelah menempuh perjalanan sejauh lebih kurang 100 kilometer dari Bukitinggi, dengan beberapa kali melewati jalan turunan dan tanjakan, pesepeda pun memasuki wilayah Lubuk Selasih yang berada pada sekitar 500 meter di atas permukaan laut. Saat itu sekitar pukul 15.40.
Sekitar 1 kilometer di depannya mulai tampak hamparan perkebunan teh yang sangat luas yang menutupi perbukitan sejauh puluhan kilometer hingga di Alahan Panjang. Perkebunan yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI itu merupakan penghasil daun teh terbesar di Sumatera Barat.
Sore itu tiba-tiba terjadi hujan yang cukup deras. Jalan menuju Alahan Panjang pun semakin menanjak, berkelok, dan masih sekitar 40 kilometer lagi. Di kiri dan kanan jalan penuh dengan hutan teh. Di kejauhan tampak pula Bukit Barisan membujur panjang. Sejumlah peserta mulai kelelahan dan tidak menyiapkan lampu senter pada sepeda masing-masing.
Saat hari mulai gelap, beberapa pesepeda memilih dievakuasi, sedangkan sebagian lagi tetap mengayuh. Semakin ke depan, suhu udara terasa bertambah dingin. Mereka tetap melaju. Suhu yang terus dingin tidak dipedulikan. Malah bertambah melaju hingga mencapai finisih di Alahan Panjang, tepatnya di kawasan Villa Danau Atas yang berada pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut.
“Bersepeda ke Alahan Panjang ini cukup menguras tenaga. Tanjakannya panjang. Semakin ke depan, suhu udara semakin dingin. Mental kita benar-benar diuji. Tetapi, saya sangat menikmatinya, sehingga tidak terlalu melelahkan,” ujar Sheilendra, lelaki asal India yang selama ini bekerja di Jakarta.
Alahan Panjang berada pada ketinggian 1.400-1.600 meter di atas permukaan laut, tepatnya di lereng bagian timur kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Curah hujan di Alahan Panjang pun tergolong tinggi, 212 hari per tahun. Suhu udara pada siang hari sekitar 22 derajat Celcius. Malam hari suhu sekitar belasan, bahkan pada bulan tertentu bisa di bawah 10 derajat celcius. Itu sebabnya Alahan Panjang termasuk daerah yang paling dingin di Sumatera Barat.
https://kompas.id/baca/bebas-akses/2018/05/07/bersepeda-menikmati-bukit-barisan/
Alahan Panjang juga termasuk sentra tanaman hortikultura, seperti bawang merah, kentang, cabai dan kol. Hasil pertanian itu dijual ke Padang, Bukit Tinggi, Payakumbuh, Pekanbaru, hingga ke Pulau Jawa.
Danau kembar
Yang tidak kalah menarik adalah di Alahan Panjang terdapat tiga danau, yakni Danau Diatas, Danau Dibawah dan Danau Talang. Danau Diatas dan Danau Dibawah letaknya berdekatan. Uniknya Danau Diatas terletak di bawah Bukit Barisan, dan Danau Dibawah berada di atas Bukit Barisan. Namun yang paling sering dijadikan tempat berwisata adalah Danau Diatas, sebab lebih mudah diakses. Danau Dibawah agak curam dan konon lebih angker.
Akan tetapi, pengelolaan Villa Danau Atas ini masih mengabaikan persediaan air bersih. Terbukti, saat peserta Jelajah Lima Danau tiba di lokasi itu tidak tersedia air bersih. Beberapa saat kemudian pengelola menyuplai air menggunakan dua unit mobil tangki, tetapi tak menyelesaikan masalah. Air yang disuplai itu sangat keruh.
“Kami sebetulnya sudah menyiapkan air pada setiap villa, setelah dipastikan peserta Jelajah lima danau mau menginap. Tetapi, tiba-tiba ada gangguan sehingga tidak tersuplai ke villa masing-masing. Kami mohon maaf atas masalah ini,”jelas Firda Oktavia, pengelola Villa Danau Atas.
Arief F Rachman, pesepeda yang juga dosen Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti menyesalkan pengelolaan Danau Diatas yang sangat minimalis. Panorama danau itu sangat menarik. Ada hutan pinus, berudara sejuk dan memiliki air yang bening serta memungkinkan orang masuk ke danau, merupakan potensi yang amat menarik. Jika disentuh dengan kreativitas dan inovasi, bakal mampu mendatangkan banyak wisatawan domestik dan mancanegara.
Namun, sejauh ini pengelolaannya masih setengah hati. “Visi, misi dan wawasan dalam pengelolaan perlu dibenahi total jika menginginkan sebagai daerah tujuan wisata. Kalau pemda serius mau investasi, maka lakukanlah yang terbaik. Hotel atau penginapan pun dikelola secara profesional. Tanpa itu, potensi di Alahan Panjang dan sekitarnya akan tetap tertinggal dalam sector pariwisata. Danau Diatas dan Danau Dibawah pun akan terus merana,” ujar Arief. (Bersambung)