Menagih Ingatan Kolektif Bangsa
Spanduk dan bendera Merah Putih dikibarkan saat momen-momen penting perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Namun, sampai saat ini, belum ada peringatan formal dari negara terhadap peristiwa reformasi 1998. Padahal, peristiwa saat itu juga menjadi bagian penting dari perjalanan Indonesia. Wajah Indonesia saat ini juga dipengaruhi peristiwa 1998.
Di tengah minimnya perhatian negara, ingatan sosial terhadap reformasi 1998 tetap dipelihara oleh sejumlah kalangan, seperti perguruan tinggi, dengan menyelenggarakan upacara, membuat monumen, atau tugu peringatan.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Hubungan Masyarakat Universitas Trisakti Rully Besari Budiyanti mengatakan, setiap 12 Mei, Kepresidenan Mahasiswa selalu menggelar acara peringatan, baik melalui renungan semalam sebelumnya maupun upacara saat hari-H.
Di tengah minimnya perhatian negara, ingatan sosial terhadap reformasi 1998 tetap dipelihara oleh sejumlah kalangan, seperti perguruan tinggi, dengan menyelenggarakan upacara, membuat monumen, atau tugu peringatan.
Acara ini sedikit banyak membangun ingatan individu. Adit Rasyid (22), mahasiswa semester VI Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti, masih berumur dua tahun ketika reformasi terjadi tahun 1998. Namun, ia paham bahwa kampusnya disebut ”Kampus Reformasi”.
Aryo Salomo, mahasiswa semester IV Program Diploma IV Jurusan Ilmu Keuangan Fakultas Ilmu Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti, menambahkan, setiap mahasiswa pernah mendapatkan penjelasan mengenai tragedi itu saat pelatihan pembelajar sukses bagi mahasiswa baru (PPSMB). Bahkan, setiap mahasiswa baru juga diajak ke Museum Tragedi 12 Mei Trisakti yang terletak di dalam kampus. Oktober 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun Tugu 12 Mei di depan kampus Trisakti.
Selain Museum Tragedi 12 Mei di dalam kampus Universitas Trisakti, Pemprov DKI juga menamai dua halte bus transjakarta di Grogol dengan nama Halte 12 Mei Reformasi. Namun, Februari lalu pernah terjadi kehebohan di Trisakti karena tiba-tiba kata-kata ”12 Mei Reformasi” hilang. Setelah diperjuangkan pihak kampus, nama itu kembali lagi.
Di kampus Universitas Airlangga, Surabaya, sejak 2005, Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) berusaha mendirikan monumen bingkai kosong yang dipegang perempuan dan laki-laki. Monumen ini untuk memperingati dua mahasiswa FISIP Unair yang hilang dalam perjuangan reformasi, yaitu Herman Hendrawan dan Bimo Petrus.
”Ada resistensi dari birokrasi kampus,” kata Dandik Katjasungkana dari Ikohi yang juga teman sekelas Herman.
Memudar
Ingatan kolektif masyarakat pun memudar. Demikian juga dengan ingatan individu. Adit Rasyid, misalnya, hafal nama mahasiswa yang gugur dalam peristiwa 12 Mei 1998 di kampus Trisakti. Namun, ia tidak tahu apa yang diperjuangkan mereka. Aryo Salomo juga hanya ingat samar-samar.
”Memang tidak ada upaya pemerintah untuk menempatkan reformasi 1998 ini sebagai titik penting. Orang-orang yang berkuasa saat ini bisa dibilang banyak yang asalnya juga dari Orde Baru,” kata Haris Azhar, mantan Koordinator Kontras.
Tidak jauh dari Trisakti ada bangunan Plaza Slipi Jaya. Tahun 1998 terjadi penjarahan di mal ini yang berujung perusakan dan pembakaran oleh segelintir orang tidak dikenal. Peristiwa itu terjadi bersamaan dengan maraknya demonstrasi di Trisakti sehingga mahasiswa tidak bisa keluar kampus.
Hari ini, Plaza Slipi Jaya menjadi salah satu tempat nongkrong warga. Salah seorang pengunjung, Amalia Nurul (34), mengatakan, dirinya termasuk lumayan sering datang ke Plaza Slipi Jaya. Dalam seminggu, ia bisa dua atau tiga kali ke pusat perbelanjaan itu untuk berkumpul dengan teman-temannya. Namun, ia tak tahu pada 1998 tempat itu pernah terbakar.
”Saya kaget, malah baru tahu ini pernah kebakar dan sampai penjarahan,” ujar Amalia.
Hal senada dikatakan pengunjung lain asal Tomang, Jakarta Barat, Mardian Susanto (39). Saat peristiwa Mei 1998 bergejolak, dia sedang berkuliah di Bandung sehingga tidak begitu mengikuti isu di Jakarta.
”Saya tahu saja Jakarta ramai penjarahan, tetapi tidak tahu detail tokonya mana saja,” ujar pria yang biasa dipanggil Dian ini.
Hilangnya ingatan kolektif tentang peristiwa 1998 juga terjadi di Mal Citra Klender, yang dulu bernama Plaza Sentral Klender/Yogya Plaza Klender. Tempat ini juga dijarah dan terbakar. Tim Forensik FKUI-RSCM memastikan jumlah korban tewas sebanyak 90 orang. (Kompas, 18 Mei 1998)
Yanto (47), salah satu pengunjung, mengaku tahu bahwa Mal Citra Klender pernah terbakar. Namun, ia tidak tahu kalau ternyata saat itu terjadi juga penjarahan besar-besaran, bahkan hingga memakan puluhan korban. Sahroni (40), salah satu petugas satpam Mal Citra Klender, menuturkan, sisa-sisa kebakaran sudah tidak ada. Bangunan mal telah direnovasi sekitar dua tahun setelah kebakaran.
”Saya tahu saat itu rusuh, tetapi tidak tahu kenapa sampai bisa rusuh, apalagi sampai ada puluhan yang tewas terbakar di dalam,” ujar Yanto.
Ingatan akan reformasi penting karena sebuah bangsa dibentuk oleh pengalamannya akan peristiwa. Pemaknaan akan sejarah dilakukan berdasarkan ingatan, baik yang diwariskan maupun yang ditafsirkan berdasarkan pengalaman hari ini.
Ingatan akan reformasi penting karena sebuah bangsa dibentuk oleh pengalamannya akan peristiwa. Pemaknaan akan sejarah dilakukan berdasarkan ingatan, baik yang diwariskan maupun yang ditafsirkan berdasarkan pengalaman hari ini.
Selama 20 tahun, seperti tak ada upaya serius untuk mengingat bahwa pada 1998 pernah ada upaya serius dari rakyat untuk menjadikan Indonesia antara lain bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta membuat negara lebih berpihak kepada rakyat.
Akhirnya, yang kini terjadi adalah oknum DPR dan pemerintah bertransaksi menghasilkan korupsi KTP elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun, TKI diperas, dan berbagai kasus korupsi lainnya.