KLHK Diminta Tinjau Ulang Status Gunung Tumpang Pitu
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 30 orang perwakilan warga Desa Sumberagung, Pesanggaran, Banyuwangi berunjuk rasa di depan gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta Pusat, Selasa (17/7/2018). Mereka menuntut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengkaji status Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu yang kini berubah menjadi kawasan pertambangan.
Aktivitas pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dinilai warga telah memicu krisis sosial-ekologis. Kepala Advokasi Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi) Ahmad Afandi mengatakan, aktivitas pertambangan di Gunung Tumpang Pitu juga memicu penurunan pendapatan ekonomi warga Sumberagung.
Mayoritas warga Sumberagung yang berprofesi sebagai nelayan dan petani merasakan dampak kerusakan lingkungan tersebut. Lingkungan yang rusak membuat mata pencaharian mereka hilang. “Kalau melaut sekarang harus jauh ke tengah karena ikan sudah tidak ada di pinggir lagi,” kata Perwakilan Nelayan Desa Sumberagung Ahmad Sudarsono.
Limbah pertambangan emas yang berupa lumpur dituding warga telah mencemari pantai Pulau Merah. Akibatnya kerang dan ikan yang dulu menjadi sumber pendapatan warga kini tak bisa lagi didapat dengan mudah. “Beberapa kawan bahkan sampai jual rantang dan pagar rumah karena tak bisa mendapat uang dari melaut,” ujar Ahmad.
Adapun Perwakilan Petani Desa Sumberagung Heri Budiawan mengatakan, banjir lumpur yang terjadi pada tahun 2016 merusak sebagian lahan pertanian warga. Monyet, kijang, dan binatang hutan lainnya juga merambah lahan pertanian warga karena rusaknya habitat mereka di hutan Gunung Tumpang Pitu.
Selain itu, aktivitas pertambangan yang menggunduli Gunung Tumpang Pitu dinilai warga membuat persediaan air di desa mereka menyusut drastis. Pada musi kemarau ini, sebagian besar warga kesulitan mendapat air bersih karena sumur mereka kering. “Waktu musim penghujan air menjadi keruh dan berasa asam,” kata Perwakilan Perempuan Desa Sumber Agung Nuraeni.
Tuntutan lain
Setelah melakukan orasi selama satu jam, 10 perwakilan warga diterima oleh Kepala Sub Direktorat Penanganan Pengaduan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Fahrurrazi. Dalam audiensi itu, perwakilan warga juga mendesak KLHK agar mendorong Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) agar mencabut izin kegiatan tambang di Gunung Tumpang Pitu.
“Hutan adalah emas yang paling berharga bagi kami,” kata juru bicara warga Zainal Arifin. Ia menyatakan, masyarakat Gunung Tumpang Pitu menolak kegiatan pertambangan karena merusak alam yang mereka anggap sebagai warisan paling berharga
Di samping itu, perwakilan warga juga menyatakan niatnya untuk mendesak penghentian proses hukum terhadap 14 warga Sumberagung dan satu aktivis lingkungan yang melakukan aksi tolak tambang di wilayah Gunung Tumpang Pitu. Perwakilan warga menilai tak seharusnya mereka dihukum karena berusaha menyelamatkan lingkungan tempat mereka lahir.
Afandi mengatakan, sejak kurun waktu 2015-2017 terjadi lima kasus hukum yang menjerat 15 warga dari Desa Sumberagung dan sekitarnya. Kasus terakhir terjadi pada Mei 2017 yang menjerat seorang aktivis yang selama ini menjadi pengacara warga. Ia dituduh melakukan pencemaran nama baik kedua perusahaan tambang yang beroprasi di Gunung Tumpang Pitu.