Manfaatkan Asian Games untuk Membangun Peradaban Kota
Oleh
Neli Triana
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Momentum Asian Game 2018 menjadi salah satu kesempatan bagi pemerintah untuk memperbaiki peradaban kota. Keberlanjutan pembangunan setelah momen tersebut yang kemudian akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat.
Menurut pengamat tata kota Universitas Trisakti Nirwono Joga, keberlanjutan pembangunan setelah momentum selalu menjadi masalah yang belum mampu diatasi. "Berbicara soal momentum, ini harusnya grafik pembangunan naik, tapi dari pengalaman sebelum-sebelumnya grafiknya selalu turun," kata Nirwono pada sebuah acara bedah buku bertajuk "Membangun Peradaban Kota" Rabu (15/8/2018) di Jakarta.
Nirwono mengatakan sebaiknya grafik pembangunan ditingkatkan, atau paling tidak dijaga stabil. Ini merupakan langkah penting untuk menyongsong momen selanjutnya. Jika tidak berlanjut maka apa yang sudah dibangun bisa sia-sia.
Pekerjaan rumah untuk menjaga keberlanjutan pembangunan menurut Nirwono tidak hanya menjadi tanggungjawab pemerintah semata, melainkan tanggung jawab setiap elemen masyarakat.
Pembangunan jelang Asian Game 2018 dikatakan Kepala Biro Komunikasi Publik Sekretaris Jendral Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Krisno Yuwono juga bertujuan untuk menghidupkan kembali kegiatan aktvitas ekonomi dan sosial masyarakat sekitar.
"Ini adalah momentum yang baik untuk merevitalisasi kawasan Gelora Bung Karno dan sekitarnya," kata dia.
Dalam rangka Asian Games 2018, Direktorat Jendral Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menghabiskan sekitar 3,6 Triliun untuk mervitalisasi kawasan serta sarana dan prasarana penunjang. "Harapannya semua itu dirawat dan dijaga bersama, bahkan setelah Asian Games 2018 selesai," tutur Krisno.
Trotoar
Krisno lebih lanjut menjelaskan bahwa aksestabilitas masyarakat juga menjadi salah satu prioritas pemerintah. Perwujudan dari rencana itu adalah pembangunan trotoar sepanjang Jalan Sudirman - Thamrin.
Tak hanya dibuat lebih lebar, fasilitas penunjang seperti jalur khusus tunanetra, area hijau, kursi-kursi, halte, lampu taman, penanda dan lain-lain juga menambah kenyamanan bagi pejalan kaki.
Salah satu yang menurut Nirwono masih menjadi masalah adalah bagaimana membiasakan orang untuk berjalan kaki. Pasalnya di Indonesia pejalan kaki masih dianggap sebagai kasta terendah.
"Fasilitas yang ada ini menjadi bertolak belakang dengan budaya kita," tambah dia.
Saat ini yang terpenting adalah mengubah pola pikir masyarakat agar mau berjalan kaki, sehingga pembangunan trotoar tidak sia-sia.
Selain mengubah pola pikir, aksestabilitas juga harus diperhatikan dalam melakukan pembangunan. Selama ini menurut Nirwono fasilitas yang ada belum ramah anak, lansia, ibu hamil dan disabilitas.
"Pada saat bersamaan kita dorong orang untuk jalan kaki, untuk naik kendaraan umum, tapi di sisi lain keberpihakan kepada pejalan kaki belum diperhatikan," ujarnya. Menurutnya pembanguna peradaban kota yang manusiswi itu justru diukur dari kenyamanan pejalan kaki di kota tersebut. (Kristi Dwi Utami)