JAKARTA, KOMPAS – Budaya lokal Indonesia perlu dimasukkan ke dalam suatu karya novel fiksi atau sastra. Hal itu sebagai upaya untuk mengenalkan keberagaman budaya dan meningkatkan kecintaan terhadap Indonesia lewat tulisan.
Penulis buku Friendzone Alnira mengatakan, salah satu cara supaya budaya lokal tetap terjaga adalah menuangkannya ke dalam karya fiksi. Pembaca dapat menikmati novel sekaligus memperoleh pengetahuan tentang budaya dalam buku tersebut.
“Suatu buku tidak hanya menghibur pembaca, tapi juga mengandung nilai dan manfaat. Misalnya, nilai-nilai budaya suatu daerah yang diangkat ke dalamnya,” kata Alnira seusai acara diskusi “Indonesia Negeri Penuh Inspirasi” di Jakarta, Jumat (14/9/2018).
Dalam novelnya, Alnira menyisipkan budaya Palembang yang meliputi bahasa daerah, latar tempat, dan makanan khas. Ia dibesarkan dalam keluarga yang kental budaya Palembang, oleh sebab itu ia mampu menggambarkan nuansa budaya kota itu dalam tulisannya.
Menurut budayawan yang sekaligus penulis buku Ronggeng Dukuh Paruk Ahmad Tohari, budaya lokal yang ditampilkan dalam sebuah karya menjadi sangat penting karena dapat memperkuat cerita dan karakter. Hal ini akan mempengaruhi kedekatan pembaca terhadap asal budaya tersebut.
[caption id="attachment_8247302" align="alignnone" width="720"] Penulis buku "Candi Nuswantara", Victoria Tunggono.[/caption]
Selain Alnira, beberapa penulis Indonesia juga turut memasukkan unsur budaya Indonesia ke dalam novelnya. Misalnya, Victoria Tunggono dalam karya Trilogi Buku Nuswantara, buku Artie Ahmad yang berjudul Sunyi di Dada Sumirah, dan Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie dalam buku Jakarta Sebelum Pagi.
Dalam penulisan, setiap penulis melakukan riset terlebih dahulu. Riset ini perlu dilakukan agar keakuratan budaya lokal yang disisipkan tidak menyesatkan pembaca.
“Riset budaya lokal melalui beberapa kitab kuno yang menjadi referensi. Selain itu, saya juga datang ke lokasi latar tempat novel saya dan berbicara dengan penduduk lokal,” ujar Victoria.
Victoria setidaknya membutuhkan waktu satu setengah tahun untuk melakukan riset literatur dan lapangan. Menurutnya, riset itu penting dilakukan agar pembaca dapat ikut merasakan bagaimana situasi dan dialog khas para karakter daerah.
Adapun Artie menyinggung tentang budaya minum teh poci dalam novel Sunyi di Dada Sumirah. Jika di Jepang ada budaya minum teh, maka di Indonesia pun ada, lewat teh poci yang cara meminumnya pun khusus. Teh poci diminum menggunakan gula batu, tapi tidak diaduk menggunakan sendok, melainkan cangkir poci digoyang-goyang agar gula batu larut.
“Kekhasan dari cara meminum itu, saya rasa lebih menarik ketimbang hanya sekedar meminum teh dengan cara biasa,” ujar Artie.
Sementara itu Ziggy mengatakan, budaya lokal yang dimasukkan ke dalam karyanya adalah tentang keramahan warga Indonesia. Budaya lokal yang ia maksud adalah sesuatu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Adanya unsur budaya Indonesia juga akan menginspirasi pembaca untuk merasakan budaya lokal secara langsung. Seperti Nosa (18), pembaca buku asal Kebumen, mengungkapkan, novel yang menampilkan tentang budaya lokal membuatnya ingin menjelajahi lokasi novel tersebut.
Menurut Tohari, pembaca yang memiliki kedekatan budaya dalam novel akan senang karena menampilkan diri mereka sendiri. Sedangkan bagi pembaca yang baru mengenal budaya itu, tentu menambah khazanah pengetahuan tentang Indonesia.
“Kelokalan sangat penting bagi orang yang ingin tahu suatu daerah dan bisa mengajak pembaca untuk mendatangi asal kelokalan itu,” pungkas Tohari.