Membuktikan Etos Kerja di Tanah Suci
Dulu orang-orang dari Kepulauan Nusantara berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Belakangan, tujuan itu melebar ke ranah perniagaan yang mensyaratkan etos kerja serta kecermatan menangkap peluang dan menjaga mutu.
Kisah orang-orang Indonesia yang bermukim di Mekkah dan sekitarnya tak selamanya miris seperti yang kerap menerpa pekerja migran. Sebagian bahkan terpandang melalui kegiatan usaha yang bemaslahat bagi jemaah haji dan umrah. Bahkan, mereka mempekerjakan sesama mukimin (sebutan untuk warga asal Indonesia yang menetap di Arab Saudi).
Sebutlah sejumlah nama yang sohor seperti Muhammad Yasir Hasyim (49) melalui usaha jasa boga Al-Ahmadi; Sami Alkathiri (55) dengan usaha impor bahan pangan; serta Fawzi Bawazir (76) lewat usaha perdagangan aneka komoditas. Cinta Tanah Air tetap ditunjukkan dengan mendorong penggunaan produk asal Indonesia.
Saat ditemui di kantor usaha katering berlabel Al-Ahmadi di kawasan Batha Quraish, Mekkah, Arab Saudi, Jumat (14/9/2018) sore, Yasir tengah mengontrol peralatan kerja dapur dan gudang kering. Aroma menu makanan Nusantara meruap dari salah satu ruang dari gedung berlantai tiga itu.
Sebagian dari 200 pekerja baru saja selesai menuntaskan rangkaian kegiatan penyediaan makanan bagi jemaah haji, mulai dari belanja bahan di pasar, memasak, mengemas, hingga mengantarkannya ke hotel pemondokan jemaah. “Ini baru saja kita antar sekitar seribu porsi makan malam ke hotel pemondokan jemaah,” ujar pria kelahiran Surabaya berdarah Bugis-Makassar itu.
Al-Ahmadi termasuk salah satu dari 36 perusahan jasa boga yang dikontrak Kementerian Agama RI untuk memenuhi kebutuhan konsumsi bagi 204.000 jemaah reguler asal Indonesia. Pada musim haji 2018 ini, Al-Ahmadi melayani sekitar 5.800 jemaah haji untuk jemaah Indonesia, khususnya masa wukuf dan mabit di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Perusahaan ini juga melayani ribuan jemaah haji asal Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura. Bahkan, katering untuk 11.000 jemaah asal Eropa pun dipasoknya.
Orderan terus mengalir
Saat masih sibuk-sibuknya melayani jemaah pada musim haji 2018, sudah datang lagi orderan untuk jemaah umrah awal bulan September ini. Pantas saja kesibukan di kantor dan dapur itu tak kenal jeda. Sore hari, sebagian pekerja belanja bahan di pasar. Malam hari, kegiatan masak sudah dimulai untuk persiapan sarapan pagi. Dinihari jelang subuh, pengemasan dengan alumunium foil sudah harus dilakukan.
Saat fajar menyingsing, pengantaran dengan mobil boks sudah berjalan ke hotel agar sarapan jemaah tidak kesiangan. Hanya jeda sebentar, kesibukan di dapur kembali menggeliat untuk menyiapkan menu makan siang. Begitulah terus agar kebutuhan makan tiga kali sehari para jemaah terpenuhi.
Usaha katering tergolong sensitif dan mensyaratkan presisi dalam sejumlah hal seperti kebersihan, rasa, tampilan, kemasan, dan ketepatan waktu antaran. Ceroboh sedikit saja, bisa fatal bagi kelangsungan usaha. Karena itu, pekerja yang direkrut Al-Ahmadi dari aneka bangsa, seperti Indonesia, Malaysia, Myanmar, Sudan, Yaman, India, dan Bangladesh, harus paham benar hal itu.
“Soal rasa kita harus siap-siap dikomplain jemaah Indonesia yang beraneka ragam selera. Ada yang suka pedas, tapi yang lain ndak suka. Ada yang ingin asin, tapi yang lain maunya manis. Kita harus pandai-pandai menghadapi keberagaman selera itu,” kata Abu Bakar Said, Manajer Eksekutif Al-Ahmadi.
Tak kalah pentingnya, menurut Bakar, cuaca panas di Arab Saudi memicu risiko makanan cepat basi dari kondisi normal. Petugas katering harus sigap mengantar makanan dari dapur ke hotel dalam kondisi masih panas. Lalu petugas di hotel segera cekatan untuk menyalurkannya ke kamar-kamar.
Bakar adalah orang Malaysia yang sekaligus merupakan salah satu mitra patungan usaha Yasir. Satu mitra lainnya adalah orang Arab Saudi. Bakar sendiri sudah bermitra dengan orangtua Yasir, Haji Muhammad Yahya, sejak tahun 1990-an, saat mengurusi jemaah haji dan umrah Tiga Utama.
Merintis dari bawah
Usaha ini dirintis sejak awal tahun 2000-an. Kegiatannya bermula dari sebuah bangunan tua di kawasan Jarwal, dekat Masijdil Haram, Mekkah. Pangsanya jemaah haji pada bulan tertentu dan jemaah umrah sepanjang tahun. “Setiap jemaah tentu ingin beribadah dengan tenang. Orang bisa tenang kalau perut kenyang. Inilah pasar yang tersedia sepanjang tahun,” kata Yasir.
Awalnya hanya coba-coba. Alhamdulillah, ternyata berkembang seperti ini.
Seiring derasnya pelanggan, tempat di Jarwal pun sudah tak memadai lagi. Maka, tahun 2003 tempat usaha ini hijrah ke pusat perniagaan baru di Mekkah, yakni di Batha Quraish. “Awalnya hanya coba-coba. Alhamdulillah, ternyata berkembang seperti ini,” ujar Yasir, yang beristrikan Kendarwangi (48), asal Sumatera Barat.
Belakangan, usaha ini membuka cabang di Madinah untuk melayani jemaah di sana. Tiga pekan lalu, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sempat mengunjungi dapurnya di Madinah yang berdiri di atas lahan 3.000 meter persegi.
Usaha menjanjikan
Konsul Jenderal RI Jeddah Mohamad Hery Saripuddin mencatat tak kurang dari 1,2 juta warga Indonesia per tahun mengalir ke Mekkah dan Madinah untuk berhaji dan berumrah. Angka itu menjanjikan bagi dunia usaha, termasuk jasa boga. Apalagi, terdapat sekitar 400.000 warga asal Indonesia yang bermukim di Mekkah, Madinah, dan sekitarnya, sebagai pekerja maupun pelajar.
Sami Alkathiri (55), warga keturunan Indonesia-Arab, cukup jeli. Ia intens mendatangkan bahan-bahan pokok dan aneka bumbu masak produk Indonesia. Sebuah toko swalayan di Kakiyah, Mekkah, kini menjadi mitra utamanya untuk melariskan produk Indonesia. Toko grosiran bernama Puncak Sumatra itu ramai pengunjung sepanjang hari. Ibu-ibu rumah tangga asal Indonesia pun menjadi pelanggannya. Contohnya, Ny Maesa (35), mukimin asal Sampang-Madura, Jawa Timur.
Kecuali beras, mayoritas barang yang dijual toko itu buatan Indonesia, mencakup bumbu masak, minyak goreng, saos, tepung, kecap, gula merah, tepung, mi, serta minuman dan makanan ringan. Krupuk khas Jawa Timuran dan Jawa Tengah pun tersedia di rak.
Terobosan ini tak lepas dari jiwa nasionalisme Abdul Halim (44), warga asal Sampang, Madura, Jawa Timur, yang dipercaya Alkathiri untuk mengelola sektor ritel. Halim sudah 20 tahun bermukim di Arab Saudi dan sudah dua kali pindah perusahaan. Namun keterikatan batinnya dengan Indonesia tak putus. “Saya bangga jika produk Indonesia mendunia, terutama di Arab Saudi,” kata Halim.
Misinya tak bertepuk sebelah tangan. Orang Arab Saudi suka produk bahan makanan dari Indonesia. “Selain bersih, juga kehalalannya terjamin,” kata Adel Qasem Al-Shiray, pengelola toko Puncak Sumatra.
Fawzi Bawazir (76) tak mau ketinggalan. Warga Arab Saudi asal Pekalongan, Jawa Tengah, ini terus mengepakkan sayap bisnisnya dengan mengimpor makanan olahan dan bumbu masak dari Indonesia. Bawazir ingin orang Arab menyukai produk makanan dari Indonesia. Tahun 1990-an, Bawazir sampai blusukan ke sekolah-sekolah dan kampung-kampung untuk mengenalkan makanan asal Indonesia.
“Waktu itu kita coba kenalkan mi ke anak-anak. Alhamdulillah, hampir setiap warga Saudi sudah doyan makan mi buatan Indonesia,” kata Bawazir saat ditemui di kantornya di Jeddah, dua pekan lalu.
Anak saya pun saya dorong untuk mencari istri dari Indonesia.
Meski sudah puluhan tahun menetap di Jeddah, hati Bawazir tetap lekat dengan Indonesia. Pada masa liburan, para karyawannya didorong untuk berlibur di Indonesia. Interaksi langsung orang-orang Arab Saudi terhadap masyarakat Nusantara diharapkan membangun pandangan positif terhadap orang Indonesia, termasuk soal etos kerja. Mereka bisa melihat sendiri betapa cakap dan getolnya orang Indonesia bekerja.
“Anak saya pun saya dorong untuk mencari istri dari Indonesia,” tutur Bawazir berkelakar seraya mengenalkan seorang putranya yang baru saja lulus dari universitas.
Transformasi
Pengasuh pondok pesantren Seblak, Jombang, Halim Mahfudz, menilai terjadi transformasi sosial-budaya atas kehadiran warga Indonesia di Arab Saudi. Semula, orang-orang dari Nusantara berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan belajar ilmu agama. Belakangan, terjadi pengembangan aktivitas yang menyentuh perniagaan.
“Naluri bisnis tumbuh secara alami, terlebih manajemen haji dan umrah memang semakin apik. Perlu hitung-hitungan dalam segala hal, mulai dari transportasi, penginapan, sampai katering. Aspek itu butuh usaha dan profesionalisme,” kata Halim.
Bahkan, menurut Halim, fenomena ini sudah muncul sejak lama. Dia menontohkan, kakeknya yang bernama KH Adlan Ali (alm) saat naik haji tahun 1960-an dengan kapal laut, pulang membawa membawa karpet buatan Timur Tengah. Barang-barang bawaan itu dijual di Tanah Air, lalu sebagian hasilnya untuk dipakai untuk berangkat lagi ke Tanah Suci.
Tentang kiprah kaum intelektual Nusantara di Haramain (Tanah Suci Mekkah dan Madinah) diterangkan dengan gamblang oleh Azyumardi Azra dalam buku “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” (Mizan, 1994). Pada masa itu, gelar “syekh” terhadap cendekiawan yang berguru dan bermukim di Mekkah identik dengan asal–usulnya. Misalnya, Al-Bantani (dari Banten), Al-Maqassari (Makassar), Al-Sinkili (Aceh), Al-Minangkabawi (Minangkabau), Al-Palimbani (Palembang), dan Al-Banjari (Banjarmasin).
Salah satu keturunan diaspora Nusantara itu adalah Syekh Mohammad Indragiri yang kini menjabat Ketua Muassasah (badan pelayanan haji) untuk Asia Tenggara.