Kesaksian Wartawan ”Kompas” Saat Diguncang Gempa di Palu
Jumat (28/9/2018) sore, saat gempa besar terjadi sekitar pukul 18.00 Wita, saya sebetulnya sudah menyelesaikan tulisan tentang gempa sebelumnya bermagnitudo 5,9. Gempa itu terjadi pukul 14.59 Wita dengan pusat gempa di Kabupaten Donggala Utara, Sulawesi Tengah, atau tepatnya 61 kilometer arah utara Palu.
Setelah mengetik, saya mengepak barang-barang di rumah saya di Kelurahan Petobo, Palu Selatan, Kota Palu. Meski saya asli dari Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, harian Kompas menempatkan saya di Palu sejak Januari 2014.
Ketika mulai bekerja di Kompas, kami memang sepakat untuk ditempatkan di mana saja di muka bumi ini. Tidak heran bila teman seangkatan saya juga ditempatkan di sejumlah kota di Indonesia.
Kenapa saya mengepak barang? Saya berniat pergi ke arah Donggala untuk melihat dampak gempa beberapa jam sebelumnya. Saya bahkan telah meminta keponakan untuk mengambil mobil sewa yang akan saya gunakan.
Tiba-tiba, saya merasa rumah seperti melenting. Tanah bergoyang cukup keras, naik-turun, dan mengayun. Dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), saya kemudian mengetahui telah terjadi gempa bumi berkekuatan M 7,4. Pusat gempa di kedalaman 11 kilometer dan berjarak 26 km utara Donggala. Gempa tepatnya terjadi pukul 18.02 Wita.
Namun, saat gempa terjadi, saya tentu tidak sempat lagi mengecek jam untuk mengetahui kapan terjadinya gempa. Karena sangat terkejut, tanpa pikir panjang saya langsung berlari keluar rumah tanpa membawa apa pun. Bahkan, saya juga tidak membawa telepon genggam.
Begitu di luar rumah, saya terus berlari menjauhi bangunan rumah. Saya juga berteriak mengajak tetangga-tetangga untuk lari secepat mungkin.
Karena sangat terkejut, tanpa pikir panjang saya langsung berlari keluar rumah.
Dari jarak sedikit jauh dan lokasi yang agak aman, saya mencoba menengok. Gempa yang berlangsung 5-7 detik itu ternyata membuat seluruh dinding tembok rumah tetangga roboh. Banyak bangunan lain pun roboh. Jalan raya berlapis aspal pun retak, bahkan pecah.
Beruntung, saya bisa selamat tidak terkena reruntuhan bangunan. Apalagi, saya sempat berlari saat ada rumah yang bergerak ke arah saya berdiri.
Suara gemuruh
Di luar rumah, selama beberapa menit saya berdiri. Namun, dari arah timur saya berdiri, terdengar gemuruh besar. Awalnya, saya dan beberapa tetangga tak terlalu peduli dan memperhatikan suara itu. Namun, suara gemuruh itu terdengar semakin dekat.
Walau demikian, lagi-lagi kami tidak terlalu peduli. Awalnya, saya mengira itu gemuruh air karena tak jauh dari tempat kami berdiri terdapat jaringan saluran irigasi.
Akan tetapi, suara gemuruh itu terdengar semakin mendekat. Bahkan, bersamaan dengan itu, terdengar pula gesekan seng dan tembok bangunan yang roboh. Tanah pun bergerak seolah seperti diaduk oleh mikser raksasa.
Ribuan rumah pun kini tampak satu demi satu tumbang dan tertelan tanah.
Tanpa banyak berpikir, saya langsung berlari ke jalan utama, yakni Jalan HM Soeharto. Kemudian, tanpa pula berpikir, saya dan beberapa orang lain berlari ke arah barat (bawah), sementara gemuruh dan gelombang tanah seperti terus mengejar dari belakang.
Jatuh tiga kali
Tiba di satu titik, saya kelelahan dan tak bisa berlari lebih kencang lagi. Saya bahkan sempat terjatuh sebanyak tiga kali dan gelombang tanah pun melewati titik saya berpijak.
Saya bahkan sempat terjatuh sebanyak tiga kali dan gelombang tanah pun melewati titik saya berpijak.
Beruntung, tanah tempat saya berpijak tak tenggelam ke dalam tanah.
Tanah-tanah itu terangkat menjadi lempengan-lempengan tanah. Lokasinya, di depan sebuah masjid yang sedang saya lintasi bersama sekitar 10 warga.
Setelah gempa usai, saya sempat berniat kembali ke rumah. Namun, situasinya tak memungkinkan lagi karena pergerakan tanah, belum lagi ada rumah atau bangunan yang berantakan terjungkir balik karena terkena gerakan gelombang tanah.
Saat bersamaan, saya melihat sebuah rumah terbakar di rute menuju rumah saya. Akhirnya, saya memilih terus berjalan menuju Jalan Dewi Sartika, salah satu jalan protokol di Palu. Namun, dari dalam tanah terlihat air yang mengalir keluar. Di Jalan Dewi Sartika, bahkan air mengalir cukup deras.
Sempat menolong
Saya bahkan berjalan dengan meraba-raba aspal yang terbongkar. Saya sempat menolong seorang ibu yang terjatuh dan kakinya masuk ke dalam tanah di antara bongkahan aspal dan beton.
Kemudian, saya berlari lagi menuju lokasi yang aman. Lokasinya, persis sebelum Rumah Sakit Ibu dan Anak Nusanapura. Di situ ternyata sudah berkumpul ribuan orang.
Untuk sejenak, saya duduk untuk menenangkan diri. Sebelumnya, saya sempat berpikir pasti akan mati. Namun, ternyata Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Saya selamat dengan cara ajaib.
Sebelumnya, saya sempat berpikir pasti akan mati.
Setelah tenang, saya lalu meminta bantuan seorang pengendara motor untuk mengantarkan saya ke rumah keluarga di belakang SMPN 6 Palu. Di sana, mereka sudah mengungsi di sebuah lapangan. Saya bergabung dengan mereka. Kami merasakan berkali-kali diguncang gempa susulan.
Sesaat setelah gempa besar, listrik dan jaringan telekomunikasi putus. Ribuan warga Kota Palu berlari dan mengungsi di lokasi yang aman dalam kegelapan. Jumat malam suasana sebagian besar Kota Palu gelap gulita dan hanya di beberapa lokasi lampu menyala.
Jumat sore, saat gempa terjadi, di Pantai Talise digelar Festival Palu Nomoni. Warga, terutama anak muda dan pengisi acara, pasti berkumpul di kawasan itu. Di Pantai Talise juga berdiri sejumlah kafe yang buka hingga malam hari.
Saya tak tahu persis suasana sore itu menyambut acara festival. Jarak dari Petobo menuju Pantai Talise kira-kira 9 kilometer. Ketika tsunami menghantam pesisir, saya memilih menjauhi pesisir. Dari Jumat malam hingga Sabtu (29/9/2018), banyak jenazah dievakuasi dari kawasan pantai.
Sabtu siang, saya ke Mal Tatura. Mal itu hancur. Tim evakuasi bekerja menyelamatkan korban yang terjebak di dalam mal.
Saya juga menyempatkan diri pergi melihat rumah di Petobo. Yang tampak di lingkungan permukiman saya hanya gundukan lumpur dan bongkahan bangunan. Rumah saya bahkan bergeser sekitar 300 meter dari lokasinya semula.
Bagaimana saya yakin kalau itu rumah saya? Di reruntuhan rumah itu, ditemukan sebuah kalender Kompas dan buku tebal berwarna kuning emas berjudul 50 Tahun Kompas. Melihat reruntuhan rumah itu, sungguh saya bersyukur masih dapat melanjutkan kehidupan.