Heru Prasetyo: Pasca-Bencana, Titik Balik Pembangunan Kota yang Lebih Baik
Gempa bumi dan tsunami bermagnitudo 7,4 yang terjadi di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018), dalam sekejap menghancurkan kehidupan masyarakat dan kerja keras pembangunan kota selama berpuluh-puluh tahun.
Tidak ada yang bisa memprediksi kapan bencana alam bisa datang ataupun siapa yang sepenuhnya bertanggung jawab atas musibah tersebut. Satu-satunya yang tersisa adalah pilihan untuk bangkit kembali memperbaiki dan membangun masyarakat dan daerah yang terdampak bencana.
Kompas melakukan wawancara eksklusif dengan Dewan Pembina Asia Pacific Alliance for Disaster Management (APADM) Indonesia Heru Prasetyo di Jakarta, Selasa (2/10/2018). Ia memiliki pengalaman sebagai ahli rekonstruksi di sejumlah wilayah terdampak bencana, di antaranya Haiti (2010), Myanmar (2008), Aceh (2005), Sri Lanka (2005), dan Jepang (1995).
Berikut petikan wawancara terkait pengalaman Heru Prasetyo dalam melakukan rekonstruksi.
Berapa lama sebaiknya rekonstruksi segera dilakukan?
Berbeda-beda karena tergantung dari daerah, dampak bencana, dan persiapan yang dibutuhkan. Rekonstruksi di Aceh dimulai sekitar enam bulan setelah bencana dengan masa pembangunan selama empat tahun pada 2005-2009. Rekonstruksi akibat bencana gempa bumi bermagnitudo 7,2 di Prefektur Hyogo, Jepang, pada 1995 dimulai setelah enam bulan. Rekonstruksi terdiri dari tiga tahun prioritas dan dilanjutkan selama 10 tahun.
Bagaimana sebaiknya rekonstruksi dilakukan?
Ada dua hal yang penting untuk diperhatikan dalam rekonstruksi, ingin kota seperti apa dan bagaimana prosesnya. Banyak pertanyaan yang akan muncul selama rekonstruksi dan itu semua akan merujuk pada perencanaan kota.
Pertama, yang harus dipikirkan adalah cita-cita yang diimpikan oleh masyarakat di wilayah tersebut. Apakah kota itu akan dibangun untuk memiliki masyarakat yang modern, tradisional, atau kombinasi keduanya? Apakah akan fokus ke industri atau agrikultur? Masyarakat harus ditanyakan apakah mereka masih menginginkan hal sama.
Yang kedua adalah terkait bagaimana dengan prosesnya. Pembangunan melibatkan tiga hal, yakni pembangunan fisik, sosial, dan lingkungan sekitar. Dari sisi fisik, pembangunan harus dijabarkan seperti apa yang diinginkan. Misalnya, rumah yang dibangun harus tahan gempa dan tsunami, tidak boleh lebih dari lima tingkat, serta jalan harus lebar agar tidak macet saat evakuasi bencana alam.
Dari sisi sosial, bangunan dan infrastruktur yang akan dibangun disesuaikan dengan desain sosial yang ada. Misalnya, di Prefektur Hyogo, Jepang, pada 1995, ada banyak orang tua. Mereka kemudian dipikirkan bagaimana agar tetap produktif setelah proses rekonstruksi selesai. Jadi, dibangunlah museum, toko suvenir, dan tempat wisata agar mereka bisa tetap bekerja.
Lalu, interaksi masyarakat dengan lingkungan. Contoh, kota yang tidak memiliki taman, akan dibangun taman. Kalau jalur lalu lintas memiliki terlalu banyak bundaran yang membuat macet, akan diperbaiki.
Apakah ada hal lain yang perlu diperhatikan dalam rekonstruksi?
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana rekonstruksi tersebut dilakukan agar berhasil. Rekonstruksi idealnya melibatkan seluruh pihak terkait, baik pemerintah, NGO (non-government organization), maupun masyarakat.
Sebagai contoh, pada masa rekonstruksi Sri Lanka pascatsunami 2004, masyarakat menyampaikan harapan agar dapat hidup damai. Namun, rekonstruksi di sana dilakukan tidak transparan dan inklusif sehingga justru menimbulkan kecemburuan yang memicu konflik. Ada pihak yang disuruh bergeser dari pantai dengan alasan takut tsunami, tetapi di situ kemudian akan dibangun hotel mewah.
Intinya, kebijakan rekonstruksi tidak boleh top-down. Saya tidak bisa memaksakan ide, tetapi harus mendengarkan masyarakat agar tetap adil. Manusia dikembalikan ke dalam status sedekat mungkin dengan kenyamanan hidup yang sebelumnya. Rekonstruksi yang kolaboratif diterapkan di Aceh.
Boleh diceritakan pengalaman melakukan perencanaan rekonstruksi yang kolaboratif?
Di Aceh, kami membangun sekitar 140.000 rumah. Standarnya tidak sama dengan yang dibangun di Prefektur Hyogo, Jepang, karena kita memiliki kebutuhan, peralatan, dan jumlah dana yang berbeda. Oleh karena itu, diputuskan untuk membangun satu rumah dengan ukuran 36 meter persegi bagi satu keluarga di atas lahan seluas 70 meter persegi. Dengan catatan, kamar mandi bisa di dalam atau luar rumah.
Tidak semua orang suka karena ada yang memiliki rumah seluas 100 meter persegi sebelum dihantam tsunami. Kami pun berembuk. Mereka akan tetap diberikan rumah dengan ukuran 36 meter persegi. Namun, mereka dipersilakan untuk merenovasi rumah tersebut setelah rekonstruksi selesai agar tidak timbul kecemburuan dari pihak yang lain.
Pengalaman yang lain adalah bencana mengubah cara hidup masyarakat. Dulu ada masyarakat yang menggunakan air sumur. Tetapi, setelah direkonstruksi, mereka diberikan air PAM dan harus membayar. Kami pun kembali melakukan pembinaan.
Ada juga masyarakat yang dulu tinggal di tepi pantai untuk lebih dekat pergi melaut. Sekarang, mereka harus pindah ke bukit karena takut tsunami. Kami berembuk lagi untuk memutuskan pembangunan infrastruktur yang membantu akses mereka ke tempat kerja. Jadi, dalam merencanakan dan mengimplementasikan village planning, masyarakat harus dilibatkan dan dibina.
Bagaimana dengan masalah pendanaan?
Ketika musibah tsunami terjadi di Aceh pada 2004, bencana itu juga terjadi di Sri Lanka, Thailand, Senegal, dan Afrika Selatan karena terjadi di Samudra Hindia. Simpati datang dari semua pihak. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga berkomitmen membantu dan siap menggelontorkan banyak dana. Aceh memperoleh 5 miliar dollar AS dari luar dan 2,2 miliar dollar AS dari pemerintah.
Artinya, pengelolaan dana dari dua pihak tersebut harus dikombinasikan dana itu. Uang dari pemerintah dikelola sesuai dengan ketentuan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Penggunaan uang dari swasta berbeda. Kita menentukan apa yang ingin dibangun dan pihak swasta yang akan membangun. Dengan begitu, mereka yang akan bertanggung jawab atas laporan keuangan masing-masing untuk diaudit oleh lembaga yang berwenang di negara mereka.
Ada kesan yang muncul bahwa mengapa pihak lain memberi bantuan dan mereka sendiri yang bekerja. Indonesia bukan tidak melakukan apa-apa. Kami tetap membuat rancangan kota dan memberikan petunjuk kepada mereka. Rekonstruksi membutuhkan manajemen yang baik agar rencana tidak tumpang tindih. Misalnya, desa A akan dibangun oleh kontraktor 1 dan desa B oleh kontraktor 2. Di situ pemerintah akan berperan untuk menghubungkan kedua desa tersebut, fill in the gap.
Memang akan ada perdebatan, seperti ada pihak A ingin membangun rumah sakit super canggih. Kami akan menjelaskan, setelah selesai rumah sakit itu akan susah beroperasi dan tidak ada daya listrik yang mendukung untuk beroperasi. Dengan segala perdebatan, dibangunlah infrastruktur sesuai yang telah ditentukan.
Dalam menerima bantuan, banyak hal yang bisa dipelajari selama rekonstruksi. Bantuan luar negeri tidak cuma dalam bentuk uang, barang, dan alat, tetapi juga pengetahuan. Sekarang pemerintah menyatakan menerima bantuan luar negeri untuk Donggala dan Palu. Ini kesempatan untuk kemudian dikelola seperti itu.
Contoh lain terkait pengelolaan dana adalah yang diterapkan di Prefektur Hyogo, Jepang. Sewaktu bencana terjadi, Jepang tidak memperoleh bantuan internasional sebab dianggap sudah kaya. Bencana gempa memiliki nilai kerugian sekitar 100 miliar dollar AS. Total biaya rekonstruksi yang dikeluarkan Jepang mencapai 136 juta dollar AS.
Sebanyak 50 persen berasal dari pemerintah pusat, sedangkan 38 persen berasal dari pemerintah daerah. Dari mana pemerintah daerah memperoleh dana tersebut? Mereka membuka bond untuk menjual obligasi dengan tenor 15-20 tahun. Kebutuhan dana sisanya berasal dari pihak swasta. Pihak swasta diajak terlibat. Mereka diberi tahu terkait cita-cita yang akan dicapai dalam rekonstruksi daerah terdampak bencana. Misalnya, perusahaan Kawasaki akan membangun infrastruktur ini atau Honda di bagian lain.
Bagaimana pengawasan yang dilakukan selama masa rekonstruksi?
Selama perjalanan harus ada komunikasi berkelanjutan di antara berbagai pihak yang terlibat. Harus ada fasilitas komunikasi yang memudahkan masyarakat menyampaikan kegelisahan terkait pembangunan yang masih berlanjut. Sekarang, komunikasi relatif mudah dan cepat karena ada Whatsapp. Waktu di Aceh, kami berkomunikasi menggunakan Blackberry.
Untuk rekonstruksi, sebenarnya sekarang bisa dibuat sebuah aplikasi untuk memantau permintaan, kebutuhan, kerja sama, pembangunan, dan kendala yang dihadapi di lapangan.
Bagaimana peran masyarakat selama masa rekonstruksi?
Kalau kebutuhannya sangat mendesak, bisa saja masyarakat langsung dikasih rumah yang hampir jadi. Tetapi, mereka hanya akan menjadi konsumen biasa. Kalau ingin masyarakatnya lebih maju, mereka harus dilibatkan sebagai kontraktor.
Keterlibatan masyarakat akan menjadi semacam vocational training karena ada pembinaan kapasitas. Kita memberikan dana dan data bahan konstruksi yang dibutuhkan dengan harga acuan. Mereka kemudian dibimbing untuk membangun rumah.
Di sisi lain, pembelian bahan konstruksi oleh masyarakat bisa mendorong perekonomian daerah yang terdampak bencana. Mereka bisa membeli bahan dari pengusaha lokal. Jadi, perekonomian lokal akan terus bergerak hingga kota tersebut selesai dibangun.
Untuk sementara, masyarakat bisa diberikan hunian sementara. Bisa yang terbuat dari kayu sehingga bisa langsung dipasang, misalnya dengan ukuran 25-28 meter persegi. Orang bisa keluar dari tenda untuk masuk ke hunian sementara sambil menunggu rumah yang sebenarnya selesai. Itu terjadi di Aceh, Sri Lanka, dan Jepang. Yang membangun hunian sementara bisa pemerintah pusat atau daerah.
Kita telah memiliki banyak pembelajaran dari sejumlah wilayah. Bagaimana dengan konstruksi yang akan dilakukan di Donggala dan Palu? Sama. Prinsip itu saja yang dipakai walaupun bisa saja caranya berbeda.
Bagaimana dengan kondisi psikologis masyarakat selama masa rekonstruksi?
Bencana adalah disruption to the usual business and life. Pada waktu orang terkena disrupsi itu, isi kepala hanya ada chaos. Mereka terjebak dan berpikir tentang apakah ada makanan, minuman, dan barang untuk bertahan besok. Namun, akan ada waktu untuk sembuh.
Kekacauan ada pada masa rekonstruksi, misalnya penjarahan yang terjadi di Amerika Serikat karena Badai Katrina pada 2005. Masalah semacam itu bisa terjadi di mana pun bencana muncul. Namun, ketika kekacauan seperti itu terjadi, sebaiknya langsung ditindak agar tidak terjadi di tempat lain. Keadaan psikologis masyarakat cepat terpengaruh karena berita mudah tersebar dan tidak disaring.
Tidak hanya masyarakat, pihak yang memberikan bantuan juga harus tetap optimistis dalam memberikan bantuan. Saya pergi ke Haiti pada 2010. Orang PBB, Bank Dunia, dan lainnya berkumpul dan bercerita terkait tantangan yang dihadapi. Saya bilang, ”Jangan murung, kita bisa melakukannya.” Optimisme pun bangkit lagi.
Bagaimana menjaga agar masyarakat tetap aktif terlibat?
Sewaktu di Aceh, kami bertanya ke para budayawan bagaimana proyeksi Aceh di masa depan. Mereka ternyata melihat kembali ke masa lalu, yakni pada kejayaan zaman Sultan Iskandar Muda. Aceh waktu itu dekat dengan Turki dan Amsterdam. Kami akhirnya membangun museum dengan tema tersebut. Artefak Aceh yang ada di Belanda diambil kembali. Semangat masa lalu kami hidupkan kembali agar kebanggaan masyarakat dan energi membangun Aceh tumbuh dalam masyarakat.
Waktu itu Indonesia masih berkonflik dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Wakil Presiden Jusuf Kalla membuat perjanjian dengan GAM untuk berdamai di Helsinki, Finlandia. Kedua pihak sepakat perdamaian tersebut merupakan bagian dari cita-cita Aceh, yaitu Aceh yang damai dan maju.
Kami mempersiapkan semuanya, infrastruktur dibangun, sekolah kembali dibangun, serta guru dan dokter dilatih. Masyarakat juga jangan didikte. Mereka bisa berkembang sendiri dengan kesepakatan ingin menjadi apa.
Rekonstruksi akibat gempa bumi di Yogyakarta pada 2006 sedikit berbeda. Masyarakat Yogyakarta sudah memiliki hubungan yang erat dan menerapkan prinsip gotong royong. Mereka saling membantu ketika membangun kembali rumah.
Intinya, carilah common denominator (faktor persekutuan) yang menyatukan masyarakat. Satukan cita-cita.
Apa pendapat Anda terkait rencana rekonstruksi di Sulawesi Tengah?
Sekarang masih dalam masa evakuasi. Pihak penanganan bencana masih bekerja sehingga saya belum bisa berkomentar. Pihak BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) juga masih bekerja.
Namun, ada satu tantangan yang muncul di Palu, yakni likuifaksi (tanah mengalir) akibat gempa bumi. Tanah, bahkan kampung, di wilayah bencana hilang. Itu yang masih harus dipikirkan bagaimana penanganannya.
Kalau di Aceh, tanah ada yang hilang karena ditutupi air laut. Kami berunding dengan orang desa terkait luas tanah yang berkurang. Saya pernah ke Beijing, China. Di sana terjadi gempa dan tanahnya pindah ke desa lain. Kami kemudian berdiskusi bagaimana cara menatanya kembali.
Hal yang ingin saya sampaikan adalah Aceh pernah mengalami bencana gempa bumi bermagnitudo lebih dari 9, tetapi dapat direkonstruksi menjadi lebih baik. Saya yakin Donggala dan Palu bisa pulih selama pola pikir yang optimistis terus dipegang.
Baca juga: William Sabandar: Pengalaman Rekonstruksi Gempa Aceh-Nias
Pemahaman apa saja yang harus dipegang selama melakukan rekonstruksi?
Bencana alam memang memberikan disrupsi. Namun, bencana bisa menjadi titik balik pembenahan diri bagi daerah yang terkena bencana. Bisa saja suatu lingkungan, kota, atau daerah berkembang karena sesuatu upaya di waktu yang lalu di mana pengetahuan yang dimiliki masih belum tinggi. Oleh karena itu, masyarakat belum maju.
Rekonstruksi memberikan masyarakat harapan bahwa pembangunan kali ini akan menghasilkan kota yang lebih siap menghadapi bencana sehingga jumlah kerusakan dan korban jiwa tidak sebesar sekarang. Rekonstruksi juga akan membuat kota memiliki masa depan yang lebih baik dengan pembangunan yang lebih terarah.