Percaya Diri Berkat Angkat Berat
Prestasi angkat berat telah membangkitkan semangat dan rasa percaya diri dua lifter putri Indonesia, Sriyanti dan Ni Nengah Widiasih. Mereka yang semula hidup tertutup dan minder karena punya fisik berbeda dari orang lain, kini berani tampil untuk menunjukkan kekuatan.
Pada perlombaan angkat berat Asian Para Games 2018 yang berlangsung di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, Kamis (11/10/2018), Sriyanti dan Ni Nengah berhasil menyumbang medali untuk Indonesia.
Tampil sebagai lifter non-unggulan tuan rumah, Sriyanti yang turun di kelas +86 kilogram, mampu mengantongi medali perak. Adapun Ni Nengah yang turun di kelas 86 kg, mengulang keberhasilannya di Asian Para Games Incheon 2014 dengan mempersembahkan perunggu.
Ni Nengah bangga bisa menyumbangkan medali untuk Indonesia. ”Kalau ingat zaman dulu, saya selalu ciut bertemu orang lain. Saya tidak punya nyali, tidak punya semangat dan rasa percaya diri. Tetapi, lihat sekarang saya bisa mendapatkan medali perunggu. Saya senang sekali,” ujar lifter putri ini dengan mata berkaca-kaca.
Medali perunggu direbut Ni Nengah setelah berhasil melakukan angkatan 95 kg. Lifter China, Zheng Feifei, berhak atas medali emas dengan angkatan 139 kg. Angkatan Feifei itu memecahkan rekor Asia dan Asian Para Games. Berada di peringkat kedua Lee Young-sun dari Korea selatan dengan angkatan 110 kg.
Pada angkatan pertama, dewan juri menyatakan angkatan Ni Nengah salah karena barbel memantul dua kali di bagian dada. Lifter putri itu tentu merasa kecewa. Tetapi, dia bisa segera bangkit.
Pada angkatan kedua, Ni Nengah berusaha tampil semangat, fokus, serta menyingkirkan rasa sakit akibat cedera bahu kanan. Usahanya membuahkan hasil berupa perolehan perunggu.
Prestasi Ni Nengah membangkitkan semangat Sriyanti. Lifter asal Sragen, Jawa Tengah, itu meraih perak dengan angkatan 118 kg. Jumlah angkatannya sama dengan Lee Hyun-jung dari Korea Selatan.
Medali emas diraih Hyun-jung karena berat tubuhnya lebih ringan, yaitu 102,90 kg. Sedangkan berat Sriyanti 106,20 kg. Sementara peringkat ketiga diraih Ancheta Adeline dari Filipina dengan angkatan 107 kg.
Sriyanti mengaku kurang puas karena hanya meraih medali perak. ”Apalagi saya kalah hanya karena berat badan. Tetapi tidak apa-apa, dalam kejuaraan selanjutnya saya harus tampil lebih baik,” ujarnya.
Jalan hidup
Ni Nengah dan Sriyanti tidak pernah menyangka jalan hidup akan membawa mereka ke olahraga angkat berat bagi atlet disabilitas. Kedua lifter ini sebenarnya terlahir normal. Penyakit polio yang menyerang pada usia empat tahun membuat kedua kaki mereka lumpuh sehingga harus mengandalkan kursi roda untuk menjalani hidup sehari-hari.
Berbagai jenis pengobatan, baik tradisional maupun modern, sudah dilakukan kedua lifter untuk menyembuhkan penyakit. Ni Nengah, misalnya, waktu kecil sering dibawa ke pantai.
”Kaki saya dikubur di pasir pantai untuk menyembuhkan polio. Saya menjalani pengobatan itu seminggu tiga kali dalam waktu yang cukup lama. Hasilnya, saya malah merasa kesemutan,” kata dia.
Selama bertahun-tahun orang tua Ni Nengah yang bekerja sebagai petani tidak pernah menyerah untuk mengobati anaknya. ”Sampai akhirnya saya bilang ke ayah saya agar tidak perlu lagi cari obat. Saya terima nasib saya sudah seperti ini,” kata lifter lulusan SD itu.
Sempat membuka usaha dengan berjualan minuman ringan di rumah, roda kehidupan membawa Nengah menjadi atlet. Pada 2008, Ni Nengah diajak teman-temannya untuk berlatih angkat berat.
”Pertama pegang besi itu terasa berat. Badan saya goyang, miring, tetapi lama-lama akhirnya bisa. Sekarang saya merasa, olahraga ini ringan. Berapa pun beban bisa saya angkat,” katanya.
Ni Nengah berhasil meraih sejumlah prestasi pada kejuaraan tingkat daerah, nasional, ataupun internasional, seperti meraih medali emas ASEAN Para Games Singapura 2015 dan ASEAN Para Games Kuala Lumpur 2017.
Selanjutnya, dia berharap dapat mempertahankan perolehan emas di ajang yang sama di Filipina, tahun 2019 mendatang. Dia juga berambisi bisa tampil pada Paralimpiade 2020.
Sriyanti menuturkan, banyak yang berubah dari dirinya sebelum dan setelah menjadi atlet. ”Dulu saya sangat minder, tidak berani keluar rumah, tidak berani bertemu orang. Setiap hari diam saja di rumah karena tidak berani beraktivitas. Setelah jadi atlet dan ikut kejuaraan, sekarang saya berani berbicara dan bergaul dengan orang lain,” katanya.
Menjadi atlet membawa harapan hidup bagi Sriyati. Dia melawan keterbatasan dirinya demi hidup yang lebih baik. Bagi Sriyanti, angkat berat tidak hanya soal adu kekuatan. Dibutuhkan strategi, ketenangan, konsentrasi, dan ketekunan agar dapat berprestasi.
”Saya tidak mau seperti saya yang dulu, minder dan menutup diri. Sekarang, saya merasa hidup saya lebih berarti. Selain itu kehidupan juga lebih baik karena punya penghasilan untuk keluarga,” ujar ibu satu anak ini.
(Denty Piawai nastitie/ KORANO NICOLASH LMS)