Teknologi Hapus Sekat Antarbangsa
Bahasa adalah alat untuk berkomunikasi. Teknologi aplikasi penerjemah di telepon pintar kini telah mampu menjembatani komunikasi antarbangsa, seperti yang dilakukan atlet menembak Paralimpiade untuk berdiskusi dengan atlet idolanya.
Wajah Ahmad Ridwan terlihat semringah membaca ulang tulisan di layar telepon selulernya. Dia baru saja ngobrol dengan atlet menembak Paralimpiade China, Huang Xing, pesaingnya di nomor 25 meter sport pistol campuran SH1 (keterbatasan fisik bagian bawah) Asian Para Games 2018 di Lapangan Tembak Senayan, Jakarta, Kamis (11/10/2018).
”Huang ternyata sangat ramah. Dia banyak kasih masukan. Katanya, saya masih muda, karier saya masih panjang. Dia minta saya tidak putus asa dengan hasil ini dan terus berlatih lebih keras,” ujar Ridwan, pemuda kelahiran Blora, Jawa Tengah, 13 Mei 1997, ini.
Huang tak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia. Begitu juga Ridwan, tak bisa berbahasa Inggris dan bahasa China. Mereka bisa berkomunikasi setelah Ridwan menggunakan aplikasi penerjemah di ponselnya. Berkat teknologi itu, sekat antara Ridwan dan Huang hilang seketika.
Ridwan sejak hari pertama cabang menembak dipertandingkan sudah berniat berkomunikasi dengan para atlet top Asia asal China, Korea Selatan, India, dan Thailand, termasuk Huang Xing, juara dunia menembak Paralimpiade di Cheongju 2018. Masalahnya, ia tak bisa bahasa Inggris, apalagi bahasa ibu para atlet tersebut.
Namun, Ridwan tak patah arang. Ia melihat banyak atlet dan ofisial asing menggunakan ponsel saat berbicara dengan sukarelawan atau atlet negara lain. Ia pun penasaran dan setelah mencari tahu, dia belajar menggunakan aplikasi itu untuk berkomunikasi lintas bahasa.
”Sejak ikut seri Kejuaraan Dunia Menembak Paralimpiade di Dubai, saya lihat banyak atlet berkomunikasi dengan ponsel. Tetapi, saat itu, saya tidak tanya. Di sini lebih banyak lagi yang menggunakan cara itu. Akhirnya saya mencoba juga,” katanya.
Berkat teknologi itu, Ridwan terbebas dari rasa penasaran. Dengan percaya diri dia mendatangi atlet-atlet idolanya, seperti Huang dan juara dunia lainnya dari China, Yang Chao. Sebelum bercakap, ia buka ponsel dan aplikasi penerjemah itu.
Aplikasi itu mengonversi pesan suaranya menjadi suara dan teks sesuai bahasa yang dipilih. Hasilnya bisa dibaca atau didengar orang yang diajak bicara. Walau tidak biasa, cara komunikasi itu membuat interaksi mereka mencair.
Tak jarang, terlihat senyum dan tawa riang. Ketika Ridwan berbicara, Huang diam. Namun, setelah mendengar bahasa yang telah diterjemahkan, Huang pun tersenyum.
”Saya tadi sempat bilang kagum dengan Huang dan mengidolakannya. Tetapi, Huang bilang, tak perlu mengidolakannya. Kami sama-sama atlet, teman satu profesi. Dia juga ingin lebih sering melihat saya bertanding di kejuaraan internasional,” kata Ridwan bangga.
Pelatih menembak Sanwi mengatakan, penting bagi atlet memiliki idola yang lebih hebat di cabang yang ditekuni dan bisa berinteraksi serta mendapat masukan dari idolanya itu.
”Hal itu bisa menjadi motivasi atlet untuk tampil lebih baik, menjadi seperti idolanya. Pada dasarnya, setiap atlet belajar dasar latihan yang sama di setiap cabang. Yang membedakan adalah semangat, kegigihan, dan motivasi saat berlatih dan bertanding,” kata Sanwi.
Aplikasi penerjemah yang sama juga memudahkan sukarelawan memahami maksud delegasi asing. ”Kebanyakan pengguna aplikasi itu atlet dari China, Korea Selatan, Iran, dan Irak. Kepada saya, mereka sering bertanya cara mencari taksi atau kendaraan penjemput. Dengan cara itu, kami segera mengerti maksud mereka dan bisa membantu,” ujar Utami Anggie, sukarelawan akreditasi di cabang menembak.
Melawan keterbatasan
Hingga hari keempat cabang menembak Asian Para Games 2018, atlet Indonesia belum bisa berbuat banyak. Bahkan, untuk lolos ke final saja cukup berat. Pada Kamis, tiga petembak tuan rumah yang bertanding belum mendapatkan hasil memuaskan.
Pada kualifikasi 10 meter air rifle prone campuran SH1 yang diikuti 22 peserta, Hanik Puji Astuti berada di urutan ke-20 dengan skor 620,8, diikuti Aris Haryadi urutan (618,5) di posisi ke-21 dengan skor 618,5.
Pada kualifikasi 25 meter sport pistol campuran SH1, Ridwan berada di urutan kesembilan dengan skor 499 dari sembilan peserta.
Kurangnya pengalaman tanding menjadi salah satu penyebab ketidakberhasilan atlet Indonesia. Mereka umumnya baru berlatih sembilan bulan. Atlet pistol dan senapan api di lapangan 25 meter dan 50 meter baru berlatih lima kali selama di pelatnas. Adapun atlet top dari China, Korsel, Jepang, dan Iran, sudah berlatih lebih dari lima tahun.
Hambatan lain, tempat latihan yang kurang memadai, peralatan mulai usang, stok peluru minim, dan jarang uji tanding.
”Andai kami dapat perlengkapan, fasilitas latihan, dan kerap uji tanding, hasil kami bisa lebih baik. Beberapa tahun lalu kami bisa mengimbangi petembak Thailand, kini kami tertinggal. Tiga tahun terakhir mereka dapat dukungan penuh untuk berlatih intensif,” kata Aris.
Terlepas dari segala hambatan itu, pelatih kepala menembak Saridi menyampaikan, para atlet Indonesia cukup hebat. Setidaknya, mereka mampu melawan keterbatasan yang ada. ”Artinya, ada asa untuk Indonesia. Kalau bisa terus didukung lebih baik, saya yakin empat tahun lagi atlet Indonesia bisa berbuat lebih baik di level Asia,” katanya.
Huang pun sempat berpesan kepada Ridwan untuk lebih sering mengikuti uji tanding agar mental bertanding atlet Indonesia menjadi lebih baik.
(ADRIAN FAJRIANSYAH)