JAKARTA, KOMPAS—Informasi palsu atau hoaks tentang kesehatan banyak beredar di dunia maya. Ketidakjelasan sumber informasi itu dapat menyesatkan masyarakat. Upaya untuk meredam hoaks dapat dilakukan lewat aplikasi penyedia informasi kesehatan.
Berdasarkan hasil Survei Masyarakat Telematika Indonesia tentang Wabah Hoaks Nasional per Februari 2017, ada tiga jenis hoaks yang sering diterima masyarakat, yaitu isu sosial-politik, isu suku agama ras dan antargolongan atau SARA, dan isu kesehatan.
Mayoritas saluran penyebaran berita hoaks melalui media sosial sebesar 92,4 persen, aplikasi bincang daring sebanyak 62,8 persen, dan lewat situs laman 34,9 persen lewat situs laman. Selain itu, bentuk hoaks terbanyak yang disebar adalah tulisan sebesar 62,1 persen, diikuti dengan gambar 37,5 persen dan bentuk video sebanyak 0,4 persen.
“Banyaknya informasi hoaks tentang kesehatan di internet perlu diredam dengan menyajikan informasi yang benar. Sumber berita itu harus berlandaskan bukti ilmiah dari sumber tenaga ahli kesehatan,” kata Ari Fahrial Syam, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, saat peluncuran aplikasi “Apa Kata Dokter”, Kamis (6/12.2018), Jakarta.
Menurut Ari, penting untuk mengedukasi masyarakat dengan memberikan konten informasi kesehatan yang akurat. Harapannya masyarakat dapat terhindar dari praktik mitos kesehatan yang tidak sesuai fakta.
“Ada beberapa pasien yang sudah terlambat berobat, karena mengobati dirinya sendiri dari hasil informasi internet yang sumbernya tidak akurat. Informasi hoaks itu dapat membahayakan masyarakat,” ujar Ari.
Saat Kompas mengetik kata ‘informasi kesehatan’ di laman pencarian Google Play Store, misalnya, muncul lebih dari dari 10 aplikasi berbasis android yang menyajikan informasi kesehatan. Beberapa aplikasi itu juga dilengkapi dengan fitur mengobrol langsung dengan dokter. Beberapa aplikasi yang berisi informasi kesehatan antara lain Halodoc, Alodokter, KlikDokter, dan Go-Dok.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia Daeng M Faqih mengatakan, keberadaan aplikasi tersebut memberikan kesempatan untuk memperbesar akses informasi tentang kesehatan. Masyarakat dapat bebas mengakses informasi tersebut.
Ia menambahkan, jika pemberi informasi dan konsultasi pada aplikasi digital tersebut bukan tenaga kesehatan yang berwenang dan kredibel, maka informasi dan konsultasi yang diberikan akan salah, sesat, dan membahayakan.
“Hal itu bisa dicegah dengan regulasi yang baik. Misalnya, mewajibkan semua aplikasi digital kesehatan harus diasuh tenaga kesehatan yang berwenang dan kredibel. Tenaga kesehatan itu harus memiliki surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP),” kata Daeng. (MELATI MEWANGI)