PALANGKARAYA, KOMPAS – Dalam waktu empat tahun desa-desa di Kalimantan Tengah terus mengalami pencemaran. Desa yang mengalami pencemaran air meningkat 50 persen dari 391 desa menjadi 728 desa tahun ini. Pencemaran tanah pun meningkat dari 95 desa menjadi 110 desa atau naik 116 persen.
“Hanya pencemaran udara yang mengalami penurunan sebesar empat persen dari tahun 2014 sampai sekarang. Data itu dikumpulkan pada sensus potensi desa (Podes) 2018,” ungkap Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kalteng Yomin Tofri di Palangkaraya, Senin (10/12/2018).
Pencemaran air, lanjut Yomin, dapat dilihat dari tampilan fisiknya yang keruh, berwarna, berasa, berbusa, dan berbau. Sumber-sumber pencemaran, menurut BPS Kalteng, meliputi kegiatan industri, penggunaan pupuk kimia yang berlebihan, dan limbah rumah tangga.
Untuk pencemaran tanah, tambah Yomin, terjadi karena berbagai faktor di antaranya penambangan atau terkontaminasi bahan radioaktif di atas tanah atau yang dipendam di dalamnya. Pencemaran udara dilihat dari kondisi udara yang berdebu, berasap, dan berbau menyengat. Sumbernya bisa dari pabrik, pembakaran gamping, kendaraan bermotor, pembakaran hutan dan lahan.
“Data-data pencemaran kami ambil berdasarkan keluhan atau laporan warga ke aparatur desanya,” ungkap Yomin.
Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Kalteng Syafi’i Nur menjelaskan, data pencemaran yang digunakan BPS Kalteng sampai saat ini masih berbasis pada kuesioner. Idealnya, data pencemaran bisa diambil melalui uji baku mutu air.
“Kalteng sebenarnya bisa melakukan itu, tetapi pada tahun 2018 ada penghematan anggaran jadi tidak bisa dilakukan. Seingat saya hanya Yogyakarta yang melakukan uji baku mutu air,” ungkap Syafi’i.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Bidang III Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalteng Arianto mengungkapkan, pihaknya belum ada analisa terkait pencemaran yang terjadi di desa. Pihaknya hanya berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten terkait hal itu.
“Karena pencemaran ini terjadi di desa maka itu menjadi ranah dari DLH Kabupaten,” ungkap Arianto.
Danau Sembuluh
Direktur Save Our Borneo Safrudin mengungkapkan, kasus pencemaran limbah di Kalteng sedikit banyak dipengaruhi oleh eksploitasi lahan dan konversi hutan menjadi perkebunan. Ia mencontohkan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalteng yang merupakan danau terbesar.
"Danau Sembuluh dahulu adalah sumber kehidupan, saat ini masyarakat tidak lagi bisa mengonsumsi air danau itu sejak dikelilingi perusahaan sawit," kata dia.
Menurut Safrudin, seharusnya pemerintah melakukan pembaharuan perizinan semua konsesi di Kalteng dengan meningkatnya pencemaran. Pembaharuan itu dilakukan untuk melihat kembali perubahan bentang alam dan pencemaran.
"Pada saat keluar perizinan kan ada analisis dampak lingkungan, saat itu mungkin pencemaran belum terjadi tetapi setelah bertahun-tahun pasti ada perubahan baik air maupun tanah," ungkap Safrudin.