JAKARTA, KOMPAS - Penerapan kode etik jurnalistik yang benar akan menghasilkan peliputan yang peka akan kesetaraan jender. Selain berimbang, liputan yang berperspektif jender tidak akan menempatkan perempuan sebagai anggota masyarakat yang pasif, media justru akan menempatkan perempuan sebagai bagian penting pembangunan yang berkelanjutan.
"Jumlah perempuan wartawan dan media yang khusus melayani pembaca atau pun pemirsa perempuan bukan langsung berarti media arus utama sudah memiliki perspektif jender," kata Ketua Dewan Pers Yosep "Stanley" Adi Prasetyo dalam diskusi publik bertema "Pers dan Pemajuan Perempuan Indonesia" di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Jumlah perempuan wartawan dan media yang khusus melayani pembaca atau pun pemirsa perempuan bukan langsung berarti media arus utama sudah memiliki perspektif jender.
Diskusi diadakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan tujuan meningkatkan kompetensi media sebagai sumber rujukan informasi publik dalam hal persepsi kesetaraan jender.
Stanley mengatakan, secara umum, belum ada kemajuan pada media arus utama yang diperuntukkan bagi perempuan. Isinya masih seputar tugas-tugas domestik seperti memasak, melayani suami, dan merawat kecantikan. Konten lainnya adalah kisah roman percintaan, kisah keprihatinan hidup, gosip artis, dan ramalan perbintangan.
"Tampak media arus utama belum memikirkan untuk membuat konten mendidik bagi perempuan. Seolah keberadaan perempuan bukan sebagai anggota masyarakat yang aktif, melainkan terbatas pada urusan domestik yang juga tidak dibahas secara substantif," ujar Stanley.
Dari sektor penulisan artikel terkait perempuan inspirasional juga tidak terlepas dari kotak domestik. Perempuan berprestasi ketika diwawancara sering masih ditanyakan cara mereka membagi waktu bekerja dan dan mengurus keluarga. Padahal, pertanyaan serupa tidak pernah dinyatakan kepada narasumber laki-laki.
Standar ganda
Stanley mengkritisi bias redaksi dan wartawan yang menerapkan standar ganda dalam mengukur prestasi perempuan. Seolah perempuan baru bisa sukses kalau memiliki keluarga yang harmonis, sementara wawancara yang dilakukan dengan media semestinya membahas kehidupan profesionalnya.
"Media semestinya mendidik masyarakat. Caranya dengan menerapkan kode etik jurnalistik sehingga liputan terarah, kritis, berimbang, analitis, dan faktual. Demikian pula ketika membahas isu mengenai perempuan maupun kesetaraan jender," tutur Stanley.
Mantan wartawan harian Kompas Maria Hartiningsih memaparkan, penerapan prinsip jurnalistik ini yang menghasilkan pemberitaan bermutu. Sensitivitas pada fakta ketika meliput kasus kekerasan atau pun pelecehan terhadap perempuan misalnya, tidak akan berakhir pada artikel yang menyiratkan korban bersalah karena memakai busana tertentu.
Ia menjelaskan, perspektif jender menyadari adanya ketimpangan relasi kekuasaan antara golongan yang kuat dengan yang lemah dan dilemahkan. Sering kali perempuan dilemahkan oleh kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Perspektif jender menyadari adanya ketimpangan relasi kekuasaan antara golongan yang kuat dengan yang lemah dan dilemahkan.
Dalam demokrasi misalnya, keberadaan wakil rakyat yang perempuan merupakan afirmasi 30 persen. Akan tetapi, umumnya mereka masih digunakan sebagai pendulang suara dengan cara menarik simpati masyarakat, bukan karena kompetensi intelektual dan kinerja.
"Sebenarnya, media arus utama selama ini pada tataran global cukup efektif mendorong diterapkannya perspektif jender dalam peliputan. Namun, sekarang dengan adanya media sosial terjadi disrupsi informasi," ucap Maria.
Publik lebih banyak mengakses dan meyakini informasi yang beredar di media sosial. Akibatnya, kabar simpang siur hingga kebohongan dipercaya dan dianggap sebagai pembenaran. Sementara, media arus utama kini banyak terseret arus media sosial dan membuat pemberitaannya tidak berbobot. Hal ini merupakan tantangan berat pada gerakan sosial keadilan dan kesetaraan jender.
Pemimpin redaksi media daring IDN Times Uni Lubis menjabarkan, liputan yang buruk juga sama berbahayanya dengan hoaks. Liputan buruk terjadi apabila wartawan tidak berpegang teguh pada kode etik dan standar profesional jurmalistik. Akibatnya, penulisan yang tidak berbasis akurasi, bias, dan membodohi masyarakat. Dampaknya sama negatif dengan kebohongan yang beredar di media sosial.