Perguruan Tinggi Perlu Berkolaborasi dengan Pelaku Industri
Oleh
Ayu Pratiwi
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Institusi pendidikan perlu berkolaborasi dengan seluruh pelaku industri, termasuk perusahaan, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah demi mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas ke depan. Kolaborasi menjadi semacam platform pertemuan mahasiswa atau murid agar bisa berinteraksi dengan para profesional dan belajar tentang perkembangan industri terkini.
”Para pelaku industri lebih mengerti apa yang betul-betul terjadi saat ini di lapangan dibanding perguruan tinggi. Oleh karena itu, universitas perlu kerja sama dengan para profesional untuk tahu tentang ide-ide terkini,” ujar Presiden Incheon National University Cho Dong Sung dalam seminar Growing With The Best Education System, yang diadakan Korean Institute for Education and Culture, di Jakarta, Kamis (13/11/2018).
Sejak Maret 2017, universitasnya menggelar program studi bernama Matrix College. Program itu semacam platform bagi mahasiswa untuk dapat memilih dan bertemu dengan pelaku industri dari luar universitas, termasuk pemerintah, perusahaan, dan organisasi masyarakat sipil.
Kursus digelar para pelaku industri. Mereka bebas memilih konten apa saja yang ingin diajarkan kepada mahasiswa. Mahasiswa juga bebas memilih kursus apa pun yang paling diminati. Durasi kursus berbeda-beda dan berkisar satu minggu hingga satu tahun.
Pada Desember 2018, sejumlah institusi perguruan tinggi Indonesia ikut serta dalam program Matrix College, yakni Universitas Trisakti, Yayasan Hang Tuah, Institut Pertanian Bogor, Universitas Bina Sarana Informatika, dan STMIK Nusa Mandiri.
Selain Indonesia, ada pula organisasi asal Amerika Serikat, Jepang, dan China yang menggelar kursusnya dalam program studi itu.
Saat ini, pengembangan sumber daya manusia menjadi fokus pembangunan Indonesia dalam rangka membawa Indonesia menjadi kekuatan ekonomi nomor empat terbesar pada 2050.
Bagi Cho, universitas harus mendukung perwujudan visi itu melalui edukasi yang menciptakan pengusaha, manajer profesional, insinyur, dan desainer yang kompetitif.
”Untuk merealisasikan misi ini, perguruan tinggi harus kerja sama dengan pelaku industri,” ujar Cho.
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Ali Ghufron Mukti menyampaikan, sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki daya kompetitif yang besar. ”Indonesia merupakan pasar yang besar. Namun, kita kalah saing dalam berinovasi,” katanya.
Pada 2015, jumlah publikasi ilmiah Indonesia masih lebih rendah dibandingkan dengan negara besar ASEAN lainnya. Ali mencatat, situasi itu kini telah membaik. Pada Oktober 2018, Indonesia menjadi negara dengan jumlah publikasi ilmiah terbesar nomor dua di ASEAN. Posisi pertama diduduki Malaysia dan nomor tiga oleh Singapura.
”Saya berharap, kolaborasi perguruan tinggi Indonesia dengan perguruan tinggi luar negeri dapat meningkatkan jumlah publikasi ilmiah dan kualitas pengajaran kita,” ujar Ali.