Sumber daya manusia merupakan modal pembangunan krusial bagi sebuah bangsa. Manusia yang unggul dan kompetitiflah yang akan memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa. Sudah siapkah sumber daya manusia Indonesia berkompetisi di era revolusi industri 4.0?
Ketika berbicara keunggulan sumber daya manusia maka tidak akan dilepaskan dari aspek pendidikan dan kesehatan sebagai fondasinya. Ibarat peranti lunak, pendidikan akan menempa manusia dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Sementara kesehatan berperan dalam menyiapkan peranti keras alias manusianya itu sendiri yang sehat.
Indonesia sedang mengalami masa transisi demografis di mana jumlah penduduk usia produktif lebih banyak dari penduduk kelompok usia anak-anak dan lanjut usia atau tidak produktif. Satu orang kelompok usia produktif akan sanggup menanggung banyak orang yang kurang produktif. Begitulah data statistik berbicara.
Namun, jika dilihat lebih jauh lagi populasi usia muda dan produktif yang banyak belum tentu memberikan manfaat pada bangsa dan sanggup menanggung banyak penduduk yang tidak produktif. Statistik demografi tersebut baru menggambarkan jumlah, tapi belum mencerminkan kualitas.
Data-data kesehatan dan hasil laporan pembangunan terbaru harus menjadi perhatian bersama jika berkomitmen pada pembangunan manusia. Satu data kesehatan termutakhir adalah Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Di tengah usia harapan hidup yang terus naik, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan semua indikator penyakit tidak menular juga naik. Hasil ini seolah menjadi afirmasi bahwa Indonesia sedang mengalami transisi epidemiologi, yaitu peralihan dari dominasi penyakit infeksi yang mulai digantikan oleh penyakit tidak menular.
Indonesia sedang mengalami transisi epidemiologi, yaitu peralihan dari dominasi penyakit infeksi yang mulai digantikan oleh penyakit tidak menular.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 memperlihatkan, prevalensi stroke pada penduduk usia 15 tahun ke atas berdasarkan diagnosis, misalnya, naik dari 7 per mil pada tahun 2013 menjadi 10,9 per mil tahun 2018. Prevalensi kanker berdasarkan diagnosis dokter juga naik dari 1,4 per mil tahun 2013 menjadi 1,8 per mil tahun 2018.
Begitu juga dengan prevalensi penyakit ginjal kronis pada penduduk usia 15 tahun ke atas naik dari 2 per mil tahun 2013 jadi 3,8 per mil tahun 2018. Sebanyak 19,3 persen penduduk dewasa pun pernah atau sedang menjalani cuci darah. Di lapangan data itu diperburuk dengan kenyataan bahwa penderita penyakit tidak menular itu dari waktu ke waktu makin muda.
Populasi kelompok usia produktif yang banyak ternyata digerogoti oleh penyakit tidak menular yang membebani secara kesehatan, sosial, dan ekonomi. Produktivitas mereka yang sakit pun terganggu. Ujungnya, kualitas hidup manusia Indonesia tidak optimal. Ini belum memperhitungkan bagaimana sistem pendidikan nasional berkontribusi pada pembentukan manusia Indonesia yang unggul.
Seberapa kualitas modal manusia sebuah bangsa setidaknya bisa dilihat dari Human Capital Index (Indeks Modal Manusia) yang baru saja dirilis Bank Dunia pada pertemuan Bank Dunia-IMF September 2018 lalu di Bali. Menurut Bank Dunia, modal manusia terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan kesehatan yang mengakumulasi sepanjang hidup manusia, memungkinkan mereka untuk menyadari potensi mereka sebagai anggota masyarakat yang produktif.
Dalam Human Capital Index 2018 Indonesia berada pada posisi 87 dari 157 negara di dunia. Di antara negara di Asia Tenggara, posisi Indonesia masih di bawah Singapura (posisi 1), Vietnam (48), Malaysia (57), Thailand (68), dan Filipina (82).
World Economoc Forum (WEF) juga mengeluarkan laporan serupa, yaitu Global Human Capital Report (GHCR). Dalam laporan ini Indonesia menempati urutan ke-65 dari 130 negara. Sama seperti laporan HCI pada GHCR pun peringkat Indonesia masih berada di bawah Singapura (peringkat 11), Malaysia (33), Thailand (40), Filipina (50), dan Vietnam (64).
Dua laporan lembaga internasional tersebut bisa menjadi bahan refleksi para pemimpin bangsa ini, sudah siapkah sumber daya manusia kita memenuhi harapan untuk bisa berkompetisi pada era revolusi industri 4.0? Jika belum maka apa yang sudah, sedang, dan akan diperbuat untuk mewujudkan itu? Dan sederet pertanyaan lain yang harus dijawab dengan aksi di tahun mendatang.