Maria Yovita Meta Bastian Berjuang demi Eksistensi Tenun
Sejak 30-an tahun yang lalu, Maria Yovita Meta Bastian khawatir tradisi menenun yang telah berlangsung ratusan tahun di Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, lambat laun akan pudar. Rasa khawatir itu mendorongnya dia menggerakkan kembali tradisi tersebut di sekolah-sekolah dan kampung-kampung. Tenun Timor Tengah Utara pun selamat dari gerusan zaman.
Maria Yovita Meta Bastian, akrab disapa Meta, ditemui di Kefamenanu, Timor Tengah Utara, Sabtu (8/6/2019). Ia tengah sibuk merapikan sejumlah wastra khas Biboki yang tersimpan di dalam ruang khusus dan gerai miliknya.
Di gerai itu, tersimpan sekitar 25.000 lembar kain dari berbagai ukuran, motif, dan jenis tenunan khas Timor. Kain tenun dibuat dari benang pabrik, tetapi ada pula yang dibuat dari benang kapas asli. Wastra hasil tenunan kapas asli dijual dengan harga antara Rp 500.000–Rp 50 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan, dan ukuran wastra. Sementara wastra dengan bahan benang pabrikan dijual dengan harga antara Rp 25.000–Rp 400.000 per lembar.
Saya khawatir kain-kain yang ditenun dengan tingkat kesulitan tinggi dan proses pewarnaan berbelit-belit ini, suatu saat hilang di kalangan generasi saat ini, dan yang akan datang
“Saya khawatir kain-kain yang ditenun dengan tingkat kesulitan tinggi dan proses pewarnaan berbelit-belit ini, suatu saat hilang di kalangan generasi saat ini, dan yang akan datang. Menenun merupakan tradisi warisan yang harus dipertahankan dan diwariskan turun temurun,” kata Meta.
Kekhawatiran itu telah mendorong Meta datang ke sejumlah Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 1989 di wilayah suku Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara. Ia menemui kepala sekolah dan guru, membahas soal praktik menenun di sekolah. Hasilnya, empat SD dan satu SMP menerima kerajinan menenun sebagai ekstrakurikuler sekolah.
Tahun 1990 kegiatan di lima sekolah itu mulai berjalan. Meta mendatangkan alat-alat tenun, benang, dan tali pengikat benang dengan modal pribadi.
Tahap pertama, siswa dilatih membuat syal atau selendang dengan ukuran 4 cm x 100 cm. Kain ini dijual kepada para guru sekolah setempat, di pasar, dan sebagian dipamerkan di showroom milik Meta. Setelah enam bulan, mereka dilatih menenun kain sarung dalam beberapa ukuran yang lebih besar.
Hasil penjualan tenunan dimanfaatkan untuk membeli buku pelajaran dan buku tulis, uang jajan, dan sebagian diberikan kepada orangtua siswa. Dengan sistem seperti itu, anak-anak semakin terpacu untuk terus menenun. Tradisi menenun menjadi tren di kalangan mereka. Apalagi, pesanan tenunan semakin banyak. Salah satu pesanan datang dari mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang setiap tahun memesan syal sebanyak 200 syal. Tentu saja, hasil penjualan syal seharga Rp 25.000 per potong cukup lumayan bagi para siswa.
Sayangnya, setelah para siswa lulus SMP dan melanjutkan ke SMA, kegiatan menenun mulai menghadapi kendala. Selain tidak ada alat tenun dan kain, juga tidak ada dukungan dari pihak sekolah yang baru. Beberapa siswa yang melanjutkan SMA di Kota Kefamananu, mendatangkan alat tenun dan benang oleh orangtua. Mereka pun bisa menenun di tempat kosnya.
Hingga kini, siswa binaan Meta sudah mencapai ribuan orang. Sebagian dari mereka yang sudah lulus SMA memilih menjadi perajin wastra Timor.
“Pemasaran masih jadi masalah. Bagi pengrajin yang membutuhkan dana cepat untuk kebutuhan sehari-hari, hasil tenunan ini tidak bisa diandalkan. Apalagi hampir semua keluarga di NTT bisa menenun,” kata Meta.
Dalam satu bulan, Meta menerima tamu yang berkunjung dan berbelanja bisa dihitung dengan jari, paling banyak 20 orang. Untuk itulah, Meta lebih suka mengikuti pameran di luar Timor Tengah Utara bersama para perajin. Ia antara lain mengikuti pameran di Jakarta, Denpasar, dan Kupang. Beberapa kali ia juga ikut pameran di luar negeri seperti Belanda, Filipina, Jerman, dan Timor Leste.
Meta telah membangun jaringan kerja sama dengan para pengrajin di sejumlah kota dan daerah. Setiap ada kegiatan pameran, Meta selalu dilibatkan. Ia menggunakan modal pribadi mengikuti pameran itu.
Selain itu, wastra milik Meta dijual secara daring. Hasilnya cukup lumayan. Pesanan datang tidak hanya dari dalam negeri, tapi luar negeri.
Perajin mandiri
Selain melatih siswa, Meta juga memberdayakan ibu-ibu untuk menjadi perajin tenun. Meta melatih kelompok-kelompok pengrajin. Salah satunya datang dari Timor Leste. Sebanyak tiga kelompok pengrajin dari Timor Leste mengikuti pelatihan di rumah tenun Meta.
Timor Leste dan Timor Barat (Indonesia) memiliki motif tenun hampir sama. Tradisi menenun di Timor Leste mulai marak sejak 1976.
Tenaga pelatih didatangkan dari kelompok usaha tenun binaan Meta di pusat tenun dan gerai miliknya di Kefamenanu, “Tafean Pah”. Pusat tenun Meta memiliki 400 kelompok tenun yang beranggotakan kaum perempuan Timor Tengah Utara.
Sebanyak 400 kelompok pengrajin binaan Meta sejak 1989, sebagian sudah mandiri. Kelompok yang masih aktif dan bekerja sama dengan Meta sebanyak 200 kelompok. Tiap kelompok beranggotakan 20-40 orang perempuan. Kebanyakan ibu rumah tangga di desa-desa.
Ibu-ibu yang sudah mandiri secara ekonomi dan kemampuan menenun, membentuk usaha sendiri. Mereka bahkan menyebar sampai di Kota Kupang, berbisnis tenun NTT sekaligus membangun rumah produksi tenun.
Usaha tenun terbantu setelah Pemerintah Provinsi NTT mewajibkan PNS mengenakan sarung di kantor-kantor. Sementara siswa SD dan SMP wajib mengenakan rompi dari bahan tenun produksi lokal. Tetapi ada tantangan baru, yakni wastra motif NTT ditiru di daerah lain dan dibuat dengan jenis kain lebih halus dan ringan. Ia sangat kaget ketika mengikuti beberapa pameran di luar NTT bahkan di luar negeri, ternyata motif tenun NTT sudah beredar luas di sana.
Tenun semacam itu mulai merambah pasaran NTT. Ini juga mengancam hasil tenunan lokal di NTT
"Tenun semacam itu mulai merambah pasaran NTT. Ini juga mengancam hasil tenunan lokal di NTT,” kata Meta.
Meta sedang mengajukan hak kekayaan intelektual (HAKI) untuk wastra khas Timor. Meski terlambat HAKI tetap diperjuangkan. Saat ini, ia sudah mengumpulkan 64 motif khas Buna dari Timor Tengah Utara. Ia juga mulai mendata motif tenun khas Insana dari Timor.
Menenun, buat Meta, bukan semata-mata mengejar profit, tetapi lebih dari itu, yakni menjaga warisan tradisi. Kebiasaan menenun, menghadirkan jiwa yang hidup dan menyatu dengan leluhur dan alam.
Aneka kekayaan alam jagat yang tergambar di dalam motif-motif tenunan menandai suatu kehidupan masa lalu. Nenek moyang yang selalu menyatu dengan alam, tergambar jelas di dalam setiap motif tenunan.
Maria Yovita Meta Bastian
Lahir: Kefamenanu, 4 Desember 1955
Suami: Andreas Yosef Meta (almahrum)
Anak: Lina (40)
Pendidikan terakhir: Pendidikan Guru Agama Katolik Kefamenanu, 1972