Mbah Saniyem, Penjaga Terakhir Wayang Krucil
Berbeda dengan pelaku wayang kulit, keberadaan pelaku wayang krucil di Jawa Timur bisa dihitung dengan jari. Salah serorang dari yang segelintir itu adalah milik Mbah Saniyem (95), generasi ke delapan pewaris wayang krucil di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Selama puluhan tahun perempuan lanjut usia itu berusaha menjaga agar “pusaka” leluhurnya yang berumur ratusan tahun itu tetap lestari.
Jarum jam menunjuk pukul 10.00 lebih, Rabu (12/6/2019), saat Mbah Saniyem keluar di teras rumahnya di Dusun Wiloso, Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir. Ia menghampiri dan berbincang sejenak dengan beberapa tetangga yang tengah sibuk menata gamelan, beberapa saat sebelum pentas wayang krucil yang berlangsung di halaman rumahnya dimulai.
Selama enam jam ke depan, para tetangga itu akan menjadi panjak (penambuh gamelan). Mereka duduk lesehan dan hanya bernaung pada tenda seng guna menghalau terik sinar matahari musim kemarau yang menerpa lereng Gunung Katu—sebuah bukit yang berada di lereng sisi timur Gunung Kawi.
Pentas sederhana itu menyita perhatian sebagian warga yang masih larut dalam suasana Lebaran. Hadirnya sejumlah mahasiswa dari salah satu universitas negeri di Malang yang tengah melakukan Kuliah Kerja Nyata, membuat pentas rutin setahun sekali itu terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pentas tahunan itu dikenal dengan istilah Gebyak Syawalan.
Dalang Paiman (69) kembali memegang kemudi memainkan seperangkat wayang berbahan kayu itu. Lakonnya “Panji Laras Adu Jago” yang mengisahkan salah satu perjalanan tokoh Panji Asmorobangun dari Kerajaan Kediri. Menurut Paiman lakon dalam Gebyak Syawalan tidak harus sama dari tahun ke tahun.
Gebyak Syawalan sendiri menjadi pentas wajib bagi Mbah Saniyem dan keluarga. Kegiatan itu sudah dilakukan sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun lalu setelah kupatan atau hari raya ketupat yang jatuh sepekan setelah Idul Fitri.
Mbah Saniyem sendiri tidak ingat lagi sudah berapa kali menggelar gebyak Syawalan. Yang dia tahu bahwa kegiatan itu sudah dilakukan secara turun temurun sejak orangtuanya dulu. “Tidak terhitung banyaknya. Pentas semacam ini sudah dilakukan sejak lama. Wong, wayang ini datang ke sini sebelum saya ada,” tuturnya sambil tersenyum.
Wayang krucil di tangan Mbah Saniyem beda dengan lainnya. Jumlah tokoh wayang di Wiloso disebut-sebut paling lengkap dibanding daerah lain di Jawa Timur, yakni mencapai 75 buah. Berbahan kayu pule, mereka merupakan tokoh lokal, seperti Panji Amorobangun, Minak Jinggo, hingga Ronggolawe.
Jika wayang kulit lebih banyak mengadopsi lakon Ramayana dan Mahabarata, maka wayang krucil cenderung bercerita seputar lakon domestik. Baik itu cerita tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, perjalanan Walisongo, hingga perjuangan para pahlawan mengusir kolonial.
Sejauh ini memang belum ada yang tahu pasti kapan dan siapa pembuat wayang krucil yang ada di tangan Mbah Saniyem. Menurut pihak desa, Mbah Saniyem mendapatkan wayang itu dari orangtuanya, Mbah Taram (Metaram). Mbah Taram seorang seniman asal Desa Putat, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, yang diperkirakan pindah ke Gondowangi tahun 1896 atau 1910. Versi lain menyatakan wayang ini diciptakan oleh Pangeran Pekik seorang adipati dari Surabaya pada abad 17.
Terlepas dari asal-muasalnya, Mbah Saniyem tetap setia dan bertekad terus menjaga “harta” yang diwariskan kepadanya itu. Karena sudah terbiasa, menurut dia tidak ada kesulitan dan perlakuan khusus untuk merawat wayang tersebut. Semua dimasukkan dalam sebuah peti kayu dan ditempatkan di dalam rumah. Benda seni itu baru dibersihkan ketika hendak pentas.
Kerusakan karena usia bukan saja menjadi tantangan yang harus dihadapi. Sebagai barang unik, wayang-wayang itupun tidak lepas dari incaran kolektor. Menurut Mbah Saniyem pernah ada seorang dalang dari luar daerah yang bermaksud menukar wayang krucil milik keluarganya itu dengan truk. Namun sang dalang harus mengubur dalam-dalam keinginan itu karena orangtuannya menolak permohonan itu.
“Waktu orangtua saya masih ada, ini mau ditukar dengan truk namun tidak boleh sama bapak. Bapak ingat karena ini peninggalan leluhur, menjadi jimat, jadi tidak diberikan. Padahal berapa harga truk saat itu? Tentu tidak murah,” ucapnya.
Selain gebyak rutin, wayang—yang di daerah lain disebut dengan istilah wayang klitik--ini juga kerap pentas pada acara bersih desa. Mbah Saniyem dan keluarga juga tidak keberatan jika wayang ini dipentaskan di tempat lain, termasuk kampus.
Kini di usianya yang senja, Mbah Saniyem mengaku belum tahu kepada siapa akan mewariskan peninggalan leluhurnya itu kelak. Keenam anaknya tidak ada yang bisa memainkan wayang. Sejauh ini yang bertindak sebagai dalang, sinden, dan panjak merupakan warga lokal sekitar Desa Gondowangi. Mereka inilah pendukung utama pentas sekaligus pelestarian seni adiluhung itu.
Sebenarnya ada seorang menantu ketiga Mbah Saniyem yang bisa bermain karawitan, yakni Suyadi. Ia juga sempat mengajarkan bagaimana cara bermain gamelan kepada anak-anak sekitar. Namun sang menantu meninggal dunia pertengahan bulan Ramadhan tahun ini.
“Anak-anak tidak ada yang bisa ndalang. Mereka tidak mau. Main gamelan juga tidak mau, duko niku lare-lare (entah itu anak-anak). Jadi belum tahu wayang ini mau diwariskan ke siapa. Duko mbenjing-mbenjing (entah besok-besok). Sejauh ini juga belum ada pembicaraan seputar masalah itu,” ujar simbah sambil tertawa renyah.
Perihal tidak adanya anak yang bisa memainkan wayang itu dibenarkan oleh Gunari (70-an), sang anak sulung. Gunari dan kelima adiknya tidak ada yang bisa memainkan wayang krucil disebabkan mereka tidak pernah berlatih. Adapun Almarhum Suyadi mampu memainkan karawitan namun tidak bisa mendalang. “Ya nanti wayangnya diurus bareng-bareng oleh anaknya,” ucapnya.
Dalam rangka pelestarian, Mbah Saniyem membuka diri dan menerima upaya kerjasama yang ditawarkan oleh pihak lain, termasuk desa. Sejak beberapa tahun lalu pihak desa memerbanyak pentas wayang krucil di luar gebyak yang dilakukan secara rutin sekali dalam setahun. Tiga tahun lalu pemerintah desa juga membuat buku berjudul “Almanak Desa Wayang Krucil Ereng-ereng Gunung Katu”.
Buku yang ditulis oleh Fariza Wahyu Arizal dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu menjadi media pelestarian sekaligus penyebaran nilai karena wayang tersebut mengandung nilai filosofis yang baik. Buku itupun telah diedarkan ke sejumlah sekolah yang ada di sekitar Gondowangi.
Menurut Mbah Saniyem bagaimanapun juga peninggalan leluhur perlu dilestarikan meski cara yang digunakan berbeda-beda. Dia pun berharap ke depan wayang ini masih akan terus tampil di depan generasi baru dan zaman yang berbeda. (wer)
Saniyem
Lahir: Malang
Anak:
- Gunari
- Supomo
- Sutik
- Suprat
- Jumik
- Sunaryo