Investasi Pembangunan Harus Merujuk Pengurangan Risiko Bencana
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Investasi pembangunan harus merujuk pada pengurangan risiko bencana sehingga hasil bangunan tidak menambah kerentanan masyarakat. Butuh pengawasan ketat dan penegakan hukum bagi pihak yang melanggar standar bangunan yang sudah ditentukan.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Wisnu Widjaja, Kamis (1/8/2019) di Jakarta, mengatakan, bencana bukan sekadar urusan kemanusiaan tapi juga investasi pembangunan. Selain sistem peringatan dini, investasi pembangunan menjadi elemen penting pengurangan risiko bencana.
“Investasi pembangunan harus merujuk pada pengurangan risiko bencana agar pembangunan bisa mengurangi kerentanan, bukan malah menambahnya,” katanya dalam seminar nasional \'Membangun Ketangguhan Infrastruktur Berkelanjutan\' di Jakarta, Kamis (1/8/2019).
Wisnu menjelaskan, saat ini sebanyak 75 persen infrastruktur industri dasar dan konektivitas, termasuk prasarana pendukungnya dibangun pada zona bahaya bencana. Misalnya, Kota Bitung Sulawesi Utara yang akan dikembangkan sebagai pelabuhan, memiliki potensi tsunami. Namun, masih banyak yang belum menyadarinya.
Sama halnya dengan bangunan sekolah. Sebanyak 497.576 sekolah di 34 provinsi berada pada daerah bahaya bencana. Artinya, lebih dari 10 juta siswa berisiko terdampak bencana. Wisnu mendorong agar struktur bangunan sekolah-sekolah tersebut mulai diperkuat.
“Kalau perlu, harus ada sanksi kepada pihak yang melanggar standar bangunan. Jika tidak, mereka akan seenaknya saja membangun,” ujarnya.
Masyarakat Indonesia tidak sendiri, ada Jepang yang juga menghadapi ancaman yang sama. Hanya saja, masyarakat Jepang mempunyai sikap dan kultur yang berbeda. Hampir 100 persen bangunan sekolah di Jepang tahan gempa.
Menurut Wisnu, ada empat langkah yang bisa diterapkan dalam pengurangan risiko bencana. Pertama adalah memahami ancaman bencana. Kemudian, risiko tersebut harus dikelola melalui regulasi sebelum akhirnya memulai investasi pembangunan. Terakhir, persiapan dan latihan menghadapi ancaman bisa dilakukan.
“Setelah itu, perlu ada pengawasan keselamatan bangunan, baik dari desain dan kelayakannya. Inspeksi harus dilakukan secara rutin meski aturan sudah dibuat,” katanya.
Bangunan hancur
Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsiyah) Aceh Samsul Rizal turut memberikan gambaran mengenai gempa bumi di Pidie Jaya Aceh pada 7 Desember 2016. Banyak bangunan yang dibangun setelah gempa dan tsunami Aceh 2004 silam kembali hancur. Ternyata, sebagian besar bangunan masih rentan.
“Tipikal kerusakan bangunan saat itu umumnya terjadi di lantai satu karena tulang- tulang bangunannya patah,” ujarnya.
Bangunan-bangunan tersebut belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Antara lain, tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan bukan gedung (SNI 1726:2012) dan tata cara pengerjaan konstruksi (SNI 2847:2013).
“Aturannya sudah ada, tapi tidak ada yang mengawasi. Oleh sebab itu, penegakan hukum bagi para pelanggar juga harus ditegaskan,” ujar Samsul.
Untuk meningkatkan mitigasi bencana, Unsyiah juga mewajibkan kepada seluruh mahasiswanya mengikuti mata kuliah kebencanaan. Tahun ini merupakan tahun keempat kebijakan tersebut dilaksanakan.
Dituntut rajin
Kepala BNPB Doni Munardo mengatakan, langkah preventif menjadi hal yang mutlak harus dilakukan menghadapi ancaman bencana. Kuncinya, edukasi dan sosialisasi harus rajin diberikan oleh banyak pihak, bukan hanya pemerintah.
“Baik pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, pelaku usaha atau tokoh masyarakat harus rajin mengedukasi,” ujarnya.
Selama 20 tahun terakhir, Indonesia menduduki peringkat kedua korban bencana terbanyak setelah Haiti. Tercatat, ada lebih dari 160 ribu korban selama 20 tahun belakangan. Bahkan, tahun lalu Indonesia menempati urutan pertama korban bencana terbanyak di dunia.
Doni berharap, dengan edukasi terus menerus yang diberikan kepada masyarakat, ke depan Indonesia tidak lagi menempati posisi teratas. Terkait dengan bencana tahunan seperti kekeringan, kebakaran lahan dan banjir, banyak upaya preventif juga bisa dilakukan, misalnya mengembalikan fungsi konservasi.
“Menanam jenis vegetasi tertentu yang mampu melindungi ekosistem. Ada banyak jenis pohon yang mampu menyerap karbon dan menyimpan air,” katanya.
Bersamaan dengan seminar tersebut, BNPB juga meresmikan Auditorium Dr Sutopo Purwo Nugroho di Lantai 15 Graha BNPB. Selain itu, Jurnalis Harian Kompas Ahmad Arif juga menerima penghargaan khusus sebagai Insan Media Citra Dharma Bhakti atau insan dengan pengabdian dalam bidang jurnalistik.
“Saudara Ahmad Arif dalam memberikan ulasan tentang kebencanaan selalu diikuti dengan data-data akurat yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Doni.