Undang-Undang Sumber Daya Air Dinilai Langkah Mundur
Undang-Undang Sumber Daya Air dinilai berpeluang memicu komersialisasi air dan belum sepenuhnya melindungi hak rakyat atas sumber daya air.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Sumber Daya Air yang baru disahkan Dewan Perwakilan Rakyat dinilai jauh dari harapan publik. Undang-undang tersebut berpeluang memicu komersialisasi air dan belum melindungi hak rakyat atas air.
”Dalam UU SDA (UU Sumber Daya Air) yang baru ini, pemerintah berlaku sebagai pemilik air dan bisa melimpahkan kewenangan ini kepada swasta. Jadi, secara filosofis ada penyelewengan penafsiran hak negara menguasai air,” kata Perwakilan Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) Muhammad Reza, di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Dalam UU SDA (UU Sumber Daya Air) yang baru ini, pemerintah berlaku sebagai pemilik air dan bisa melimpahkan kewenangan ini kepada swasta.
Menurut Reza, Mahkamah Konstitsi (MK) dalam putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 pada 2013 telah menjelaskan, hak menguasai air tidak berarti kepemilikan negara, tetapi merupakan kepemilikan kolektif rakyat. Jadi, penggunaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan sejumlah lembaga kemasyarakatan untuk menghapus keberadaan seluruh pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2004. Salah satu alasannya, UU itu belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Reza menambahkan, dalam UU yang baru itu, pengaturan hak asasi atas air diletakkan setara dengan hak usaha sehingga kompleksitas pemenuhan air disederhanakan semata persoalan pelibatan swasta. Selain itu, tidak ada pasal yang jelas mengatur tanggung jawab negara, tetapi justru ada bagian soal kewajiban rakyat yang bisa dijadikan alat kriminalisasi.
Akses publik
Sejumlah kelemahan tersebut disebabkan antara lain minimnya akses publik pada penyusunan undang-undang. ”Ini seolah mengulang pengesahan paksa UU No 7/2004 yang digugat di MK. Kami mempertimbangkan untuk mengajukan kembali gugatan,” katanya.
Sementara Wijanto Hadipuro, dosen Magister Lingkungan dan Perkotaan Unika Soegijapranata Semarang, dalam tanggapan tertulis, menyebut, dalam pembahasan RUU SDA baru ini, peran koalisi masyarakat sipil bidang air melemah dibandingkan dengan saat penyusunan UU No 7/2004. Pembahasan RUU berkutat pada kepentingan pelibatan pihak swasta dalam sistem penyediaan air minum (SPAM).
Diskursus manajemen air di tingkat global saat ini beralih pada kerentanan terhadap perubahan iklim yang lalu diikuti bencana kapitalisme, seperti pada infrastruktur raksasa berupa bendung lepas pantai raksasa dan dam besar yang jadi kebijakan pendanaan Bank Dunia. Selain itu, konflik air bagi pangan dan energi kerap diikuti perampasan tanah dan air. Namun, soal itu tak diatur.
Seperti diketahui, RUU SDA disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR RI di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (17/9/2019). Sidang Paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan dihadiri Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mewakili Presiden Joko Widodo.
Sebelum disahkan, Yasonna Laoly menyampaikan pendapat akhir Presiden Joko Widodo bahwa RUU Sumber Daya Air adalah manifestasi cita-cita dan komitmen pemerintah serta DPR dalam pemaknaan penguasaan negara terhadap air. Itu tercantum dalam UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pembatasan Pengelolaan Sumber Daya Air.
Rancangan UU inisiasi DPR itu dinilai mutlak diperlukan karena air amat penting bagi makhluk hidup. Ketersediaan air menurun dan kebutuhan air yang meningkat mewajibkan pengelolaan sumber daya air memperhatikan keselarasan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi. Perlu keterpaduan antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi guna memenuhi kebutuhan rakyat atas air.
”RUU ini mengatur pengelolaan sumber daya air secara utuh,” kata Yasonna, dalam siaran pers. Hal-hal yang diatur antara lain penguasaan negara dan hak rakyat atas air, wewenang pengelolaan sumber daya air, serta perizinan. UU SDA juga mengakomodasi kebutuhan pokok minimal sehari-hari 60 liter per orang per hari, pengelolaan sistem irigasi sebagai kesatuan sistem, serta penguatan pengawasan pengelolaan sumber daya air.