Integrasi Sistem Data Nasabah untuk Jaga Industri Tetap Sehat
Sistem data nasabah layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi mulai diintegrasikan. Penyedia layanan bisa mengetahui kolektibilitas pinjaman nasabah, yakni lancar, tidak lancar, dan macet.
Oleh
MEDIANA/DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Baru 15 penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang mengintegrasikan sistem data nasabah mereka ke laman Pusat Data Teknologi Finansial. Diharapkan, nantinya lebih banyak penyedia layanan terdaftar/berizin yang mengonsolidasikan sistem mereka.
Pusat Data Teknologi Finansial atau Fintech Data Center (FDC) dikelola Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Penyedia layanan yang sudah mengintegrasikan sistem data mereka antara lain Amartha, Investree, dan Modalku.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 30 Oktober 2019, ada 144 perusahaan teknologi finansial layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi yang terdaftar/berizin.
Ketua Bidang Technical Support AFPI Ronald T Kasim, Senin (11/11/2019), di Jakarta, mengatakan, FDC menjadi alat utama untuk memastikan industri pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi tumbuh sehat. Sistem teknologi di FDC mampu mendeteksi debitor yang gemar meminjam di berbagai platform, debitor dengan catatan perilaku meminjam buruk, dan identifikasi penipuan.
Setiap hari penyedia layanan harus menyampaikan data aktivitas pinjam-meminjam kepada FDC yang dikelola AFPI serta Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil) OJK. Setelah itu, AFPI dan OJK akan mencocokkan dan merekonsiliasi data.
Penyedia layanan wajib memverifikasi data di FDC setiap kali ada calon debitor mengajukan permohonan pinjaman. Langkah ini untuk menilai karakteristik calon debitor dan ada atau tidaknya catatan pinjaman di penyedia jasa pinjam-meminjam lainnya.
Data yang bisa diakses, antara lain, nomor pokok wajib pajak, kartu tanda penduduk, dan kolektabilitas kredit.
Penyedia layanan juga wajib mengecek data di FDC agar manajemen risiko terkelola. Karakteristik perilaku nasabah peminjam bisa dikategorikan lancar, tidak lancar, dan macet.
”Di luar dua alasan itu, penyedia layanan dilarang mengakses FDC. Jika ketahuan melanggar, AFPI akan menutup akses penyedia. Status keanggotaan penyedia di asosiasi juga bisa dicabut,” ujar Ronald.
Dia mengatakan, FDC siap menerima integrasi seluruh sistem data penyedia layanan terdaftar/berizin pada akhir November 2019. Nantinya, FDC juga dapat diintegrasikan ke sistem basis data milik perbankan dan Sistem Layanan Informasi Keuangan OJK.
Ronald menambahkan, hingga kini, hasil pengecekan masih akan muncul dalam hitungan hari. Mulai triwulan I-2020 diharapkan hasil pengecekan bisa diterima langsung.
Sesuai data OJK per September 2019, ada 14,359 juta rekening peminjam, dengan total transaksi 53,16 juta. Adapun total pinjaman Rp 60,4 triliun. Tingkat keberhasilan atas pinjaman (TKB) 90 hari sekitar 97,11 persen. Adapun wanprestasi atas pinjaman (TWP) 90 hari berkisar 2,89 persen.
Ketua Umum AFPI Adrian A Gunadi mengatakan, dengan sistem data yang lebih terintegrasi ini, manajemen risiko kredit lebih terkelola dengan baik. Penyedia layanan dimudahkan mengenali profil nasabah lebih baik. FDC juga memungkinkan penyedia layanan mengetahui debitor yang memiliki kredit di lebih dari satu penyedia.
Lebih aktif
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menegaskan, besaran TWP 90 hari selalu naik-turun. Bagi OJK, TWP 90 hari berarti ”biaya” yang dikeluarkan penyedia agar mesin pengolah risiko kredit nasabah ”belajar”.
”Setiap kali ada penambahan penyedia layanan terdaftar, biasanya TWP 90 hari naik. Mesin-mesin pengolah risiko kredit belum terisi data sehingga potensi kegagalan pengumpulan pinjaman tinggi,” ujarnya.
Hendrikus menyarankan agar tidak melulu mengarahkan fokus kepada besar-kecilnya TWP 90 hari. Sebagai gantinya, penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi didorong berperan lebih aktif di ekosistem ekonomi digital, antara lain agar usaha mikro, kecil, dan menengah tetap bisa berproduksi.
Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non Bank OJK Riswinandi Idris menambahkan, dalam waktu tiga tahun, industri layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi tumbuh pesat.
Riswinandi menegaskan, OJK tidak membatasi kehadiran penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Sebaliknya, OJK selalu mengkaji ulang perusahaan yang sudah terdaftar/berizin dan sejauh mana layanannya kepada nasabah.
”Bukan pembatasan. Kami lebih ingin mendorong agar penyedia layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi selalu menonjolkan inovasi teknologi. Dengan teknologi digital, semestinya lebih mudah dan lebih luas jangkauan layanannya kepada nasabah,” kata Riswinandi.
Akses
Pada acara terpisah, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK Hoesen menilai kehadiran Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) dapat mendukung stabilitas keuangan. Keterbukaan akses keuangan masyarakat dan pelaku usaha akan menopang pertumbuhan ekonomi.
”Dengan lebih terbukanya akses kredit bagi pelaku usaha, semakin besar kesempatan debitor untuk tumbuh lebih besar. Secara tidak langsung hal ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan kesejahteraan masyarakat,” ujar Hoesen.
Direktur Utama PT Pefindo Biro Kredit Yohanes Arts Abimanyu menilai kinerja portofolio kredit bermanfaat sebagai syarat utama yang harus dipenuhi lembaga keuangan untuk mengendalikan kredit bermasalah.