Butuh investasi setara Rp 518 triliun untuk mewujudkan target porsi energi baru terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional tahun 2025. Pemerintah tak bisa bekerja sendiri.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Demi mencapai target bauran energi baru dan terbarukan tahun 2025, pemerintah membutuhkan investasi sebesar 36,95 miliar dollar AS. Seandainya dibulatkan jadi 37 miliar dollar AS dan asumsi nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.000 per dollar AS, kebutuhan investasi itu setara Rp 518 triliun. Mungkinkah pemerintah meraup investasi sebesar itu dalam waktu singkat?
Target yang dikejar pemerintah adalah porsi energi baru terbarukan sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional tahun 2025. Target itu sesuai amanat Kebijakan Energi Nasional yang diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2014. Porsinya ditargetkan naik jadi sedikitnya 31 persen pada 2050.
Bauran energi baru terbarukan 23 persen setara dengan kapasitas terpasang listrik 45.000 megawatt. Padahal, posisi bauran energi baru terbarukan saat ini tak sampai 9 persen. Rasanya, meski tak mustahil, akan sangat berat mencapai 23 persen dalam waktu lima tahun.
Kenapa berat? Melihat pertumbuhan kapasitas terpasang pembangkit listrik dari energi terbarukan beberapa tahun terakhir, perkembangannya tak begitu menggembirakan. Periode 2017-2018, misalnya, pertambahan kapasitas terpasang listrik energi terbarukan tak sampai 400 megawatt. Begitu pula target penambahan kapasitas terpasang tahun 2019 yang 380 megawatt.
Kembali ke masalah besaran investasi untuk pengembangan energi baru terbarukan. Pertanyaannya, apakah mungkin mengumpulkan investasi 37 miliar dollar AS? Mari lihat fakta selanjutnya. Sejak 2014 sampai 2018, dari data di Kementerian ESDM, investasi di sektor ini terkumpul sebanyak 6,1 miliar dollar AS. Jadi, benarkah investasi 37 miliar dollar AS bisa terkumpul lima tahun ke depan?
Pemerintah sebaiknya realistis. Tak mudah memang mempercepat pertumbuhan energi baru terbarukan. Banyak tantangannya. Realisasinya tak semudah menuliskan target bauran energi seperti dalam Perpres No 79/2014.
Apalagi, harga minyak mentah saat ini sedang tidak semahal 5-6 tahun lalu yang lebih dari 100 dollar AS per barel. Sebab, kalau energi fosil murah, untuk apa susah-susah mengembangkan energi terbarukan dengan biaya mahal? Begitu kira-kira logikanya.
Di satu sisi, kendati target bauran energi sulit dicapai, semangat mengembangkan energi terbarukan tak boleh padam. Semua harus didasari pemahaman bahwa energi fosil, seperti batubara, minyak, dan gas bumi, suatu saat pasti habis dan tak bisa dipulihkan. Ke mana lagi berharap kalau ketiga sumber energi fosil itu habis cadangannya?
Semua akan menggantungkan diri pada tenaga surya, panas bumi, bayu, hidro, bahan bakar nabati, atau biomassa. Seluruh jenis sumber energi terbarukan ini tersedia di Indonesia.
Bahkan, pemerintah menyatakan, potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mencapai 400.000 megawatt. Angka itu luar biasa besar dibandingkan kapasitas terpasang listrik (campuran dari energi fosil dan terbarukan) saat ini yang sebesar 67.000 megawatt.
Negara ini telanjur dimanjakan komoditas energi sejak dulu. Booming komoditas minyak dan gas bumi di era 1970-an dan 1980-an membuat alpa untuk mengembangkan energi terbarukan.
Pemerintah asyik memperdagangkan minyak dan gas bumi untuk meraup devisa. Sampai kini pun batubara Indonesia lebih banyak diekspor ketimbang dimanfaatkan di dalam negeri.
Pemerintah tak bisa bekerja sendiri. Dukungan swasta diperlukan. Pemerintah juga mesti terbuka dan memberikan kemudahan bagi swasta yang berkomitmen mengembangkan energi terbarukan di dalam negeri.
Kampanye pentingnya mengembangkan energi terbarukan sebaiknya dimassifkan. Isu perubahan iklim yang sedang hangat sebaiknya dijadikan momentum untuk beralih ke energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.