Dilarang Makan Babi
Natal kami tak pernah sama lagi, sejak peristiwa berdarah di Mardika, Ambon, tujuh belas tahun silam. Mama, paling tegar di antara kelima anaknya yang sejak peristiwa itu memilih pindah, mengulum takdir di tanah rantau.
Tapi Mama, meski sempat mengungsi ke rumah sanak keluarga satu hari setelah kejadian, tetap kembali ke rumah asal. Menetap di sana. Seorang diri. Menua, melihat anaknya satu per satu merantau membawa trauma.
Kami sepakat untuk selalu merayakan Natal di kampung halaman. Bersama suami dan anak-anak kami. Tidak peduli semahal apa pun tiket pesawat, kami akan pulang dua-tiga hari sebelum natal. Karena itulah satu-satu cara merawat kenangan kami bersama Bapak, dan mengobati luka Mama yang tak pernah betul-betul kering.
***
Sejak Bapak meninggal dalam kerusuhan agama tujuh belas tahun silam, Mama enggan menikah lagi. Dibesarkannya kami dengan telaten, merangkap menjadi sosok ayah yang membuat kami mengaguminya lebih dalam. Bahkan, ketika satu per satu dari kami merantau, entah karena pendidikan atau karena suami, Mama melepas dengan lapang dada.
“Ose mau pergi jauh pun, ose tetap pulang ke sini,” ujarnya saat melepas kepergian saya mengikuti suami ke tanah Jawa tiga tahun silam.
Rumah tempat saya dibesarkan adalah rumah berdinding batu bata merah. Tidak seberapa luas. Dapur tempat Mama memasak terpisah dari bangunan utama, dekat dengan para-para tempat mencuci piring. Di dapur ini terdapat dua tungku yang biasa digunakan untuk memasak air dan nasi. Saya masih ingat dengan jelas bagaimana kami mengumpulkan kayu bakar dari kebun-kebun tetangga. Atau ketika salah satu dari kami dipukul dengan kayu bakar yang susah payah kami dapatkan, hanya gara-gara kami tidak berangkat ke gereja di minggu pagi.
Kebiasaan kami saat natal tidak berbeda jauh dengan para tetangga. Berdoa di gereja lalu berkumpul bersama, menghabiskan waktu hingga tahun baru. Tidak ada satu pun di antara kami yang begitu jelas mengingat suasana natal bersama Bapak. Kejadian naas tahun 1999 seperti menghapus semua kenangan menyenangkan bersama Bapak. Jadilah bertambah satu kebiasaan Mama di malam natal, menceritakan kembali kisah-kisah masa kecil kami bersama Bapak.
Malam itu, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Maria, anak bungsu saya, tiba-tiba merengek kencang di dekat pohon natal.
Mama yang pertama menghampirinya dengan senyum hangat sambil bertanya.
“Nona manis, ale kenapa?”
“Beta ingin makan babi. Tapi Mama seng kasih izin.”
Ini aturan lama, bahkan sebelum kami menikah. Mama melarang kami mencicipi daging babi, bahkan untuk memegangnya pun tidak boleh. Cerita yang dibangun dari aturan itu adalah Mama jijik melihat tubuh babi berserakan dalam perjalanan meninggalkan Mardika. Ketika orang-orang lari untuk berlindung dari serangan pasukan putih, Mama turut di dalamnya. Masih sempat pun ia memperhatikan jalanan di sekitarnya. Sejak itulah, bila melihat daging babi, ingatan Mama tiba-tiba melayang ke hari paling naas dalam hidupnya.
“Nona manis, Oma belikan sate kambing saja. Lebih sedap. Lebih bergizi,” Mama berusaha membujuk cucunya.
Saya bersama saudara yang sedang berbincang di dapur tiba-tiba terdiam lama. Kepala saya memanas menahan amarah. Tidak hanya pada Maria, kami pun dengan gamblang menjelaskan pada anak-anak kami bahwa keluarga ini tidak memakan babi. Meskipun tetangga yang juga merayakan natal menyantapnya. Tapi, seperti kata Mama, anak-anak memang selalu punya kemauan yang kuat.
“Rosalina!”
Saya terperanjat, bangkit dari kursi, nyaris menjatuhkan gelas bening yang sering digunakan Bapak untuk minum kopi sehabis menarik angkot.
“Belikan sate kambing di Mas Jawa.”
Tangis Maria makin melengking. “Beta seng mau sate. Beta mau babi kecap!” rengeknya makin jelas.
Mama hanya menarik napas dalam. Meninggalkan anak dan cucunya, masuk ke kamar lalu mengurung diri di sana.
Tak tunggu waktu lama. Saya menghantam pantat Maria habis-habisan. Tanpa berkata apa pun, saya menghajarnya berkali-kali. Rumah yang seharusnya dipenuhi canda ceria untuk menyambut natal, justru dipenuhi tangis kesakitan anak bungsu saya.
***
Maria demam satu hari setelah natal. Badannya panas tinggi dan seperti tak bertenaga. Bibirnya pucat. Saya khawatir. Dokter langganan kami di kampung halaman tidak membuka praktik, karena sedang berlibur bersama keluarganya.
“Bisa jadi itu gara-gara keinginannya tidak dipenuhi,” ujar kakak ipar saya, Samsul. “Belikanlah satu mangkuk untuknya. Biarkan ia makan di dalam kamar.”
Saya terdiam, berpikir. Kejadian ini pernah terjadi pada kami berlima. Tapi Mama sama sekali tidak memenuhi keingan kami. Mau seberapa lama pun kami merengek, hingga tertidur, Mama tidak peduli. Biasanya ia akan pergi ke pasar atau ke rumah tetangga untuk menghindar dari suara rengek kami yang menjengkelkan.
Setelah mempertimbangkan usulan Samsul, saya bergegas ke warung makan di ujung gang. Membeli satu porsi babi kecap dengan perasaan campur aduk. Takut bila langkah ini justru memicu kenangan pahit Mama dan membuatnya marah.
Tapi Mama tidak pernah memarahi cucu-cucunya. Selama kami berlibur di rumahnya, Mama selalu merawat dan memperlakukan anak-anak kami dengan manja. Bahkan ketika foto Bapak dipecahkan salah satu keponakan saya, Mama hanya tersenyum sambil membereskan beling yang berserakan. Barulah ketika malam tiba, saat cucu-cucunya sudah lelap, Mama meluapkan amarahnya dalam tangis.
Kepulangan saya disambut Maria dengan wajah cerah. Seperti sakitnya lari kocar-kacir saat ia mencium bau makanan yang saya jinjing.
“Beta pung babi kecap!” teriaknya girang.
Dari arah belakang, Mama berdiri kaku memandang tajam ke arah saya. Seketika itu pula senyum saya hilang. Maria sudah merampas bungkusan babi kecap dari tangan saya. Tidak ada satu kata pun yang mampu saya ucapkan pada Mama. Saya tahu, saudara-saudara saya tahu bahwa kehilangan suami adalah luka yang tak akan pernah bisa sembuh dari ingatan Mama. Dan babi adalah pemicu timbulnya perasaan nelangsa itu.
Malam itu, setelah berdoa bersama, Mama mengurung diri lagi. Salah satu kakak saya mulai menyindir, menyalahkan keputusan saya. Beberapa keponakan menangis karena tahu Maria baru saja menghabiskan satu mangkuk babi kecap diam-diam. Rupanya semua orang doyan babi kecap. Dan rupanya kami sama-sama berusaha untuk menghormati aturan Mama selama tujuh belas tahun ini. Maria adalah orang pertama yang melanggar aturan.
“Sudah tujuh belas tahun dan Mama masih begitu,” saya membuka percakapan. Anak-anak sudah lelap setelah lelah menangis.
“Kau seharusnya tidak meninggalkan rumah terlalu cepat,” ujar kakak tertua saya, Magdalena. “Mama bercerita banyak di malam terakhir saya di rumah.”
Magdalena adalah saudara saya yang paling dekat dengan Mama, karena harus bekerja membantu Mama membiayai sekolah adik-adiknya. Dia meninggalkan rumah dua tahun lalu saat harus melanjutkan pendidikan magister di Malang.
***
Mardika, Ambon 1999
Magdalena masih berumur sepuluh tahun saat kejadian naas menimpa keluarga dan sebagian besar masyarakat Mardika. Bapak, seperti biasa, pamit menarik angkot jalur Pasar Mardika ke Batu Merah. Setelah menyeruput kopi tanpa gula, Bapak pergi hingga petang datang. Biasanya setiap kali pulang, Bapak selalu membawa sesuatu untuk kelima anak-anaknya. Seperti gula-gula, arum manis, buku bacaan, dan pakaian yang kami pakai bergantian.
Tapi hari itu, tidak ada tanda-tanda suara angkot Bapak dari ujung gang. Magdalena berkali-kali mengecek di pinggir jalan, sedangkan kami menunggu di teras rumah. Tetap saja Bapak tidak pulang. Padahal kami sudah menunggu barang apa yang akan Bapak bawa hari itu.
Penantian kami membawa kecemasan tersendiri, terlebih ketika Mama muncul di pintu rumah dengan wajah pucat pasi. Ujung celananya meneteskan air, tangannya penuh busa sabun. Rambutnya dililit handuk yang biasa Bapak pakai saat menarik angkot.
“Ose punya bapak sudah pulang?” tanyanya panik.
Kami serentak menggeleng. Tanpa menjelaskan apa pun, Mama menarik kami masuk ke rumah. Mengunci pintu dan mengganjalnya dengan lemari kayu peninggalan nenek. Kami bersembunyi di gudang. Mama berkali-kali menyeka air matanya. Menyuruh kami diam, jangan bersuara sedikit pun.
Keadaan di luar sangatlah ramai. Orang-orang berteriak kencang. Ketika seseorang menggedor pintu depan, kami berenam panik bukan main. Tidak ada yang berani melepas genggaman. Mama menyuruh kami menggigit baju agar tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Gedoran terus terjadi selama lima menit. Tak lama setelah itu, seseorang memecahkan jendela. Tapi untungnya tidak ada tanda-tanda mereka mendekati gudang.
Josep, adik bungsu saya, memerah matanya karena menahan tangis. Di antara saudara saya, hanya Magdalena yang terlihat tenang, meski berkali-kali menyeka air matanya. Semalaman kami bersembunyi di gudang hingga Paman Julius datang menjemput kami sebelum fajar. Itu pertama kalinya saya melihat Mama menangis meraung-raung di pelukan Paman Julius, dan terakhir kalinya. Karena sejak malam itu, hingga saat ini, Mama tak pernah lagi meraung-raung. Bila merindukan Bapak, Mama hanya berdoa, menangis sebentar, lalu melanjutkan hidup.
Perjalanan kami mengungsi ke kampung Paman Julius sedikit menegangkan. Kami disembunyikan di dalam kardus lalu ditutupi daun kasbi, kecuali Mama. Mobil yang kami tumpangi melewati perbatasan kampung pasukan putih, namun berkat kawan Paman Julius, kami tidak dicurigai apa pun. Dalam perjalanan inilah Mama melihat babi berserakan di jalanan dalam keadaan menjijikkan. Kepala yang terpental jauh dari tubuh, usus yang berserakan di dekat rumput, darah yang bercecer di sepanjang setapak. Tidak ada satu pun anak-anaknya yang melihat hal serupa, itulah sebab kami patuh dan percaya pada ceritanya selama belasan tahun.
***
“Tapi bukan itu alasan Mama melarang kita untuk makan babi,” ujar Magdalena setelah terdiam lama sehabis bercerita.
Saya menangis tanpa suara, sambil memandang jendela kamar Mama yang tertutup gorden merah bata. Josep berdiri, derik kursinya memecah keheningan. Sambil mengelap kacamata, ia berdeham pelan.
“Satu bulan sebelum Bapak dibunuh di pangkalan angkot Batu Merah, Bapak berjanji pada Mama akan membelikan satu ekor babi untuk dihidangkan di perayaan natal tahun itu. Hari-hari setelahnya, Mama tak pernah berhenti membayangkan meja makan dengan daging babi di atasnya. Tak lupa pula Mama bertanya ke para tetangga resep-resep olahan babi, padahal itu masih satu bulan lagi sebelum natal. Melihat Mama yang begitu senang dijanjikan satu ekor babi, Bapak makin semangat mencari uang,” Magdalena melanjutkan ceritanya.
“Hari itu, sebelum berangkat menarik angkot, Bapak pamit dan berkata bahwa pulangnya tak akan dengan tangan kosong. Akan ada satu ekor babi di kursi penumpang. Itulah sebabnya Mama membersihkan rumah, mencuci semua pakaian, agar bisa memasak babi tanpa perlu memikirkan pekerjaan lain,” Magdalena berhenti. Tak lagi melanjutkan ceritanya.
Saat sedang mengais-ngais kenangan tentang Bapak, lampu kamar Mama sudah mati. Masing-masing dari kami mulai menata perasaan dan mimik, karena selepas meninggalkan teras ini, selepas mendengarkan cerita kelam di balik peristiwa naas, kami tetap harus tegar. Sepahit apa pun rasa yang kami dapat setelah tahu alasan Mama melarang kami makan babi, tak akan bisa mengalahkan pahitnya kehilangan suami di hari ketika kebahagiaan seharusnya bertandang.
________________________________
Wika G. Wulandari, lahir di Tidore, 2 Desember 1996. Saat ini sedang mengenyam ilmu Biologi Murni di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta semester delapan. Pendengar yang baik di Komunitas Sastra Jejak Imaji.