Revolusi
Belakangan ini, sebisa mungkin, ia menghindari Nana. Begitu sering ia menyaksikan pembantaian manusia di dunia lewat monitor di ruang kerjanya, yang lamat-lamat membuat ia begitu serius menerjemahkan arti kosong.
Profesor Asimov tidak beranjak dari ruang kerjanya. Tidak seperti biasa, kali ini ia berdiam di sana seharian. Tak ada monitor yang menyala—yang menghubungkannya pada kekacauan dunia atau secercah kabar ditemukannya peretas yang selama ini berupa misteri, bukan lagi teka-teki. Lampu tak ia nyalakan. Cahaya sore hanya masuk dari sekotak ventilasi, di salah satu sudut kubus ruang kerjanya. Bayang-bayang menari di lantai berkarpet kelabu. Di ruang kecil itu, ia dipeluk keremangan yang kental.
Ia hanya ingin menyendiri, mengurai lelah dan banyak pikiran yang begitu setia menyambanginya. Belakangan ini, ia tampak mudah letih, suka merenung, dan, dari cermin kamar mandi pagi tadi setelah bercukur, cukup yakin ia akui kalau rautnya tampak sepuluh tahun lebih tua dari usianya. Penuh kerut, layu, lusuh. Ia mengabaikan anjuran Nana agar kembali rutin berolahraga: lari pagi atau sore di sepanjang pesisir.
Bahkan Nana, sosok yang pada awalnya ia anggap satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya, yang perlu ia miliki dan butuhkan sehingga tanpa ragu ia bawa dalam pelarian, justru tak sanggup meringankan perasaannya. Sering kali ia mengabaikan wanita itu dalam banyak hal.
Nana—apakah Profesor Asimov mulai jenuh dan lelah berpura-pura?
***
Nana mengetuk pintu ruang kerja Profesor Asimov. Pelan, teratur, menyentakkan lamunan Profesor Asimov, dan tersadarlah pria paruh baya itu bahwa berkas cahaya sore tadi telah berganti keremangan biru bulan separuh.
Tuan Asimov bangkit dari kursi. Sendi-sendinya berderak. Tertatih, ia menuju pintu, membukanya.
Nana hanya melihat siluet. Tak bisa ia deteksi wajah profesor: kerut di ekor matanya, lingkaran di seputar mulutnya, kantung matanya yang gelambir. Hanya ia tangkap samar kemilau rambut pria itu yang perak, yang menipis.
Profesor Asimov mendahuluinya menuju dapur. Makan malam sudah disiapkan. Ia menuju meja, duduk dan menenggak air putih. Ia tak peduli Nana yang duduk tegak serupa patung, dengan tangan terlipat di pangkuan, di hadapannya.
***
Belakangan ini, sebisa mungkin ia menghindari Nana.
Begitu sering ia menyaksikan pembantaian manusia di dunia lewat monitor di ruang kerjanya, yang lamat-lamat membuat ia begitu serius menerjemahkan arti kosong dan kesepian. Beberapa bulan lalu, kekacauan mendiami puncak. Humanoid-Humanoid ciptaannya berubah menjadi mesin pembunuh. Peretasan terjadi di mana-mana. Dari profesor terkemuka, namanya dicemar sebagai pembawa tragedi umat manusia.
Ia tidak pernah membayangkan masa depannya di hadapkan pada perang batin tak berkesudahan.
Sebelum pembantaian itu terjadi, ketika ia dan timnya masih ingin menyempurnakan kecerdasan artifisial untuk Teo-teonya, dan ketika mereka masihlah nama-nama yang diakui dan dibutuhkan kiprahnya di dunia, sebetulnya telah terjadi beberapa peristiwa-peristiwa kecil yang sporadis namun berdarah. Di sebuah distrik terpencil, seorang Teo telah memelintir kepala seorang penjaga kasir minimarket. Kasus lain hadir tak jauh dari distrik itu, dilaporkan seorang Teo lelaki yang dipekerjakan sebagai koki di sebuah restoran vegetarian, telah memasukkan arsenik dalam sup jamur dan membunuh 40 pengunjung restoran di siang yang cerah itu. Seorang Teo pengasuh telah memasukkan bayi berusia dua minggu ke dalam oven seolah itu kalkun di distrik yang namanya susah disebut. Dan televisi tak henti-hentinya menayangkan kematian-kematian manusia yang lain oleh Teo-Teo yang lain, pada waktu dan tempat yang lain.
Profesor Asimov dan timnya diberi waktu untuk memperbaiki kesalahan sistem sebagaimana alasan yang mereka rekayasa. Padahal, di saat itulah mereka berpikir keras untuk memecahkan teka-teki si peretas, tapi selalu berujung buntu. Dari teka-teki menjadi misteri. Peretas itu bagaikan udara. Ada tapi tak kasat. Mereka menyebutnya Setan Revolusi.
Puncak peristiwa itu adalah ketika Teo yang diciptakan sebagai robot seks oleh mucikarinya, telah membunuh seorang jenderal terkemuka di sebuah rumah bordil yang dikenal memiliki Teo-Teo rupawan. Profesor Asimov dan timnya dianggap melanggar Undang-Undang Perobotan. Mereka mesti diadili. Undang-undang itu, dengan ayat-ayatnya yang tak sedikit pun menyimpan keambiguan untuk dipertentangkan, menyatakan dengan tegas bahwa apa yang diperbuat oleh Profesor Asimov dan rekannya telah masuk dalam kategori pembunuhan berskala besar. Mereka akan dieksekusi mati.
Di sela waktunya mendapat penangguhan hukum dengan alasan darurat memperbaiki kekacauan besar yang dibikinnya dan tentunya dengan pengawasan ketat aparat—dan terpaksa mereka membunuh aparat itu sesuai rencana yang telah mereka konsep begitu bersih dan rapi—Profesor Asimov dan timnya memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Ia hanya membawa Nana. Tentu saja. Ia tak butuh apa-apa lagi sebab sudah yakin, Dunia sudah begitu hancurnya.
Mereka bersembunyi, di suatu tempat yang pada Nana, ia sebut Ujung Dunia—sebuah pulau tropis yang jauh, terpencil. Di situ, mereka menjelma kumpulan anonim.
Dan, keputusan membawa Nana sebetulnya mendapat pertentangan dari teman-teman satu timnya.
Kata mereka, Nana tidak bisa dipercaya.
***
Adalah Humanoid ciptaannya yang 14 tahun sebelumnya melambungkan namanya. Masih jernih dalam ingatannya, ketika Humanoid pertama yang dinamai Teo, ia pamerkan dalam simposium teknologi di pusat Kota P, disaksikan oleh pakar mekanik robot dan beberapa kalangan—hingga beberapa psikolog yang mengkaji hubungan manusia dengan robot.
Profesor Asimov disanjung sebagai genius dan pembawa perubahan besar untuk Negara, Dunia, dan umat Manusia. Revolusi Kehidupan, begitu tajuk yang ia gaungkan dalam presentasinya. Ketika robot itu diaktifkan, semua terpana. Decak dan bisik menjalari ruangan. Pujian dan tepuk tangan datang dari segala arah. Orang-orang penting itu menyelamatinya. Teo ciptaannya kala itu masihlah sederhana. Meski dari fisik ia amat menyerupai manusia—gadis jelita dengan senyum menawan—Profesor Asimov menyadari sistem yang dirancang untuk Humanoid tersebut masih belum sempurna.
Gerak masih kaku dan terpatah-patah. Sensor yang menjaring informasi dari luar masih terbatas dan terkadang tidak responsif, begitu pula kecerdasan buatannya, yang janjinya kala itu, butuh beberapa waktu dan tahap lagi untuk bisa dikembangkan menjadi luar biasa. Katanya pada hadirin saat itu dengan mantap, ”Kami masih ingin mengembangkannya. Kami sudah menyiapkan segalanya. Misi kami adalah, robot dapat hidup berdampingan dengan manusia, bahkan lebih dari itu—menggantikan pekerjaan-pekerjaan berat manusia! Inilah Revolusi Kehidupan!”
Sesuai janjinya, Teo dikembangkan sedemikian mendekati manusia. Tak cuma fisik, tapi emosi pula motorik. Uji cobanya bersanding dengan manusia berjalan harmonis dan efektif. Simbiotis. Dengan segala macam pertimbangan dan perjanjian, dengan waktu yang sudah disepakati, robot-robot akhirnya diproduksi massal. Dijual hingga diimpor. Hukum dan undang-undang dirancang. Orang-orang memesan agar Teo menyerupai Lydia yang sudah mati 20 tahun lalu atau sebaiknya seperti Arnold yang hanya bisa disketsa dan dilukis pemesannya atau menjadi pengganti mendiang suami si janda Song.
Teo hidup berdampingan dengan manusia. Teo mengisi rumah-rumah: memetik bakung dan menyusunnya dalam jambangan, mengelus-elus kepala anjing di beranda, berbaur dengan tuan rumah dalam acara minum teh sore. Teo mengisi pabrik-pabrik. Teo berpapasan dengan manusia di jalanan, di kereta udara, di pusat perbelanjaan, duduk di meja resepsionis hotel, membawa anggur di kasino, menjaga dan merawat para alzheimer di rumah dan panti, hingga mengisi kamar-kamar rumah bordil.
Namun berjalannya waktu, apa yang dulu pernah dicemaskan dan diramalkan oleh sebagian Manusia bahkan ahli nujum, mulai menunjukkan tanda-tandanya secara bertahap dan terstruktur. Dampak buruk ”Ras Manusia Baru”—begitu seorang aktivis sekaligus kritikus mencibir dan menyindir Profesor Asimov lewat esai cerdas sekaligus pedasnya di surat kabar ketika Profesor Asimov diberi penghargaan nobel kemanusiaan—ditunjukkan lewat relasi dingin dan buruk antara manusia yang satu dengan yang lain. Di wilayah tertentu, demo-demo tersulut oleh buruh-buruh yang telah dirampas pekerjaannya. Pengangguran di mana-mana. Kriminalitas menjamur di bawah payung revolusi, begitu aktivis tadi menyimpulkan akhir esainya.
Hingga peristiwa terbunuhnya seorang jenderal besar yang disusul pembunuhan-pembunuhan lainnya. Sistem proteksi ditembus. Setan Revolusi meretas para Teo dengan menyebar virus pengendali supaya robot-robot itu menjadi mesin pembunuh. Chaos terjadi di mana-mana. Humanoid memburu dan menjajah manusia. Itulah bahaya yang dulu pernah orang-orang takutkan, juga yang pernah ahli nujum yang masih menyembah pohon ramalkan.
Perang di depan mata.
***
Profesor Asimov menutup harinya dengan menulis jurnal, sebagaimana kebiasaannya sebelum tidur. Sebelum ini, sering kali ia membagi curahannya kepada Nana. Ia ragu, apakah bisa mencintai Nana sebagaimana janjinya dulu ketika ia memutuskan membawanya bersama dalam pelarian dan perburuan. Seandainya perasaan itu tak berubah, mungkin ia tak secemas ini. Mungkin ia cukup berbicara, sementara Nana mendengarkan. Itu saja cukup membikinnya tenang dan lega.
Nana sudah menyiapkan pil antidepresan dan segelas air putih di atas meja lampu dekat ranjang, di sebelah foto close-up Nana yang dibingkai perak. Entah mengapa kali ini ia ingin menulis tentang Nana ketimbang dosa besarnya pada Dunia. Tentang jumpa pertama ia dengan Nana pada suatu Minggu di sebuah museum yang padat, di antara rangka-rangka makhluk purbakala; ciuman pertama mereka di bawah hujan sore di luar gedung perpustakaan universitas; rumah sederhana mereka di pinggiran Kota P dengan teras samping menghadap hutan bakau; satu episode bulan madu di utara yang jauh dan bersalju; masa-masa sulit ketika istrinya tersebut didiagnosis kanker ovarium, kemoterapi, stadium empat....
Ujung jempol dan telunjuk Profesor Asimov menekan masing-masing pangkal matanya, ketika sentuhan dingin Nana menyentuh pundaknya. Ia jatuhkan telapak tangannya di atas punggung tangan Nana, mengelusnya. Dan wanita yang kali ini tampak sepucat kapur itu, dengan senyum mengembang sebagaimana kemahiran sebab kebiasaannya, menarik tangannya, menggiringnya di atas ranjang.
Ketika beberapa malam sebelumnya menolak bercinta, kali ini Profesor Asimov membiarkan perempuan itu membuka kancing piyamanya satu per satu. Ia biarkan wanita itu menjadikannya budak, kali ini. Ia berbaring, Nana duduk di atasnya.
Di atas ranjang, lewat cahaya redup lampu kap, bisa ia lihat di atas meja lampu, foto istrinya yang sedang tersenyum seolah memandangnya. Ia membayangkan satu momen dari sekian banyak momen ketika tangannya meraba kulit istrinya yang hangat, yang berdaging dan berdarah. Sontak ia jauhkan tangannya dari paha Nana yang dingin dan terlampau licin. Seketika ia ingin bangkit dan menghalau tubuh Nana, tapi terlambat, kedua paha wanita mengunci dengan menjepit keras kedua pahanya.
Lengan panjang dan jari-jari lurus Nana menjangkau lehernya, mencekiknya kencang. Meski remang, Profesor Asimov bisa menangkap sekelebat cahaya dari kedua mata wanita itu. Ia bayangkan di balik bola mata itu, pembuluh-pembuluh elektrik saling bersinergi, terhubung, dan, pada saatnya sebagaimana yang sudah-sudah terjadi pada ciptaannya yang lain, akan rusak dan teretas.
Di sisa-sisa napas terakhirnya, Profesor Asimov masih sempat menggerakkan sedikit kepalanya, untuk melihat foto istrinya.
_________________
Mardian Siagian, pernah menjadi emerging writer di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015. Karya-karyanya terangkum dalam antologi cerpen Hujan, Penebang Pohon, Pandurata (Literer Khatulistiwa), Dari Timur Vol. 2 (Gramedia Pustaka Utama), Dari Timur Vol. 3 (Gramedia Pustaka Utama). Cerpen-cerpennya dimuat di Revius Webzine dan jurnal InterSastra. Saat ini menetap di Pontianak dengan menghabiskan banyak waktunya sebagai bibliofil.